Lifestyle Madge PCR

Pasangan Belum Sadar Soal Kesehatan Mental, Akankah Memengaruhi Relasi?

Bagi sebagian orang, perbedaan pemahaman soal kesehatan mental berdampak pada kualitas hubungan mereka. Lalu, bagaimana cara mengatasinya?

Avatar
  • February 19, 2023
  • 8 min read
  • 1141 Views
Pasangan Belum Sadar Soal Kesehatan Mental, Akankah Memengaruhi Relasi?

Butuh waktu dua tahun bagi “Andini”, 23, untuk bisa mengambil keputusan berpisah dengan mantan pacarnya “Erik”. Sejak didiagnosa memiliki post-traumatic stress disorder (PTSD) pada 2019 lalu, bukan perkara mudah bagi Andini untuk menjelaskan bagaimana kondisinya kepada Erik. Apalagi mantan pacarnya itu termasuk golongan orang yang meremehkan isu kesehatan mental. 

Setiap kali Andini cerita tentang kondisinya, Erik akan menginvalidasi perasaan Andini dengan mengatakannya lebay atau terlalu dipikirin. Bagi Erik, yang besar dan tumbuh di tengah keluarga militer yang serba keras, semua masalah kesehatan mental bisa teratasi dengan terus memotivasi diri dan berpikir positif.

 

 

“Jadi rasa kecemasan dan ketakutan yang tiba-tiba sering datang pas aku cerita sama dia dimentalin terus. Gimana ya, merasa enggak valid aja semua yang aku rasa di matanya,” ujar Andini kepada Magdalene. 

Sebagai pasangan, Andini sebetulnya sudah berusaha untuk membuka percakapan soal isu kesehatan mental dari hal-hal kecil. Apalagi ia berpikir bahwa pasangannya yang terbiasa dididik keras tak terbiasa untuk mengekspresikan perasaannya. Namun, semua usaha itu tak begitu berhasil. Andini dan Erik malah semakin sering bertengkar. Hal itu juga yang menjadi alasan Andini akhirnya memilih memprioritaskan kesehatan mentalnya dan berpisah dengan Erik.

“Beban emosionalnya enggak worth aja untuk aku pertahanin,” kata Andini.

Sebagai pihak yang terlibat dalam relasi, Andini menunjukkan keterlibatannya untuk mengusahakan hubungan berkembang dengan sehat. Ia memberikan contoh kepada Erik agar mau mengenal kesehatan mental, lewat kepeduliannya terhadap isu ini.

Baca Juga: Tips Mendukung Pasangan dengan Masalah Mental

Namun, pada dasarnya keinginan mengubah diri merupakan tanggung jawab setiap individu. Hal itu disampaikan oleh Psikolog Klinis Mayda Anggarini. Menurutnya, seseorang hanya bisa mendampingi pasangannya dalam berproses.

“Ketika udah mengusahakan hubungan berkembang dengan sehat, sedangkan pasangan enggak bergerak, coba tanya pada diri sendiri. Mau sampai kapan bertahan dalam hubungan yang hanya bergerak satu sisi?” ucap Mayda.

Berbeda dengan Andini, Laras, 27, terbilang lebih beruntung karena pasangannya mau belajar lebih tentang masalah kesehatan mental. Laras sendiri mulai sadar dengan isu kesehatan mental saat ia mengalami panic attackatau serangan panik, suatu malam sehabis pulang kerja. Saat itu, ia merasa dadanya sesak dan tiba-tiba menangis tanpa sebab.

Setelah berkonsultasi dengan psikolog di salah satu aplikasi layanan kesehatan, Laras baru paham serangan panik itu tak terjadi tiba-tiba, tetapi akumulasi dari berbagai perasaan yang selama ini ia tekan atau coba sembunyikan.

“Dari sana aku seperti paham, perasaan yang selama ini kita pendam tuh enggak benar-benar hilang. Tapi terakumulasi kayak gunung merapi dan pada akhirnya bisa meledak kapan saja,” tutur perempuan yang bekerja di bidang kreatif itu kepada Magdalene.

Semenjak itu, Laras pun mulai terus mengedukasi diri mengenai masalah kesehatan mental. Misalnya menjadi paham bahwa sifat dan karakter seseorang tidak asal terbentuk dari lahir. Lalu bagaimana pola pengasuhan orang tua dan latar belakang seseorang, sangat berpengaruh pada cara mereka merespons sesuatu dari segi emosi—disebut juga coping mechanism.

Pengetahuan soal kesehatan mental ini tak hanya berpengaruh pada diri Laras dalam memproses emosi yang dirasa, tapi juga bagaimana ia berkomunikasi dan menyelesaikan konflik dengan pasangan.

“Kalau dulu suka mendem dan silent treatment pasangan saat lagi konflik atau berantem, sekarang udah paham kalau itu enggak baik. Jadi diidentifikasi dulu responsnya, baru perlahan aku mulai ubah ke respons yang lebih baik,” tambahnya.

Meski punya pengaruh besar dalam membuat komunikasi dalam hubungannya lebih baik, Laras mengatakan pengetahuan soal kesehatan mentalnya ini cukup jomplang dengan pasangannya, yang masih belum begitu aware dengan isu ini. Saat membicarakan trauma misalnya, pacar Laras dulu masih menganggap trauma berhubungan dengan kejadian besar yang menimpa seseorang seperti kecelakaan.

“Padahal kan trauma itu cukup kompleks ya. Bisa juga childhood trauma yang membuat kita punya coping mechanism yang toksik, gitu,” kata Laras.

Adanya ketimpangan pengetahuan soal isu kesehatan mental ini membuat Laras lebih sering membuka dialog dengan pasangan. Mendengarkan pengalaman satu sama lain, dan bagaimana keduanya bisa menyelesaikan konflik dengan lebih baik. Ia juga sangat terbantu dengan pasangannya yang mau diajak sama-sama belajar.

“Sebetulnya ini termasuk bare minimum sih ya. Tapi aku ngeliat banyak juga pasangan temenku yang cukup dominan, dan dikasih tahu tuh malah berasa digurui. Jadi memang susah juga kalau tipenya yang seperti itu,” tambah Laras.

Peran Gender Memengaruhi Pembahasan Kesehatan Mental

Tak dimungkiri, stigma seputar kesehatan mental masih melekat di masyarakat. Soal gangguan jiwa, maupun menunjukkan kelemahan apabila mencari bantuan profesional. Kedua stigma tersebut melatarbelakangi keengganan laki-laki, untuk konsultasi ke psikolog atau psikiater. Membuat mereka cenderung lebih sedikit menerima perawatan kesehatan mental dibandingkan perempuan.

Selain stigma, keengganan mencari bantuan juga membuktikan dampak maskulinitas beracun. Dikarenakan adanya pemahaman, laki-laki sebagai sosok yang kuat, dominan, dan tidak seharusnya mengekspresikan perasaannya. Dalam riset Males and Mental Health Stigma (2020), peneliti Benita N. Chatmon menjelaskan beberapa dampak dari maskulinitas beracun pada kesehatan mental.

Di antaranya memperburuk depresi dan kecemasannya, peningkatan tekanan psikologis secara keseluruhan, memiliki masalah interpersonal dan hubungan, serta merasa putus asa dalam mencari bantuan.

Baca Juga: Saat Pasangan Tak Mau Kamu Tumbuh, Apa yang Bisa Dilakukan?

Menanggapi soal gender yang berperan dalam pembahasan kesehatan mental, psikolog Mayda menyepakatinya. Namun, berdasarkan pengamatan terhadap kliennya, Mayda melihat laki-laki mulai memiliki kesadaran kesehatan mental.

Menurutnya, kesadaran itu disebabkan oleh informasi terkait kesehatan mental, yang banyak dibicarakan di media sosial. Konsultasi pun bukan hanya dilakukan ketika permasalahan semakin berat, melainkan menyampaikan ketidaknyamanan yang dirasakan.

“Aku melihat kesadaran laki-laki (mencari bantuan) ke profesional juga meningkat. Ada yang membicarakan soal hubungan romantis, kemudian stres pekerjaan. Mereka datang ke psikolog atas kesadaran sendiri,” terang Mayda. “Bahkan, mereka merekomendasikan pasangannya untuk ke psikolog.”

Hal serupa dirasakan oleh Patresia Kirnandita, 33, dengan suaminya. Sebagai orang yang pernah mengalami depresi, Patresia lebih aware dengan isu kesehatan mental sejak ia masih duduk di bangku sekolah. Walau suaminya belum begitu memahami isu kesehatan mental, keinginan untuk mendengarkan tanpa menghakimi jadi modal penting untuk keduanya membuka dialog soal isu ini.

“Misalnya lagi berantem besar itu muncul kan sikap-sikap yang bisa aja dari childhood trauma. Udah suasananya adem, baru diobrolin, tadi tuh kenapa. Divalidasi juga perasaan yang kita atau pasangan rasain,” jelas penulis buku Anak Kecil yang Terluka di Tubuh Orang Dewasa itu kepada Magdalene.

Menurut Patresia, sebetulnya gap pengetahuan tentang isu kesehatan mental itu hal yang biasa apalagi saat menjalin relasi. Mengingat setiap orang punya pengalaman dan perasaan yang berbeda. Membuka percakapan soal isu kesehatan mental juga bisa dilakukan lewat hal-hal kecil di keseharian. Contohnya saat ia merasa terganggu ketika suaminya tak meletakkan barang sesuai tempatnya. Suaminya mungkin beranggapan bahwa itu hal sepele, tapi bagi Patresia itu bisa sangat memengaruhi mood-nya.

“Jadi sebetulnya enggak perlu pake terminologi atau suruh baca buku untuk mengerti isu kesehatan mental. Ya cukup mulai dengan percakapan sehari-hari. Kuncinya mau mendengarkan dan berempati,” terang Patresia.

Selain pentingnya keterbukaan dan saling mendengarkan, perspektif gender juga berpengaruh dalam melihat isu kesehatan mental, terutama untuk para ibu seperti dirinya. Contohnya saat Patresia merasa burnout karena pekerjaan, suaminya akan langsung bergantian menjaga anak agar ia punya waktu untuk istirahat.

“Waktu gue lagi nelpon lo kayak gini nih. Dia udah langsung paham kalau gue lagi ada yang dikerjain. Anak gue langsung dibawa main keluar,” ungkap Patresia.

Meski gestur-gestur seperti itu sederhana, menurut Patresia belum banyak suami yang paham dengan hal itu, apalagi di tengah masyarakat kita yang masih patriarkal. Ibu sering kali dibiarkan menanggung beban ganda pengasuhan dan beban domestik. Hal ini juga sangat berpengaruh pada kualitas hubungan dalam relasi pernikahan.

Baca Juga: Kenali Hubungan Toksik, Dampaknya Bisa Ciutkan Kepercayaan Diri

“Ada banyak juga kan suami yang enggak mau tahu apa yang istri rasakan. Itu kan pengaruh banget sama kesehatan mental ibu. Makanya masalah ini tuh pengaruh ke relasi,” kata Patresia.

Mengatasi Perbedaan Pemahaman Kesehatan Mental

Mayda mengamini, perbedaan pemahaman kesehatan mental dapat memengaruhi kualitas hubungan romantis. Salah satunya menyebabkan berkurangnya dukungan yang diberikan pada pasangan. Membuat seseorang semakin di bawah tekanan, ketika ia membutuhkan support system.

“Misalnya pasangan lagi stres atau burnout, terus cerita ke pasangannya dan hanya ingin didengarkan atau ditenangkan. Tapi karena pasangannya enggak paham, respons yang diberikan justru menginvalidasi, bikin enggak nyaman untuk cerita lagi,” tutur Mayda.

Selain menimbulkan ketidaknyamanan, nihilnya pengetahuan soal kesehatan mental juga memengaruhi kepekaan terhadap perasaan pasangan. Namun, hal itu bisa diatasi dengan mengomunikasikan keinginan dan memberikan ruang untuk bercerita.

Contohnya ketika ingin bercerita, katakan bahwa yang dibutuhkan adalah didengarkan tanpa diberikan saran. Atau ingin memperbaiki mood dengan melakukan aktivitas tertentu.

Di samping itu, perlu diketahui perbedaan pemahaman terkait kesehatan mental bukan hanya berdampak pada kualitas hubungan. Melainkan kesehatan mental individu yang terlibat dalam relasi, yang kemudian menghambat pertumbuhan diri. Kemudian berkaitan ke berbagai peran yang harus dijalani, seperti bekerja dan bersosialisasi. Bahkan menimbulkan gangguan kesehatan mental.

“Itu akan terjadi, kalau lama-lama hubungannya enggak sehat dan sebelumnya punya masalah kesehatan mental,” jelas Mayda. Dikarenakan bertambahnya beban psikis, membuat kesehatan mental semakin memburuk.

Sebagai solusi, Mayda menyarankan agar pasangan membangun diskusi terkait kesehatan mental. Dimulai dari menyusun batasan satu sama lain, hal-hal apa yang bikin nyaman dan tidak, dan memberikan feedback terhadap pasangan. Walaupun sepertinya tidak langsung menyasar ke kesehatan mental, diskusi tersebut membantu merefleksikan diri dan kualitas relasi.

“Yang perlu ditekankan, lingkungan enggak bisa mengontrol seseorang. Kalau mau membuat pasangan lebih aware dengan kesehatan mental, enggak masalah. Tapi, kita enggak bisa mengontrol respons yang diberikan. Termasuk kalau dia teguh sama pendiriannya,” ungkap Mayda.



#waveforequality


Avatar
About Author

Siti Parhani and Aurelia Gracia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *