Perempuan yang Melahirkan Matahari
Aku akan tumbuh kembali, menjadi matahari, dan menciptakan cahayaku sendiri.
Eva adalah perempuan yang mampu melahirkan bunga dari jemari. Di tangannya, bunga jotang berubah jadi kudapan yang gurih. Dari balik genggamnya, bunga kenop dan telang telah menjelma sepoci teh berwarna ungu muda. Dari ujung bibirnya, bunga kenikir kuning dikunyahnya perlahan.
Kebun Eva adalah kebun bunga sederhana di halaman rumah. Kebun itu adalah rumah, teman, dan tempatnya bersandar. Di sana, tanah gembur dengan kerikil kecil menjadi tempat berkumpulnya belalang sembah berwarna kayu, kupu-kupu kuning yang menari cha-cha, cacing tanah yang menggeliat, kadal kecil yang bermain petak umpet, semut yang beriring rapi, lebah yang mengucapkan selamat pagi, dan belalang yang sibuk melompat memikirkan sarapan hari ini.
Di kebunnya, bunga kertas berwarna merah dan putih sibuk bersolek, sedangkan bunga pepaya sibuk meramu buah. Bunga pisang membuka perlahan jantungnya, merekah di antara incaran mata burung kutilang. Pandan hijau dan sereh berbincang mengenai wangi-wangian, sementara bunga mawar batik masih berpura-pura tidur sembari mendengarkan. Kerumunan daun mint sedang mengomentari jumlah sepatu yang harus dipakai oleh kaki seribu.
Baca juga: Kita yang Hidup dari Kata-kata
Eva menapaki kebun kesana-kemari bertelanjang kaki, sambil menyapa pegagan yang khawatir saat Eva mulai berjingkat. Cabai tidak terlalu peduli, mereka tengah berdiskusi lipstik mana yang harus mereka torehkan hari ini. Tomat sedang menjaga berat tubuh mereka sendiri.
Kebun Eva begitu berwarna, ramai sekaligus menenangkan. Dia menjadi tempat pemberhentian anak-anak yang sedang belajar bersepeda. Juga menjadi tempat tetangga mencari anak ayam yang kabur dari induknya.
Dari semua bunga, Eva jatuh cinta pada bunga matahari. Bunga matahari mekar menjulang tinggi di tengah kebunnya yang disirami terik. Daun-daunnya lebar, kepalanya tegak mencari cahaya. Bunga mataharilah yang menjadi pusat perhatian semesta kebunnya.
Eva mendekati bunga matahari. Warna kuning-oranye terpantul di bola matanya yang membulat. Dalam binar tatap mata yang tetap teduh, Eva menepuk-nepuk tanah, kemudian duduk bersimpuh dalam khidmat. Tanah mengecupi kulitnya, dan waktu berhenti sejenak. Eva menggumam selayaknya membaca mantra.
Baca juga: Meneguk Air Mata
Pada bunga matahari, Eva mendaratkan kecupan lembut pada daunnya dan berbisik :
Untuk kamu yang menjelma dari bunga menjadi cahaya. Aku mencintaimu seperti bunga matahari yang kurawat dari sebutir kuaci. Berharap dia tumbuh, menjaga, dan menyapanya setiap pagi.
Pada batangnya yang mungil aku sangga, pada tingginya aku hitung, pada kuncupnya aku doakan, pada mekarnya aku tunggu, pada penuhnya aku cumbu, pada kuningnya aku rayu, pada beratnya aku bantu, pada layunya aku temani, pada rubuhnya aku rengkuh, pada keringnya aku tampung, pada kembalinya aku simpan, kemudian aku tanam kembali. Hingga penuh kebunku dengan kamu, matahari-matahariku, cintaku yang berlipat ganda.
Seisi kebun terdiam dalam takjub setiap kali Eva bersimpuh dan berbisik iri pada bunga matahari. Belalang hijau tampak terpeleset dari daun, menimpa kaki seribu yang tengah menggulung.
Eva menepuk-nepuk tanah dengan lembut kemudian membasuhnya dengan aliran air. Seperti doa yang dipanjatkan dalam hela napas, butir-butir air meresap ke dalam sela-sela tanah.
Seperti kebun, terkadang hujan dan badai datang mencumbumu lebih dahulu, menempamu lebih keras, dan membuat kita sama-sama takut. Aku dan kamu mencari-cari tempat berlindung, kaki-kaki kita sama basah dan sama kotor, tapi kita kembali lagi berusaha tumbuh esok harinya. Pada waktu pagi sebelum kamu dicumbu panas, aku akan menghampiri dan menyirami kakimu dengan lembut, agar akar-akar itu tetap percaya pada kuatnya rasa sabar yang pelan-pelan dibangun. Kadang aku lupa memupuknya, tapi kamu, kamu yang serupa bunga matahariku, tumbuh sangat subur sehingga dalam malasku pun aku akan memandang cinta yang sepenuhnya darimu.
Keesokan harinya, Eva dibangunkan bukan bangun pagi-pagi untuk merawat tanamannya seperti biasa. Mata Eva menelusur mencari burung-burung yang biasanya bertengger mematuki jendela. Namun, bukan kicau burung yang membangunkannya, melainkan suara dentuman dan ketukan. Eva mendapati kaki-kaki besar dengan bunyi bising mulai mengukur, mematok tanah, mengecor beton, menuang semen, menciptakan debu pasir yang berputar di udara.
Eva berlari ke kebun dan mendapati penghuni kebun yang bersiap pindah. Bunga mawar yang rekah terbatuk-batuk, meranggas karena tersedak udara yang mengabu.
Matahari yang menghangatkan kebunnya, tak lagi bisa ditemui. Berhari-hari kebun menjadi muram, bayangan besar dari bangunan putih menjulang menutup hari-hari. Tanaman mulai berteriak kehabisan air, bayangan muncul tak henti. Eva merasa putus asa ketika tumbuhan-tumbuhan kesayangannya mulai mati satu per satu.
Hari-hari berikutnya, Eva menemukan kebunnya perlahan-lahan mulai sepi. Tidak dapat ditemukan lagi kupu-kupu, belalang sembah, siput, ulat daun, dan bekicot. Tanah yang dulu subur dan lembab, kini perlahan-lahan kering dan mengeras, bersamaan dan suara dari pekerjaan konstruksi mengisi udara. Bangunan itu semakin lama semakin mendekati matahari, menelannya bulat-bulat.
Eva berusaha mengucurkan lebih banyak air, lebih banyak cinta, lebih banyak rasa yang dicurahkan berkali-kali lipat. Namun semua upayanya tidak membuahkan hasil. Bunga-bunga semakin mengering, daun-daun berlarian dari tangkainya, dan tangkai tercerabut dari akarnya. Akar-akar mulai menyusut dan mati. Air mengenang, tidak menemukan jalan pulang. Tidak ada yang bisa menciptakan cahaya, tidak ada yang dapat menggantikan matahari.
Butuh waktu untuk Eva menyadari akhirnya harus menyerah pada kenyataan. Dia tidak dapat bertahan. Eva merasa seperti kehilangan arah hidupnya tanpa kebun bunga yang dicintai. Dia merasa seperti bunga yang mati karena tak lagi ditemukan cahayanya. Sampai akhirnya Eva terpaksa menyerah pada jalan yang telah berubah menjadi aspal hitam membakar kaki.
Bunga matahari masih berdiri, meski sendiri, tertunduk lemas. Kuning telah berubah coklat, tangkai sudah menyusut, tertatih-tatih menahan diri tidak terkapar, demi Eva. Bunga matahari menunggu Eva memunguti biji-biji terakhir. Eva menatap bunga matahari yang menahan ucapan selamat tinggal di ujung bibir, begitu kuat bertahan hanya supaya tidak merasa sendirian.
Eva menarik napas panjang dan mengecup kuntum bunga matahari yang telah kehilangan cahaya terakhirnya. Bunga matahari tersenyum dan mengucapkan selamat tinggal dan terima kasih. Eva mengangguk. Air mata menggenangi tangannya yang penuh. Tanaman-tanaman yang dulu menjadi teman dan sahabat, kini sudah hilang, digantikan oleh struktur dingin dan steril, yang seolah mengejeknya. Dia berdiri di sana untuk waktu yang lama, menatap bangunan itu, merasa kehilangan dan kesepian.
Baca juga: Hilangnya Sono
Dalam kepasrahan, Eva mengucapkan perpisahan pada kebunnya:
Aku mencintaimu seperti aku mencintai bunga matahari, Penuh. Tapi mungkin kamu adalah sesempurna bunga matahari, di mana aku bukan lagi sumber cahayamu, bukan lagi mataharimu. Karenanya, kamu memilih tumbuh di tempat lain yang memberimu cahaya. Kamu kemudian menjelma menjadi cahaya matahari itu sendiri, yang terang, yang menyilaukan, yang hilang. Dan aku yang jatuh cinta ini memilih menjelma menjadi bunga; yang tumbuh sendiri dan yang layu sendiri, dan tidak pernah mekar karena tidak lagi kutemukan cahayaku. Aku kembali menjadi-biji biji kuaci yang disimpan di lemari, berharap matahariku suatu saat bisa aku raih dengan batang mungilku.
Kamu telah menyelesaikan tugasmu dengan sempurna. Tidak ada lagi yang aku minta. Terima kasih pernah hadir dan membiarkan bunga matahariku tumbuh, dan menjelma menjadi cahaya secara utuh.
Sementara aku, akan tumbuh kembali, menjadi matahari, dan menciptakan cahayaku sendiri.