Melawan Rasa Takut dari Kebodohan Stigma dan Diskriminasi pada ODHA
Yang tak banyak orang paham, stigma dan diskriminasi pada ODHA hari ini lebih membahayakan daripada virus HIV sendiri.
Apa itu rasa takut? Mengapa kita harus khawatir pada hal-hal yang belum tentu terjadi? Meskipun rasa takut didesain untuk melindungi diri dari situasi darurat, serta memperkuat insting bertahan hidup, ia bisa jadi momok mengerikan. Bagaimana jika perasaan itu semakin intens dan cenderung irasional?
Maka, di titik tertentu, ia perlu diwaspadai.
Pandemi COVID-19 kemari jadi ketakutan baru bagi kebanyakan kita. Orang-orang di usia produktif hari ini dijamin belum pernah merasakan wabah sebesar ini seumur hidup mereka. Ekonomi anjlok, banyak pemerintahan gagal dan gagap pula menghadapi si wabah. Orang-orang makin takut.
Konon, berdasarkan studi-studi saat itu, angka orang dewasa yang makin stres meningkat saat pembatasan sosial atau lockdown awal diberlakukan. Jika semua orang dilanda stres, maka bayangkan apa yang dirasakan orang-orang dengan HIV atau AIDS (ODHA)—sebagai kelompok yang lebih rentan, dan sering didiskriminasi.
Baca juga: Bagaimana Perempuan Indonesia dengan HIV/AIDS Berjuang dengan Stigma
Dari pandemi COVID-19, yang tingkat kematiannya sampai 6,46 juta kasus, kita jadi paham kecemasan yang kita khawatirkan itu nyata. Virus yang awalnya tak kita kenal, hadir, lalu menyapu nyawa-nyawa orang yang kita tidak kenal, kita kenal, sampai mungkin saudara terdekat. Semuanya terjadi amat cepat, lebih cepat dari pengetahuan-pengetahuan yang sedang disusun untuk melawan si virus.
Di tengah masa pencaritahuan itu, informasi lalu bersusul-susulan, muncul dari mana saja: berita, media sosial, sampai sudut terdekat internet. Informasi yang meluber tak melulu sebuah karunia. Ia bisa jjuga jadi bencana, ketika ketakutan tentang virus asing ini dikelola segelintir orang berkuasa demi kepentingan mereka sendiri. Saat itu, kita mulai mendengar banyak orang yang tak percaya virus ini nyata. Teori-teori konspirasi mulai muncul, hingga orang-orang anti-vaksin tak takut lagi menunjukkan batang hidungnya.
Buat ODHA seperti saya, cerita tentang wabah dan ketakutan massal yang gentayangan di sekitarnya bukanlah hal baru. Kepalang akrab, malah.
Di salah satu film yang dibintangi Will Smith, ada dialog tentang rasa takut yang nyangkut di kepala saya. Katanya begini, “Rasa takut tidaklah nyata. Rasa takut hanya ada dalam pikiran kita tentang masa depan,dan itu adalah produk dari imajinasi kita yang menyebabkan kita takut pada hal-hal yang belum terjadi dan mungkin tidak akan pernah terjadi. Jangan salah paham dulu, bahaya itu sangatlah nyata, tetapi rasa takut adalah pilihan.”
Masalahnya terkadang kita juga ‘takut’ mengambil pilihan. Maka lengkaplah penderitaan kita kawan.
Baca juga: Kasus HIV Naik dalam Satu Dekade, Bagaimana Mengatasinya?
Ketakutan pada HIV yang Harusnya Sudah Usang, tapi Masih Nyalang
Suatu pagi, di salah satu ruangan rumah sakit tersohor di kota tempat tinggal saya, ada sepasang suami-istri yang baru saja menerima hasil tes HIV dari dokter. Ketakutan mereka amat akrab buat saya. Terlalu sering terpantau.
Tidak akan pernah mudah memang. Untuk sebagian orang, status positif HIV memang kenyataan getir yang dihadapinya. Siapa juga yang mau dinyatakan positif HIV? Membayangkan poster tengkoraknya saja sudah seram. Belum lagi mendengar cerita stigma dan diskriminasinya?
Padahal, informasi tentang HIV dan kesehatan reproduksi sudah ada di mana-mana. Wabah virus ini pertama kali tersebut pada awal 1980-an. AIDS pertama kali dilaporkan pada 5 Juni 1981, dengan total 5 kasus di Amerika Serikat. Ketakutan yang menyebar sejalan dengan penyebaran virusnya mirip-mirip COVID-19 kemarin di Maret 2020: Simpang siur dan penuh stigma.
