Issues Politics & Society

Ramai-Ramai Menertawakan Bahasa Thailand: Diskriminasi Bahasa Itu Nyata Adanya

Buat sebagian orang Indonesia, aksen bahasa seperti bahasa Thailand sering dijadikan lelucon karena dianggap lucu. Tapi nyatanya ini bagian dari diskriminasi.

Avatar
  • January 27, 2023
  • 5 min read
  • 1381 Views
Ramai-Ramai Menertawakan Bahasa Thailand: Diskriminasi Bahasa Itu Nyata Adanya

Pada (22/1), Paman Bajay @jayakabajay mengunggah ulang video dari TikTok berdurasi 2 menitan di Twitter. Isinya memperlihatkan perkenalan diri kontestan Miss Grand Thailand. Namun, nama asli mereka diplesetkan dengan Bahasa Indonesia, seperti “Kok Beol Isi Landak”, “Tak Bisa Bisa pun Senang“, “Hari Ini Mens Tuan“, “Aduh Sarapan, Ya?

Buat Paman Bajay, plesetan nama ini layak ditertawakan bersama. Betul juga, video tersebut memang mengundang 20.000 likes dan ditonton 1 juta orang. Banyak warganet menertawakan Bahasa Thailand yang mereka anggap “aneh”.

 

 

Menariknya ini bukan kejadian pertama orang Indonesia membuat lelucon terkait aksen bahasa asing. Saat menonton acara TV, kamu pasti familier dengan cara komedian meniru aksen orang Tionghoa dan India. Lelucon dan aneka cemooh itu biasanya ditambahi dengan meniru cara berpakaian dan gerak badan, termasuk menggelangkan kepala dan tangan.

Pertanyaannya, apakah lelucon semacam ini termasuk diskriminasi?

Baca Juga: Gara-gara Kolonialisme dan Rasisme, Ini Akar dari Fatphobia

Diskriminasi Bahasa Memang Ada

Untuk menjawab pertanyaan itu, aku menelusuri Google dengan kata kunci accent discrimination dan foreign language discrimination. Hasilnya, fenomena mencemooh bahasa asing yang lumrah ditemui di Indonesia tersebut memang bagian dari diskriminasi.

Dalam dunia akademik, itu dikenal dengan nama linguistic discrimination atau diskriminasi bahasa atau glottophobia. Menurut The Daily Telegraph dan The Daily UK, diskriminasi bahasa hadir karena penggunaan bahasa dan cara berbicara seseorang.

Istilah ini dipopulerkan oleh Sosiolog Philippe Blanchet dari Universitas Rennes untuk mendeskripsikan diskriminasi yang meliputi penggunaan bahasa ibu, aksen, pilihan kosakata, penyusunan kalimat, serta nada bicara. Ini terjadi karena sejumlah pihak merasa bahasa yang mereka gunakan jauh lebih baik dibanding lainnya.

Ada dua bentuk diskriminasi bahasa yang jamak ditemui masyarakat Indonesia. Pertama, diskriminasi bahasa atas penggunaan bahasa nasional tanpa aksen, dan bahasa nasional dengan aksen daerah. Contohnya, pada 2018 pemimpin gerakan sayap kiri France Insoumise tertangkap kamera berbicara kasar kepada jurnalis perempuan yang berbicara dengan Bahasa Prancis beraksen selatan. Tindakannya ini memicu anggota parlemen Prancis lain mengajukan undang-undang untuk menghukum mereka yang mendiskriminasi aksen daerah.

Di Indonesia sendiri, diskriminasi bentuk ini cukup marak. Seseorang yang berbicara dengan bahasa Indonesia dengan logat (aksen dan dialek) bahasa daerah sering kali diejek dan ditertawakan. Ini terjadi pada Rode Sidauruk dalam tulisannya di Mojok.co. Sebagai Batak tulen yang lahir di Medan dan memutuskan untuk merantau, ia sering ditertawakan karena logatnya. Masalah mengucapkan McD (mekdi) dengan ‘K’ yang menyangkut saja dipermasalahkan. Padahal menurutnya yang terpenting orang mengerti apa yang ia ucapkan.

Kedua, diskriminasi berupa meniru atau mengejek aksen bahasa asing. Dalam survey YouGov pada 2020 ditemukan, sebanyak 50 persen dari 1.134 orang Australia setuju, meniru atau mengejek aksen bahasa asing termasuk rasis. Diana Nguyen, aktris berdarah Vietnam yang meniti karier di Amerika Serikat bilang, meniru aksen harus diikuti dengan kepemilikan (ownership) atau ikatan budaya dan niat sang pembicara. Karena jika tidak, meniru aksen hanya akan jadi tindakan diskriminatif. Nguyen sendiri mengaku tak pernah menggunakan aksen ibunya di panggung demi mendapatkan tepuk tangan dan tawa dari penonton.

“Ini masalah representasi,” tegasnya dalam wawancara bersama The Sydney Morning Herald.

Baca Juga:   Melawan Rasa Takut dari Kebodohan Stigma dan Diskriminasi pada ODHA

 Diskriminasi Bahasa yang Berbahaya

Walau jarang dibicarakan di masyarakat Indonesia, ternyata diskriminasi bahasa punya dampak berbahaya. Apalagi itu selalu berkelindan dengan dinamika kuasa, pada mayoritas vs minoritas. Dikutip dari Horizon, majalah yang diterbitkan Lembaga Riset dan Inovasi Komisi Eropa, beberapa studi menunjukkan, seseorang yang berbicara dengan aksen bahasa di luar bahasa mayoritas, lebih sulit mendapatkan pekerjaan.

Sebagai contoh, dalam Journal of Personal Selling & Sales Management (2013) ditemukan adanya kecenderungan menilai salesperson sebagai orang yang tak meyakinkan dan kurang berpengetahuan, jika mereka punya aksen. Pun, dalam penelitian American Psychological Association pada 2012 ditemukan, perusahaan cenderung tidak merekomendasikan seseorang untuk rekrutmen atau promosi kerja jika mereka memiliki aksen.

Dalam majalah yang sama, diskriminasi bahasa juga menimbulkan pelabelan negatif atau stereotyping. Orang yang memiliki aksen, dianggap kurang berpendidikan dan tak dapat dipercaya. Penelitian Alice Foucart dari Universitas Ghent, yang mempelajari aktivitas otak peserta penutur asli Flem, dari Italia, Amerika, Jerman, dan Ceko yang berbicara bahasa Flem–Belanda dan Belgia–membuktikannya.

Dalam penelitian itu, Foucart meminta setiap peserta untuk menilai seberapa cerdas, percaya diri, dan sukses yang mereka rasakan sebagai pembicara dan bagaimana perasaan mereka tentang pembicara.

“Ada perbedaan signifikan antara keduanya. Penutur asli yang jumlahnya mayoritas dianggap lebih sukses dan cerdas daripada penutur asing,” jelasnya.

Baca juga:  Perempuan Menulis untuk Dunia yang Tak pernah Setara

Hal ini pun secara personal pernah dialami oleh Sarah Saeed, generasi kedua Pakistan-Amerika yang orang tuanya berbicara dengan aksen. Dikutip dari The Harbinger, sebagai imigran yang memiliki aksen kental, ibu Saeed kerap kali mendapatkan perilaku diskriminatif. Entah saat dia sedang berbelanja di toko swalayan atau di sekolah Saeed sendiri. Ibunya diolok-olok layaknya orang dungu.

Melihat perlakuan yang didapatkan ibunya inilah, Saeed menyimpulkan aksen seperti Latin, Asia, atau Afrika selalu diasosiasikan lebih ‘kotor’ atau rendah. Karenanya mereka diperlakukan semena-mena di masyarakat dan kehadirannya diasosiasikan dengan sesuatu yang tidak diinginkan.

Lepas dari itu, dampak berbahaya dari diskriminasi bahasa, membuat kita mestinya sadar, ini tidak seharusnya dinormalisasi atau dipelihara. Bagaimana cara tak menormalisasinya?

Sender Dovchin, ahli sosiolinguistik di Universitas Curtin dalam wawancaranya bersama BBC Worklife bilang, rasa menghargai bisa diikuti dengan upaya memperlambat, dan menghindari lelucon yang berkaitan dengan aksen, atau memberikan lebih banyak ruang bagi penutur asing dalam berdiskusi.

Kita juga dapat memerhatikan bahasa tubuh dan meningkatkan keterampilan mendengar konten dengan aksen beragam. Misalnya, dengan mencari konten budaya populer yang menampilkan beragam kelompok orang dengan ragam cara berkomunikasi.

Jika ini berhasil dilakukan, kata dia, setiap orang dapat menjadi lebih sadar akan bias bahasa dan jadi lebih menghargai sesama. Hal yang menurut Diana Nguyen adalah hak asasi manusia universal bagi semua orang.



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *