Health Lifestyle

Bunuh Diri pada Anak Muda dan Bagaimana Menghadapinya

Apa yang harus dilakukan jika kita atau lingkungan kita memunculkan tanda-tanda keinginan bunuh diri. #Madgetalk

Avatar
  • October 2, 2019
  • 10 min read
  • 905 Views
Bunuh Diri pada Anak Muda dan Bagaimana Menghadapinya

Studi yang diterbitkan oleh Journal of Abnormal Psychology awal tahun ini menunjukkan bahwa kondisi kesehatan remaja dan dewasa muda di Amerika Serikat telah menurun secara dramatis sejak akhir 2000. Tingkat pikiran tentang bunuh diri, serta rencana dan percobaan bunuh diri juga telah meningkat signifikan, bahkan dalam beberapa kasus meningkat lebih dari dua kali lipat antara 2008-2017.

Di wilayah Asia Tenggara, survei kesehatan pelajar global (GSHS) antara 2007 dan 2013 menunjukkan bahwa 12,3 persen pelajar pernah berpikir untuk melakukan tindakan bunuh diri, dan angka keinginan bunuh diri pada remaja perempuan lebih tinggi (15,1 persen) dibandingkan angka keinginan bunuh diri pada remaja laki-laki (9,3 persen). Survei ini diikuti oleh remaja tingkat sekolah berusia 13-15 tahun dan berasal dari tujuh negara Asosiasi Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN).

 

 

Di antara tujuh negara tersebut, prevalensi tertinggi mengenai ide bunuh diri ada di Filipina (17,0 persen) dan Vietnam (16,9 persen), sementara yang terendah di Myanmar (1,1 persen) dan Indonesia (4,2 persen). Meski prevalensi di Indonesia rendah, angkanya tetap tinggi karena jumlah penduduk yang besar.

Prihatin dengan hal ini, dalam rangka Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia (World Suicide Prevention Day) yang diperingati setiap tanggal 10 September, Magdalene telah melakukan “kultwit” #MadgeTalk di Twitter dengan narasumber Benny Prawira Siauw, seorang suicidolog atau ahli kajian bunuh diri. Dia juga adalah Kepala Koordinator Into the Light Indonesia, komunitas berbasis anak muda yang berfokus pada advokasi, penelitian, dan pendidikan terkait pencegahan bunuh diri serta isu-isu kesehatan mental di Indonesia.

Berikut adalah cuplikan dari perbincangan tersebut, terutama soal isu bunuh diri pada orang muda dan bagaimana menghadapinya.

Magdalene: Apa isu utama kesehatan jiwa di Indonesia saat ini?

Benny: Terkait kesehatan jiwa, masih banyak hal yang perlu dibahas seperti hak pendidikan, pekerjaan, politik, dan kesehatan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Kasus pemasungan juga masih banyak terjadi dan perlu diatasi karena dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Undang-Undang Kesehatan Jiwa tahun 2014 yang mengatur hal ini pun masih perlu dikejar peraturan pemerintahnya. Dalam pencegahan bunuh diri, kita masih memerlukan basis data pencatatan kematian bunuh diri, saluran hotline, dan strategi nasional pencegahan bunuh diri.

Beberapa negara, termasuk Indonesia, memang masih sulit untuk menyediakan ketiga hal ini, terutama terkait tantangan geografis, sumber daya finansial, dan manusia.

Baca juga: Ketika Saya Gagal Bunuh Diri, Mereka Pilih Jalan Itu

Adakah kelompok tertentu yang lebih rentan terhadap kecenderungan bunuh diri?

Kalau menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) kelompok orang muda, lanjut usia (lansia), pengungsi, imigran, warga lembaga pemasyarakatan, masyarakat adat, LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender), dan mereka yang memiliki sakit kronis mempunyai kecenderungan bunuh diri lebih tinggi. Mereka yang kehilangan seseorang akibat bunuh diri juga memiliki risiko lebih tinggi untuk bunuh diri setelah proses kehilangan mereka. Hal ini karena duka, trauma, dan juga stigma kepada mereka yang sering kali mengganggu kondisi kesehatan jiwa mereka.

Namun bukan berarti orang tanpa latar belakang/identitas tersebut tidak berisiko bunuh diri sama sekali.

Beberapa kali kita temukan kecenderungan bunuh diri di kalangan orang muda. Apa yang memicu kecenderungan ini?

Pada populasi mahasiswa dan siswa di Indonesia ada banyak risiko dari aspek sosial yang sudah pernah dikaji. Faktor kesepian, perisakan, kekerasan seksual, tidak dimengerti orang tua, dan juga masalah dengan teman bisa menjadi risiko. Bunuh diri itu paduan kompleks dari seluruh faktor bio-psikososial, jadi kita perlu mengetahui dulu apa yang menjadi masalah paling signifikan di kelompok ini. Tentu, masih ada banyak aspek bio-psikososial lainnya yang perlu kita kaji juga agar mendapatkan gambaran penuh terkait hal ini.

Apakah gaya hidup dan sistem pendidikan berpengaruh pada tingkat kecenderungan bunuh diri?

Gaya hidup sehat seperti jaga pola makan, istirahat dan olahraga, serta mengelola stres tentunya berpengaruh besar dalam menjaga kesehatan jiwa raga, sehingga akhirnya juga melindungi kita dari risiko bunuh diri. Akan tetapi, sering kali memang hal ini sulit untuk dilakukan di tengah tuntutan akademis, orang tua dan sosial, terkait peran sebagai peserta didik.

Kita tahu, pelajar suka begadang, makan sembarangan, dan susah olahraga karena banyak hal. Sistem pendidikan yang terlalu berfokus pada produktivitas untuk menghasilkan lulusan bergengsi tanpa memperhatikan kualitas hidup mereka juga dapat berperan dalam hal ini.

Saya sering kali berhadapan dengan mahasiswa yang merasa bahwa dia harus jadi mahasiswa berprestasi di kampus-kampus terkenal, merasa dituntut untuk paling baik dan sempurna secara akademis oleh sistem dan sekitarnya, tapi jadi sulit untuk mengatur ekspektasinya terutama ketika gagal. Hal ini terjadi karena faktor individu yang hidup dalam konteks dan sistem tertentu, sehingga harus dipertimbangkan juga sistem seperti apa yang baik untuk produktivitas dan kualitas hidup mahasiswanya.

Kualitas hidup dan produktivitas mahasiswa ini tidak bertentangan kok. Justru dengan menjaga kualitas hidup dan kesehatan jiwa mahasiswa, mereka bisa jadi memiliki kinerja lebih baik. Dalam sebuah riset kuantitatif yang saya lakukan melalui survei daring terhadap 284 mahasiswa (18-24 tahun) di Jakarta, saya menemukan sekitar 79,22 persen menyatakan akan mencari bantuan ke lembaga konseling mahasiswa (LKM).

Namun, saya juga sering mendapat keluhan bahwa konseling di LKM harus melalui antrean panjang, terlalu menggurui, dan hanya berfokus pada kemampuan mahasiswa dalam menyelesaikan jenjang akademis mereka. Beberapa bahkan tidak mengetahui sama sekali letak LKM ini ada di mana dan programnya apa saja karena kurangnya sosialisasi. Hal ini bisa ditingkatkan lagi, misalnya dengan perbanyak notifikasi di sistem daring mahasiswa untuk mencari LKM jika stres pada masa ujian.

Di atas semua itu, kita harus memperhatikan juga kondisi mahasiswa yang mungkin sulit untuk produktif karena masalah kejiwaannya. Mereka juga manusia yang perlu diperhatikan dan berhak mengenyam pendidikan. Kebutuhan mahasiswa dengan masalah kejiwaan perlu diakomodasi sebagaimana kita mengharapkan adanya pemenuhan kebutuhan mahasiswa difabel fisik. Kompensasi saat membutuhkan perawatan psikolog atau psikiater bisa jadi salah satu caranya.

