Dear Janda: Kamu Perempuan Berdaya, Kamu Berhak Bahagia
Jadi janda tak ‘seseksi’ stigma yang kerap dilekatkan pada mereka. Sebuah usaha melawan berbagai label buruk perempuan yang bercerai.
Beberapa waktu silam, saya iseng ketik kata “JANDA” di kotak pencarian Google, dan hasil yang keluar cukup menyedihkan. Mulai dari kata booking, miskin, kesepian, kaya, siap kawin–semua muncul setelah kata janda. Kalau iseng cari di Instagram lebih ngeri lagi, akun-akun bernama semacam jandamudabohai atau jandakembang bahkan jandapenggoda akan jadi top 3 hasil pencarian.
Saya sendiri adalah seorang janda beranak satu. Saya resmi jadi janda di 2018, setelah jadi janda gantung sejak Oktober 2015 karena mantan suami memutuskan pergi dan memulai hidup baru bersama kekasihnya saat itu. Sempat juga merasakan jadi korban stigma seksualisasi janda, dari candaan seksis semacam “Cie, sekarang jadi janda. Bahaya nih”, atau “Janda semakin di depan ya, Pop!” yang entah apa maksudnya. Ini belum termasuk banyaknya laki-laki yang mengajak kenalan di media sosial.
Padahal boro-boro mikir kalau akan banyak laki-laki yang menganggap saya menarik. Lha wong self worth saja anjlok ke titik terendah saat mantan minggat. Boro-boro menganggap diri “semakin di depan”, lha wong saat itu saya merasa tak ada harganya makanya dihempaskan begitu saja.
Baca juga: Menjadi Janda dan Lapis-Lapis Perjuangan di Baliknya
Saya bahkan sempat menceritakan berbagai macam tantangan yang saya hadapi seputar administrasi negara di akun Instagram. Sebut saja urusan Kartu Keluarga, pengaktifan BPJS Kesehatan pasca-saya tak lagi kerja kantoran, sampai yang teranyar, di mana saya harus adu ngotot dengan pihak sekolah anak saya seputar penulisan nama orang tua di ijazah anak.
Pihak sekolah kukuh mereka hanya menjalankan peraturan pemerintah yang mengharuskan nama ayah yang ditulis di ijazah anak. Konon, itu telah sesuai dengan Peraturan Sekretaris Jenderal (Persesjen) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 5 Tahun 2021. Sementara, saya bersikeras minta mereka untuk menunjukkan di bagian mana dari Persesjen tersebut yang menyatakan harus nama ayah yang dituliskan di ijazah anak.
Saat saya mengadu ke pihak yayasan, alih-alih dimediasi, saya justru diberi syarat yang sangat memberatkan jika tak mau melunak. Saya diminta mengganti akte lahir anak saya dan menghilangkan nama bapaknya; atau saya buat surat permohonan bermaterai, dilengkapi dengan dokumen yang menunjukkan hak asuh anak, dan menghadirkan bapak biologis anak saya ke sekolah untuk menandatangani surat pernyataan menyetujui nama ibu yang dituliskan di ijazah anak.
Baca juga: Engkau Janda dan Engkau Terhormat
Saya bukan jenis perempuan yang mudah diintimidasi, sehingga saat itu kembali menolak persyaratan mereka. Lantas, saya menuntut penjelasan dari pihak yayasan dan sekolah serta meminta mereka untuk menunjukkan di bagian mana dari Persesjen tersebut yang menyebutkan harus nama ayah. Karena memang tidak ada, tentu saja mereka tidak bisa menunjukkannya. Perjuangan saya berakhir tepat satu bulan setelah saya menanyakan perihal ini ke kepala sekolah, dengan dikabulkannya permintaan agar nama saya yang dituliskan di ijazah anak sebagai nama orang tua tunggal.
Menariknya, saat saya membagikan kisah ini di media sosial, saya menemukan banyak komentar negatif yang datangnya dari laki-laki. Mulai dari pemberian label ‘emosional’, terlalu ‘bawa perasaan’, sampai berbagai saran dan pendapat panjang lebar seputar bagaimana seharusnya saya menyikapi hal ini. Sepertinya mereka punya solusi atas semua tantangan hidup saya yang kalau disimpulkan adalah: Jangan menghilangkan nama bapaknya hanya karena kalian cerai. Menurut hukum yang berlaku dan syariat agama, nama Bapak itu akan selalu menempel dengan nama anak.
Baca juga: Bibit-bibit Kekerasan dalam Olok-olok Status Janda
Padahal tuntutan saya jelas, saya ingin diakui sebagai orang tua oleh pihak sekolah. Nama di ijazah anak saya bukan sekadar nama yang ditulis di atas kertas, sehingga tak penting buat saya. Ijazah anak saya adalah pencapaian akademisnya yang direngkuh dengan dukungan saya sebagai orang tuanya, moril dan materiil. Tanpa bapaknya yang entah ada di mana dan sudah berapa lama tak lagi tertarik untuk ada di hidup anaknya. Apa yang seperti itu patut namanya dituliskan di ijazah anak dalam kolom orang tua? Kenapa pula nama saya tak berhak ditulis sebagai orang tua? Apa karena saya ibu, yang tugasnya memang cuma hamil, melahirkan, membesarkan, memelihara, mendidik?
Apa memang sudah demikian lamanya praktik yang diskriminatif pada perempuan di negara ini, sehingga urusan nama di ijazah dianggap satu hal yang remeh? Apa memang sudah begitu mengakarnya budaya patriarki, sampai-sampai jika perempuan bersuara dan melawan, yang maju duluan untuk berpendapat adalah laki-laki yang bahkan tak paham apa-apa. Laki-laki yang mungkin dididik dan dibesarkan dengan pemahaman, mereka adalah pusat semesta. Bahwa mereka pemimpin dan perempuan harus mengikutinya.
Katanya, WOMEN NEED TO START TO SPEAK UP. Namun menurut saya, kita perlu membekali anak lelaki untuk berlatih mendengarkan dengan lebih baik. Mendengarkan suara perempuan saat mereka membagikan kisah seputar isu perempuan; memahami, bukan untuk bereaksi, menasihati, apalagi menghakimi.
Jadi janda itu tak ‘seseksi’ stigmanya, dan itulah mengapa saya memulai support group berbasis komunitas, Perempuan Tanpa Stigma (PenTaS Indonesia) dan baru-baru saja memulai petisi untuk melawan praktik diskriminatif oleh institusi pendidikan di Indonesia. Tujuannya agar kami, para janda dan ibu tunggal, bisa diakui sebagai orang tua bagi anak-anak kami.
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.