Sekarang, lebih dari empat dekade setelah wabah ini jadi pandemi di seluruh dunia, ketakutannya belum berubah banyak. Informasi tentang kecanggihan pengobatan HIV adalah pengetahuan yang belum merata. Kebanyakan orang baru mencari tahu apa itu HIV dan bagaimana penanganannya setelah mereka atau orang terdekat terpapar.
Padahal, dengan akses informasi yang lebih mudah hari ini, seharusnya masyarakat kita sudah paham dan lebih peduli menjaga kesehatan diri. Jangan menunggu hal tersebut menjadi kenyataan hidupmu di kemudian hari, baru rasa peduli muncul di diri kita. Saat HIV sudah duduk manis di dalam tubuhmu, maka fokusnya ialah pengobatan dan perawatan. Bukan lagi ‘penyesalan’. Sebaiknya kita terus berupaya membangun kesadaran kritis sejak dini soal kesehatan.
Masalah lain yang jadi turunan akibat akses pengetahuan tak merata adalah stigma dan diskriminasi pada ODHA yang tak kunjung surut. Sebetulnya, tidak ada lagi alasan untuk tetap takut dan menjauhi ODHA. Penularannya cuma bisa terjadi lewat cairan tubuh (yang harus melewati aktivitas seksual tanpa pengaman, jarum suntik bekas yang tidak steril). Virus mereka bahkan bisa sampai tidak terdeteksi alias di titik 0 persen, jika menggunakan terapi ARV sesuai anjuran dokter. Ibu dengan HIV bahkan bisa melahirkan anak yang tidak positif.
Lalu, apa saja yang menghambat masyarakat kita beranjak dari kebodohan stigma dan diskriminasi pada ODHA?
Upaya-upaya selama ini bukannya kurang. Sudah cukup banyak strategi dari lembaga-lembaga yang memperjuangkan hak-hak para ODHA. Namun sepertinya, perjuangan kita masih panjang untuk mengakhiri HIV-AIDS Indonesia di 2030, sesuai target Pemerintah Indonesia.
Dikutip dari laman Jaringan Indonesia Positif (JIP), dalam data kaskade Kementerian Kesehatan, masih ada 436.948 orang dengan HIV. Sebanyak 149.614 atau 28 persen dalam terapi ARV. Dan jumlah orang dengan HIV yang mangkir dari pengobatan (lost to follow up/LTFU) sebanyak 69.973 orang atau mencapai 25 persen. Angka-angka tersebut jadi bukti sudah sejauh mana upaya-upaya yang telah kita lakukan selama ini.
Dari sekian banyak problematika ini. Sebenarnya apa yang menghambat upaya-upaya kita bersama? Kepentingan-kepentingan apa yang membuat penanganan penanggulangan HIV-AIDS ini seperti tidak ke mana-mana. Para pemangku kebijakan, stakeholder, serta lembaga terkait masih terus berupaya untuk pemenuhan hak kesehatan masyarakat rentan. Salah satunya yang baru saja Indonesian AIDS Coalition (IAC) lakukan dalam kegiatan Pertemuan Nasional Human Rights Summit 2022, dengan mengusung tema “Empowering Community Reclaiming Our Rights”, Memberdayakan Masyarakat Merebut Kembali Hak-hak Kita.
Hak-hak apa saja itu yang perlu diperjuangkan? Tentu saja hak atas kesehatan, salah satunya. Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis (poin 1 Undang-undang No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan).Tanpa kesehatan, kita akan kehilangan banyak kesempatan memenuhi hak diri sendiri. Bagaimana bisa mendapatkan kehidupan dan pekerjaan yang layak, kalau sering sakit?
Seiring berkembangnya peradaban masyarakat, akankah derajat kemanusiaan selanjutnya ditentukan oleh pendidikan dan kesehatan? Sangat memungkinkan. Melalui ilmu pengetahuan kita dapat memberi edukasi informasi yang sustainable, berkelanjutan. Untuk mengikis pelan-pelan ketakutan-ketakutan yang disebabkan oleh minimnya kemampuan lingkungan sosial.
Baca juga: Bagaimana Menjadi Positif HIV Membuka Mata Saya
Dukungan penuh dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah juga sangat dibutuhkan. Rencana kerja yang telah disusun seharusnya dipersiapkan secara terukur dan tepat. Masih saja kita mendapati betapa keteterannya perangkat daerah dalam hal ini dinas terkait dan layanan kesehatan yang belum benar-benar siap dan terampil mengemban tugas-tugas baru dari pemerintah pusat.
Contohnya ialah pemerintah saat ini telah menambah layanan PDP di berbagai pelosok daerah. Terkesan memaksakan program, jika melihat kemampuan dari petugas layanan kesehatan yang belum merata.
Kualitas hidup ODHA yang bagaimana yang kita harapkan? Kalau dibeberapa daerah masih kita temui adanya perlakuan-perlakuan diskriminatif maupun stigma. Sangat disayangkan bila program-program prestius dari pemerintah justru jadi berantakan saat implementasi di lapangan. Memperluas dan mempermudah akses kesehatan untuk masyarakat harus kita apresiasi. Mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) yang cakap dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian jauh lebih baik untuk kita pikirkan. Tingkat ketakutan irasional tentang transmisi HIV menjadi faktor terjadinya stigma dan diskriminasi tersebut.
Angka kasus orang yang terinfeksi HIV semakin mengkhawatirkan. Dan peringkat teratas penularan HIV di Indonesia menurut data Kemenkes yang diterbitkan CNN Indonesia hingga Juni 2022, dipegang DKI Jakarta dengan (90.956 kasus), menyusul Jawa Timur (78.238 kasus), Jawa Barat (57.246 kasus), Jawa Tengah (47.417 kasus), dan Papua (45.638 kasus).
Seharusnya sudah tidak relevan lagi kita bicara stigma dan diskriminasi jika melihat data dari Kemenkes tersebut. Siapa yang pantas untuk menerima stigma? Saya, kamu, atau mereka? Tidak satupun dari kita pantas menerima stigma maupun diskriminasi. Ilmu pengetahuan semakin berkembang. Jarak bukan lagi menjadi masalah karena teknologi semakin pintar. Tapi mengapa kualitas masyarakat Indonesia masih seada-adanya saja?
Kepedulian kita kian menipis. Kita bisa dengan lapang dada menerima begitu saja tindakan-tindakan diskriminatif verbal ataupun gestur dari orang lain. Semua ini bisa terjadi karena pola pikir yang tertanam di kepala kita bahwa HIV-AIDS adalah aib. Aib atas perilaku-perilaku berisiko yang kita jalani selama ini. Kalau memang benar begitu adanya, lantas stigma apa yang pantas diterima oleh bayi-bayi yang terlahir dari seorang ibu positif HIV? Diskriminasi yang bagaimana yang akan kita lakukan untuk seorang ibu rumah tangga positif, yang setiap harinya hanya disibukan dengan mengurus suami dan anak-anaknya?
Virus yang memiliki kekuatan membunuh dan menyengsarakan sepuluh kali lebih dari HIV tapi tidak pernah ditakuti adalah virus ‘kebodohan’.
Suzana Murni, pendiri jaringan ODHA Spiritia pernah bilang dalam sebuah tulisannya, “Saya tidak kehilangan martabat sebagai manusia hanya karena saya HIV positif. Saya bangga atas diri saya sendiri, atas usaha saya menghadapi hidup sebaik kemampuan saya. Saya sayang pada diri saya sendiri, dan tidak perlu ada rasa malu atau bersalah yang mengikat langkah saya. Dan bagi saya, jika saya meninggal karena HIV bukan berarti saya lebih hina daripada orang yang meninggal karena sakit jantung atau kanker atau yang lainnya”.
Betapa kuatnya pesan yang tersampaikan melalui tulisan tersebut. Cara menghancurkan stigma dan diskriminasi itu cukup dengan ilmu pengetahuan. Ajari diri kita dengan itu, sebab sesungguhnya musuh terbesar kita itu ialah diri sendiri dengan segala kebodohan-kebodohan yang masih melekat dalam diri dan terus kita jaga dengan rapi. Bicara memang mudah, melakukanya yang sulit. Oke, kalau begitu… bicaralah!
Link donasi: Cegah HIV Ibu Anak
Ini adalah artikel ketujuh dari series tulisan pelatihan jurnalis komunitas IAC di Bali, Oktober 2022. Baca artikel lainnya yang terbit setiap Rabu di Magdalene.co.
- Orang dengan HIV/ AIDS juga Bisa Berdaya
- Surat untuk Mendiang Puput: ‘Matahari di Sana Lebih Cerah, Nak!’
- Perempuan HIV di Tengah Bencana
- KTP untuk Transgender Sejak Kapan?
- Putus Nyambung ARV: Separuh Badan Lumpuh tapi Saya Harus Tetap Tumbuh
- Saya Positif HIV, Menikah, Punya Anak, dan Hidup Bahagia
- ‘Saya Dianggap Kuman, Dilarang Temui Anak’: Kisah ODHA yang Alami Stigma