Indonesia masih lemah dalam hal pencatatan kematian bunuh diri, penyediaan saluran hotline, dan strategi nasional pencegahan bunuh diri.

Bagaimana peran media sosial dalam isu ini? Menolong atau justru menjadi faktor pendorong?

Beberapa orang khawatir media sosial akan memengaruhi risiko depresi, perisakan di dunia siber atas kondisi kejiwaan atau pemikiran bunuh diri, atau terpapar oleh konten yang memicu atau mendukung bunuh diri. Tapi kita juga harus akui bahwa melalui media sosial kita dapat melakukan promosi kesehatan jiwa dengan lebih masif.

Selain promosi kesehatan jiwa, layanan psikolog/psikiater maupun sukarelawan melalui media sosial juga mulai marak. Karena Indonesia sangat luas dan tenaga profesional lebih banyak di Jawa, maka media sosial bisa membantu akses layanan ini.

Yang perlu dipertimbangkan terkait promosi kesehatan jiwa di media sosial ini adalah bagaimana edukasi tentang gejala gangguan diiringi pernyataan bahwa untuk dapat diagnosis harus dilakukan oleh profesional. Konten tentang gejala bukan sarana diagnosis diri.

Kedua, bagaimana menyampaikan pesan mengenai gangguan jiwa tanpa stigma, drama, ataupun glorifikasi. Dalam kampanye pencegahan bunuh diri, kami juga memiliki panduan yang harus dipatuhi dan kami tidak bisa sembarangan membuat konten.

Yang perlu dipertimbangkan saat melakukan intervensi/layanan kesehatan jiwa di media sosial:

    • Evaluasi efektivitasnya dengan metode dan pengukuran yang ketat. Jangan sampai layanan dibuat, tapi ternyata tidak efektif atau membahayakan klien.
    • Kompetensi pemberi layanan. Jika menggunakan sukarelawan, sudahkah mereka mendapatkan pelatihan terkait aspek teknis/metode dan etis dari pelayanan daring via media sosial ini? Jika profesional, sudah tersertifikasi terapi apa? Bisa dilakukan via daring tidak terapinya?
    • Kerahasiaan data pribadi klien. Disimpan bagaimana data pribadinya? Boleh dilihat oleh siapa saja? Bagaimana menjaga keamanan dari akun media sosial yang digunakan?
    • Khusus untuk konten bunuh diri di media sosial, mau sekesal apa pun, seprihatin apa pun, tolong jangan disebar! Laporkan saja. Menyebarkan konten bunuh diri akan berpotensi sebabkan imitasi bunuh diri dan banyak masalah lainnya.

Baca juga: Jadi Pendengar yang Baik Saat Teman Ingin Bunuh Diri

Apakah kita bisa mendeteksi lebih dini mengenai kecenderungan bunuh diri? Seperti apa ciri-ciri orang yang punya kecenderungan untuk bunuh diri?

Ciri utamanya adalah perubahan perilaku secara umum. Dalam kebanyakan (bukan semua) kasus, kita bisa melihat misalnya, pembicaraan soal kematian, bagaimana ingin tidur dan tidak bangun lagi, soal masa depan yang suram, kebencian terhadap diri sendiri. Lalu ada penurunan frekuensi bertemu orang, perubahan pola makan dan tidur jadi semakin banyak atau sedikit, serta adanya peningkatan perilaku berisiko seperti mengebut ugal-ugalan, konsumsi zat berlebihan, mulai menitipkan barang/orang kesayangan seperti wasiat, lalu mendadak mengucapkan terima kasih, maaf dan selamat tinggal setelah ada stres besar/depresi.

Bagaimana mengatasi kecenderungan tersebut jika muncul dalam diri kita sendiri?

Ini akan sangat sulit memang, karena biasanya dalam kondisi ini, kita akan cenderung berpikir antara tidak mau merepotkan orang lain, cuma jadi beban atau merasa orang lain tidak akan bisa mengerti. Namun sebisa mungkin kita harus mengumpulkan energi untuk mencari bantuan ke sekitar. Jika sudah ada pemikiran bunuh diri yang intens, harus segera mencari bantuan profesional, seperti psikolog dan psikiater untuk mendapatkan perawatan intensif.

Proses pemulihan ini sendiri tidak mudah, penuh naik-turun, maju-mundur dan bisa jadi sangat personal, setiap orang berbeda-beda waktu dan prosesnya. Ditambah lagi dengan stigma, rasa malu, sumber daya, serta akses jarak dan waktu kita.

Beberapa juga perlu berulang kali berupaya menemukan ahli terapis yang tepat karena ada saja yang pandangan dan kepribadiannya tidak cocok. Tapi begitulah bagian dari proses pemulihan, kita hanya bisa berusaha terus menerus untuk kondisi terbaik kita.

Baca juga: Catatan Untuk yang Ingin Bunuh Diri

Bagaimana bila kita melihat ciri tersebut pada lingkungan terdekat kita?

Mendengarkan dulu, tidak usah debat, kaget, atau terkesan menceramahi terkait pemikiran bunuh dirinya.

Kita perlu menjadi pendamping, tanpa menjadi penasihat, penyelamat, apalagi hakim. Tunjukkan kalau kamu memperhatikan ada yang berubah dari dia, misalnya “Kok udah lama enggak kelihatan?”, “Ada apa belakangan ini suram statusnya?”, dsb. Setelah itu baru dengarkan kondisinya seperti apa. Kalau melihat tanda peringatan bunuh diri, jangan takut untuk menanyakan apakah ada pemikiran bunuh diri. Ini enggak akan mendorong dia untuk bunuh diri, kok. Jangan lupa tanyakan apakah pernah coba konsul ke psikolog/psikiater.

Apa langkah penanganan pertama apabila salah satu orang terdekat kita menghubungi saat hendak melakukan bunuh diri?

Jangan kaget, tetap tenang. Dengarkan apa yang membebani dia, lebih banyak refleksikan kira-kira apa perasaannya dalam kondisi itu. Tunjukkan nada dan gestur yang welcome untuk mendengarkannya. Jika memang sudah dalam kondisi krisis dan dekat dengan metode bahaya (senjata, alat, zat, atau tempat), segera cari tahu di mana lokasinya, minta dia menjauhkan diri dari metode tersebut, dan kontak polisi untuk membantu jika dibutuhkan untuk mengamankan.

Jangan sesekali mencoba menantang orang dalam kondisi krisis untuk melakukan bunuh diri. Jangan anggap mereka hanya mencari perhatian belaka. Lebih baik untuk kita overestimate kondisi krisisnya daripada kita underestimate. Ketika kita overestimate krisisnya, kita akan cenderung lebih berempati dan mau mendengarkan. Sebaliknya ketika underestimate, kita malah akan cenderung memberikan stigma dan berpotensi meningkatkan risiko bunuh dirinya. Segera bawa juga ke poliklinik jiwa di rumah sakit jika memungkinkan. Harus dibawa dengan mobil, diletakkan di tengah, tidak boleh di samping pengendara, dan diapit oleh dua orang yang dekat pintu.

Apa pesan dari Benny atau Into The Light untuk teman-teman yang sedang punya kecenderungan untuk mengakhiri hidup di luar sana?

Pertolongan dan pemulihan akan selalu ada, jika saja kita semua sama-sama mau belajar untuk mendengar dan tidak menghakimi. Untuk kamu yang sudah lelah mencari, dunia mungkin memang terasa tidak adil dan berat, akan tetapi keberanianmu untuk terus bertahan adalah sebuah keberanian yang sangat saya apresiasi sekali. Sebisa mungkin, teruslah berjuang, istirahat tapi jangan menyerah begitu saja dengan pikiranmu yang mengatakan hal negatif mengenai dirimu. Jangan biarkan pikiran itu mendefinisikan dirimu. Gunakanlah terus keberanianmu untuk menjalani proses pemulihan itu.



#waveforequality


Avatar
About Author

Caesar Abrisam

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *