Election 2024 Issues Politics & Society

Di Balik Nyalegnya Komeng: Lawan Dominasi Partai hingga Kegagalan KPU

Komeng mendadak jadi ‘Man of the Match’ Pemilu 2024. Maju tanpa partai, berfoto nyeleneh, tanpa kampanye 'fafifu', tapi berhasil melejit.

Avatar
  • February 16, 2024
  • 5 min read
  • 1184 Views
Di Balik Nyalegnya Komeng: Lawan Dominasi Partai hingga Kegagalan KPU

“Bang Komeng, kira-kira (nyaleg) lewat DPD ini, (program) apa yang mau dibawa ke Jawa Barat dan sekitarnya? Apakah fokus di dunia kesenian atau apa,” tanya Muhammad Kunto Tri Wibowo, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UNDIP dalam acara FYP Trans TV episode 23 Agustus 2023.

“Untuk Jawa Barat enggak bisa dimajukan karena nanti akan bersenggolan dengan DKI, jadi harus tetap di tempat,” jawab Alfiansyah Bustami Komeng, yang langsung disambut tawa penonton.

 

 

Bukan kali ini saja kita dibikin gemas dengan banyolan pelawak yang populer lewat program “Spontan” tersebut. Beberapa kali sebelum akhirnya menjawab serius pertanyaan orang tentang motivasi nyaleg di Pemilu 2024, ia tak lupa bikin orang tertawa lebih dulu. 

Baca juga: Meme adalah Pesan: Nurhadi-Aldo dalam Politik Anak Muda

Ini selaras dengan misi Komeng yang ingin mengembangkan komedi agar rakyat bahagia. Ia juga mau ada Hari Komedi Nasional, sebagaimana ada Hari Musik, Hari Film, dan seterusnya. Selain itu, ia mau Indonesia terkenal lewat kesenian komedi, sebagaimana Korea Selatan yang populer dengan Hallyu atau Korean Wave-nya.

Karena itulah, bapak tiga anak ini memutuskan nyaleg dari jalur mandiri. “Kalau dari DPD, saya dari diri sendiri, tidak ada kepentingan, bukan petugas partai,” kata Komeng dalam acara FYP.

Didukung dengan fotonya yang khas Komeng (melihat foto Komeng yang melotot, bibir saya langsung auto mengucap ‘Uhuy’), meski tanpa kampanye dan baliho yang dicetak besar, suaranya melejit di Daerah Pemilihan (Dapil) Jawa Barat. Data real count Komisi Pemilihan Umum (KPU) per pagi ini menunjukkan, Komeng ada di urutan pertama dengan perolehan suara 615.267 atau 9,75 persen dari sekitar 39 persen data yang masuk. Namanya pun sempat trending di X. Banyak warga Jabar mengaku di platform itu, sengaja memilih Komeng karena cuma familier dengan wajahnya di kertas suara.

Baca juga: Magdalene’s Mind Live Podcast: Komedi dan Cerita Tentang Beragama

Antara Politik Popularitas dan Kegagalan KPU

Profesor politik dari Indonesia Kacung Marijan mengurai tiga modal politisi dalam Pemilu. Modalitas ini sekaligus jadi faktor seorang kandidat bisa memperoleh suara dari publik atau tidak. Dalam bukunya “Demokratisasi di Daerah, Pelajaran dari Pilkada Secara Langsung” (2006) dijelaskan, ada modal politik, sosial, dan ekonomi. 

Jika modal ekonomi berkaitan dengan cuan dan modal politik berhubungan dengan dukungan partai, modal sosial tak kalah penting karena berkelindan dengan figur politisi yang bersangkutan. Jika politisi punya modal sosial yang tinggi, misalnya wajahnya familier, dekat dengan rakyat, atau punya citra positif, maka kepercayaan dengan sendirinya bisa terbangun. 

Meskipun tak melulu yang populer dikenal orang akan punya elektabilitas tinggi, tapi modalitas sosial nyatanya menyumbang tingginya elektabilitas Komeng. Dalam banyak cuitan warganet di X, mayoritas memilih Komeng karena cuma wajah dia yang dikenal ketimbang caleg lain di kertas suara. Sebenarnya bagian ini bisa sekaligus menjadi kritik efektivitas komunikasi KPU terkait informasi kandidat. Bagaimana mungkin warga bisa memilih jika tak kenal satu pun wajah-wajah penuh senyum, yang dipampang di kertas suara besar tersebut? Tak tergambar visi misi, dan cuma sepintas lalu melihat mereka di baliho.

Alasan popularitas ini juga yang menjadi alasan kenapa partai politik kerap menggaet artis, komedian, atau pesohor lain yang dikenal publik sebagai mesin suara. Bintang TV ‘90-an Gusti Randa, penyanyi Melly Goeslaw, artis Uya Kuya, dan deretan komedian macam Narji, Denny Cagur, hingga Mongol. Meski ahli politik menganggap karakter pemilih sudah jauh lebih rasional dan tak sekadar melihat ketenaran, tapi kasus kemenangan Komeng membuktikan ada anomali lain. 

Baca juga: Meme Cara Alternatif Hadapi Masalah Depresi

Tren serupa juga terjadi di luar negeri. Kita tentu paling ingat dengan kemenangan gemilang Volodymyr Zelenskyy di Pemilihan Presiden (Pilpres) Ukraina 2019. Punya modalitas sosial yang kuat sebagai komedian, ia berhasil membungkam petahana Petro Poroshenko yang tertinggal dengan perolehan suara 24 persen. Sementara, Zelensky unggul dengan 73 persen suara, dikutip dari artikel BBC Ukraine election: Comedian Zelensky wins presidency by landslide”.

Sebulan sebelum Pemilu, pria yang kerap memaikan peran sebagai Presiden Ukraina di parodi TV itu, lebih banyak mengunggah konten ringan di media sosialnya, alih-alih konten berat seputar kebijakan. Ia juga sebisa mungkin menghindari publikasi berlebihan termasuk wawancara dengan jurnalis.

Ini pula yang juga dilakukan oleh Komeng. Daripada koar-koar dengan janji populis ala politisi lain atau tampil dalam baliho besar, ia hadir dengan narasi ringan penuh komedi. Penampilan ia di TV pun bisa dihitung dengan jari jelang Pemilu, (14/2) kemarin. Meskipun tetap menyatakan keseriusannya mengembangkan komedi sebagai produk budaya warga, tapi kita jarang melihat Komeng tampil dengan gaya yang ndakik-ndakik atau penuh metafora. Semua disampaikan dengan gamblang apa adanya.

“Saya mau ada Hari Komedi, saya ingin mengembangkan komedi hingga ke mancanegara, saya mau rakyat lebih bahagia dengan komedi,” kata dia.

Narasi yang gamblang, meski tetap dibalut dengan komedi, menjadi cara efektif untuk meraup perhatian publik, apalagi dalam konteks Pemilu. Dalam artikel saya bertajuk “Ada Kritik di Balik Komedi” (2020) yang tayang di Remotivi dijelaskan, komedi punya dua fungsi. Mengutip analisis psikoanalis Sigmund Freud dalam Jokes and Their Relation to the Unconscious (1960), fungsi pertama komedi adalah melerai ketegangan dan kecemasan. Fungsi kedua, komedi bisa menjadi sarana kritik atau resistensi atas kondisi sosial dan politik.

Coba bayangkan nanti Komeng dalam rapat paripurna di Senayan, akan menginterupsi Puan Maharani sambil ngomong “Uhuy”. Atau ketika ia menyampaikan satir kepada Presiden terpilih Prabowo Subianto dengan gayanya yang khas, kontras dengan air muka yang tegang dari politisi Gerindra itu. Apa enggak “grrrr” nanti.


Avatar
About Author

Purnama Ayu Rizky

Jadi wartawan dari 2010, tertarik dengan isu media dan ekofeminisme. Kadang-kadang bisa ditemui di kampus kalau sedang tak sibuk binge watching Netflix.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *