‘Coda’: Lebih Dari Sekadar Film Soal Orang Tuli
Tak bisa bicara apa-apa lagi, saya cuma minta kamu siapkan tisu sebelum menonton film ini.
Baru sepuluh menit saya menyaksikan Coda dan saya tahu ini akan jadi pengalaman menonton yang tidak biasa. Baru sepuluh menit dan film karya Sian Heder ini langsung menohok ulu hati saya. Sisanya adalah sebuah gempuran emosi yang akhirnya bikin Coda sebagai salah satu film favorit saya tahun ini.
Latarnya di Kota Gloucester, Massachusetts, Amerika Serikat (AS). Tokoh utamanya Ruby Rossi (Emilia Jones), remaja perempuan satu-satunya yang bukan merupakan seorang Tuli di keluarganya. Bapaknya, Frank (Troy Kotsur), ibunya Jackie (Marlee Matlin), dan kakaknya Leo (Daniel Durant) semuanya Tuli. Itulah sebabnya peran Ruby lebih dari sekadar anak dan saudari. Dia adalah penerjemah untuk keluarganya dari sejak dia bisa bicara. Keluarganya yang berprofesi sebagai nelayan mengandalkan Ruby saat berlayar dan berhadapan dengan para nelayan serta makelar ikan.
Di sisi lain, sekolah bukan tempat yang menyenangkan bagi Ruby. Fakta bahwa semua keluarganya Tuli, membuat Ruby dirundung oleh beberapa temannya. Belum lagi Ruby membantu keluarganya berlayar setiap hari. Cemoohan seperti “bau ikan” sudah pasti ia dengar setiap saat, tapi Ruby sudah terbiasa.
Baca juga: Kawinkan Bahasa Isyarat dan Koreografi, Cara Idola K-Pop Jadi Inklusif
Kemudian Ruby melihat cowok yang dia taksir, Miles (Ferdia Walsh-Peelo, dari film bagus berjudul Sing Street), ikut kelas elektif choir. Ruby yang memang suka menyanyi, langsung memutuskan secara impulsif untuk mengikuti kelas ini. Di sinilah Coda menjadi lebih menarik. Bagaimana seorang Ruby mewujudkan mimpinya ketika seluruh keluarga tidak bisa mengerti apa yang dia lakukan?
Cara bertutur Coda memang tak revolusioner-revolusioner amat, bahkan film ini punya pendekatan bercerita yang cukup tradisional. Namun, Heder tahu benar bagaimana cara menceritakan kisah ini dengan apik, sehingga itu jadi kekuataan film genre ini. Alih-alih menguras emosi penonton dengan mengumbar cerita sentimentil dan dramatis, Heder justru mengambil jalan sebaliknya. Dia mengajak penonton untuk berada di mindset tokoh utamanya sepenuhnya yang super tegar dan bersemangat, sehingga saya pun hanyut dengan sendirinya tanpa usaha berlebihan.
Sebagai sebuah film remaja, saya sangat menyukai gambaran persahabatan antara Ruby dan Gertie (Amy Forsyth). Mereka saling dukung, mengerti satu sama lain, dan tidak pernah menghakimi. Tidak ada drama bertengkar, seperti kebanyakan film remaja. Persahabatan mereka sangat pure dan ini sangat inspiring.
Baca juga: Dokumenter ‘Crip Camp’ Dobrak Cara Kita Pandang Disabilitas
Yang juga saya sangat sukai di Coda adalah bagaimana sosok Miles digambarkan sebagai cowok yang baik-baik. Dia bukan cowok populer. Dia bukan cowok yang petantang-petenteng. Dia bukan playboy. Miles hanya suka bernyanyi dan ingin mendapatkan beasiswa. Hubungan antara Ruby dan Miles pun berkembang dengan organik, tanpa drama yang meledak-ledak.
Sebagai sebuah drama keluarga, Coda “sangat kaya”. Tentu saja topik seorang anak dengan keluarga Tuli adalah sumber drama yang tak berkesudahan. Namun, Heder sebagai penulis skrip dan sutradara tidak berhenti di sana, ia juga memberikan penonton karakter-karakter yang sangat kuat.
Frank dan Jackie misalnya, jadi sosok orang tua yang sangat menyenangkan. Menjadi Tuli bukan halangan bagi mereka untuk jadi orang tua suportif, sangat vokal dengan isu-isu keluarga, dan benar-benar hadir dalam kehidupan anak. Mereka juga punya selera humor yang sangat bagus. Tunggu sampai Anda melihat adegan makan malam di mana Frank dan Jackie membantu Leo untuk mencari pacar di Tinder. Coda jauh lebih lucu dari kelihatannya.
Miles, sebagai kakak, juga bukan sekadar tempelan. Miles punya aspirasi dan punya tekad. Dia muak semua orang menganggapnya sebagai anak kecil hanya karena Ruby bukan seorang Tuli. Hubungan antara kedua saudara ini kelihatannya sangat spesifik untuk film ini tapi sebagai penonton, saya merasa penggambarannya sangat relevan.
Ruby sebagai karakter utama juga bukanlah karakter remaja yang sempurna. Ia kadang egois, tidak tahu prioritas seperti remaja-remaja pada umumnya. Terima kasih sekali lagi pada Heder karena telah mengemas Ruby jadi sosok tiga dimensional, sehingga saya benar-benar merasakan semua beban yang ada di pundaknya.
Baca juga: Akibat Stigma, Kelompok Minoritas Masih Sulit Mengakses Kesempatan Kerja
Di luar ini, ada banyak momen dalam film Coda yang memancing air mata. Entah itu adegan Jackie dengan Ruby di kamar anaknya di mana dia mengaku bahwa ketika Ruby lahir, dia berharap agar Ruby juga Tuli supaya dia tidak menjadi “alien” di keluarganya. Pun, ketika keluarga mereka terkena musibah dan Ruby secara tidak langsung bertanggung jawab atas hal itu, atau ketika Ruby akhirnya menyanyi dan keluarganya duduk di auditorium dan tidak tahu harus merespons apa. Seperti yang saya bilang tadi, Heder tahu bagaimana cara mempersembahkan ini semua tanpa kelihatan sebagai sebuah eksploitasi.
Ketika film berakhir, saya tersenyum bahagia dengan pipi basah. Sudah lama saya tidak seemosional ini saat menonton film. Coda bukan hanya sebuah film yang sangat baik tapi juga mesin empati yang sangat tokcer. Kalau kamu rindu menangis bahagia, film ini adalah jawaban yang kamu cari.
Coda dapat disaksikan di Apple TV+.
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.