Issues Politics & Society

4 Catatan Penting dari Wacana Pemblokiran Kominfo

Ada kontranarasi #blokirkominfo usai kementerian tersebut koar-koar soal wacana pemblokiran Instagram hingga Whatsapp. Apa lagi yang penting dari kejadian ini?

Avatar
  • July 22, 2022
  • 6 min read
  • 138 Views
4 Catatan Penting dari Wacana Pemblokiran Kominfo

Meski dibatalkan, kita berhak marah karena Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) bermaksud memblokir Google, Facebook, WhatsApp, Instagram, Twitter, dan Netflix per (21/7). Masalahnya, ini bukan semata-mata terkait perkara ego pemerintah soal pendaftaran Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat di Peraturan Menteri Kominfo Nomor 10 Tahun 2021, tapi juga warganet yang akan jadi korban.

Berangkat dari situlah, hampir 8.000 pengguna Twitter bersolidaritas membubuhkan tanda tangan penolakan wacana itu melalui Surat Protes Netizen Indonesia. Diunggah di laman resmi Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), aksi itu juga dibarengi dengan viralnya tagar #BlokirKominfo dan demo luring di depan gedung Kominfo. 

 

 

Surat ini sendiri menitikberatkan bahwa pendaftaran PSE mengancam hak kebebasan berekspresi. Tak cuma itu, tindakan Kominfo juga diindikasikan sebagai sensor konten terselubung dan bentuk kesewenang-wenangan.

“… penghapusan ‘mendesak’ seperti untuk konten yang melibatkan terorisme, gambar pelecehan seksual anak, atau ‘yang mengganggu masyarakat atau ketertiban umum’ merupakan bentuk kesewenang-wenangan. Selama ini, penafsiran ‘yang mengganggu masyarakat atau ketertiban umum’ kerap kali disalahgunakan negara dengan sasaran warga yang sebenarnya mengangkat problem nyata seputar diskriminasi, korupsi, pelanggaran hak asasi, atau situasi yang terjadi di Papua,” begitu yang tertulis dalam Surat Protes Netizen Indonesia.

Apa saja catatan penting lainnya seputar wacana pemblokiran tersebut? Magdalene telah merangkumkannya untukmu.

Baca juga: Keterasingan Perempuan dalam Transformasi Digital

1. Siasat Pemerintah Jadi Rezim Orba Jilid II

Wacana pemblokiran ini seperti yang sudah disinggung sebelumnya, berangkat dari Permenkominfo Nomor 10 Tahun 2021 tentang perubahan atas Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Sistem Elektronik Lingkup Privat. Penerapan regulasi pada Permenkominfo ini dapat menyebabkan diblokirnya platform digital jika tidak melakukan pendaftaran ke Kominfo. Ujung-ujungnya itu bakal berdampak pada publik yang menggunakan layanan dan mendapatkan manfaat dari kehadiran platform digital di Indonesia.

Juru Bicara Kominfo Dedy Permadi kepada Okezone bilang, tujuan PSE harus mendaftar ada tiga. Pertama tertib administrasi, perlindungan pengguna, dan penguatan sinergi. Terlebih, dalam hemat Kominfo, PSE melibatkan jutaan orang, sehingga perlu tata kelola penyelenggaraan sistem elektronik yang lebih kuat.

Namun, dalih tersebut perlu diperhatikan dengan kritis, apalagi melihat rekam jejak pemerintah terkait ini. Menurut Yovantra Arief, Direktur Remotivi, pendaftaran PSE memang sudah lumrah dan tren yang umum di banyak negara. Hal yang wajar sebuah negara berdaulat menerapkan aturan kepada perusahaan asing. 

“Hanya saja urgensinya belum ada (di Indonesia), jadi cuma gagah-gagahan saja biar viral, biar terkesan tegas,” tutur Yovantra kepada Magdalene, (21/7).

Terkait pemblokiran ini, ia menjelaskan dua pola ancaman pemblokiran Kominfo yang selama ini kerap terjadi. Pertama, pemerintah baru bergerak jika ada yang viral, viral based policy. Kedua, gaya politik pemerintahan Indonesia yang maskulin. Dia merasa logika pikir ini ada untuk menunjukkan ketegasan. Bagi pemerintah ketegasannya mewujud dalam bentuk ancaman, sanksi, dan pemblokiran.

Senada dengan Yovantra, Nenden Sekar Arum, Head of FOE Division di SAFEnet juga tak melihat ada urgensi dari kebijakan ini. Sebaliknya, kata Nenden, jika memang pemerintah ingin melindungi data privasi masyarakat, lebih baik diberikan payung hukumnya dahulu. Sudah beberapa tahun pihak koalisi masyarakat mendorong disahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP). 

“Sayangnya sampai saat ini rancangannya juga belum juga disahkan, padahal sudah beberapa tahun teman-teman koalisi masyarakat mendorong hal tersebut. Jadi kalau memang pemerintah betul-betul serius ingin melindungi data pribadi masyarakat seharusnya undang-undang tersebut yang harus didorong untuk disahkan,” ungkap Nenden kepada Magdalene, (21/7).

Alih-alih menggolkan UU itu, peraturan terbaru Kominfo justru menjadi represi jilid dua seperti yang dulu pernah terjadi di era Orde Baru. “Kalau mau dibandingkan dengan Orba memang mirip, di mana dulu juga kita hampir tidak mempunyai keleluasaan mengekspresikan diri karena saking ketatnya diawasi pemerintah, kemudian dilakukan sensor, dan lain-lain,” tambahnya.

Baca juga: Omnibus Law, RUU Halu, UU ITE: Demokrasi Sedang di Bawah Ancaman

2. Koleksi Pasal Karet

Pendiri Ethical Hacker Indonesia Teguh Aprianto dalam Twitter pribadinya berkicau, ada pasal karet yang mengancam kebebasan berekspresi dan berpendapat masyarakat dalam Permenkominfo Nomor 10 Tahun 2021.

Pertama, Pasal 9 ayat 3 dan 4. Menurut Teguh, pasal tersebut terlalu berbahaya karena frasa “meresahkan masyarakat” dan “mengganggu ketertiban umum” tidak jelas dan bisa menjerat siapa pun. Ia mengkhawatirkan pasal tersebut bisa digunakan untuk “mematikan” kritik walaupun disampaikan secara damai.

Kedua, Pasal 14 ayat 3, khususnya dalam kalimat “Permohonan sebagaimana dimaksud bersifat mendesak dalam hal: (a) terorisme; (b) pornografi anak; atau (c) konten yang meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum”. Lagi-lagi frasa ketertiban umum digunakan sebagai dalih pemerintah untuk melakukan pembatasan.

Jadi nanti ketika ada yang mengeluhkan kontennya dihapus, pemerintah tinggal berdalih, “Soalnya meresahkan masyarakat.”

Ketiga, Pasal 36 yang memberi otoritas pada penegak hukum untuk meminta konten komunikasi dan data pribadi pengguna kepada platform atau PSE. “Apa jaminannya bahwa ini nantinya tidak akan disalahgunakan untuk membatasi atau menghabisi pergerakan mereka yang kontra pemerintah? Enggak ada kan?” ungkap Teguh.

Teguh berpendapat, Kominfo sengaja membuat pasal karet agar mereka bisa melakukan apapun yang mereka mau. Salah satu bukti nyata yang terjadi adalah UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Produk hukum seperti ini memang diniatkan untuk mengkriminalisasi pihak-pihak tertentu.

Baca juga: Holywings dan Kemarahan Kita: Benarkah Tuhan Tak Perlu Dibela?

3. Nasib Pebisnis Daring Dipertaruhkan

Wacana pemblokiran yang dilakukan Kominfo juga berdampak pada pebisnis yang sarana jualan utamanya adalah media sosial seperti Instagram dan WhatsApp. Ini sejalan dengan survei Hootsuite —platform manajemen media sosial–yang menjelaskan Instagram adalah aplikasi terlaris untuk pemasaran digital. Dalam survei bertajuk Hootsuite (We are Social): Indonesian Digital Report 2021 dijelaskan, 61 persen pelaku usaha Indonesia melakukan bisnis dan promosinya melalui Instagram. 

Magdalene menemui pemilik usaha kecil yang berjualan menggunakan Instagram dan WhatsApp. Salah satunya Ayu Melati, penjual kerajinan tangan dari perak. Lalu ada Stefanny Harsono yang berdagang fake nail dan mempromosikan jasanya lewat Instagram. WhatsApp sendiri mereka gunakan untuk berkomunikasi dengan pelanggan yang memesan produk.

Keduanya merasa wacana pemblokiran ini bakal mengganggu bisnis mereka. Terlebih Instagram menjadi platform paling efisien untuk promosi. Sementara, kata Stefanny, aplikasi seperti WhatsApp juga mempermudah dirinya berkomunikasi dengan pembeli.

“Kalau kedua platform (Instagram dan Whatsapp) itu diblokir, otomatis saya tidak bisa berjualan dan berkomunikasi lagi,” ungkap Stefanny, (22/7).

Ayu dan Stefanny sepakat pemerintah harus melihat dampak dan risiko buat orang-orang kecil yang hidupnya bergantung dari jualan daring.

“Ya kalau sebagai penjual saya berharap pemblokiran tersebut tidak terjadi karena bakal berdampak bagi para toko-toko kecil yang mungkin hanya bisa beriklan atau promosi dengan media tersebut,” ucap Stefanny.

4. Platform Alternatif Mustahil Bisa Menggantikan

Kominfo pernah sesumbar bisa menggunakan platform lain jika sederet platform di atas betul-betul diblokir. Bahkan, kata Menteri Kominfo Johnny G. Plate dalam konferensi pers resmi mereka berujar, “Saya tidak takut karena banyak juga anak bangsa bisa membangun (aplikasi sendiri).”

Yovantra sangsi itu bisa diterapkan. Ia memberi analogi jika Google tidak mendaftar dan diblokir maka ada konsekuensi yang cukup besar. “Kita semua pakai Google. Itu cukup vital bagi ekonomi dan kehidupan digital Indonesia. Kalau diblokir beserta seluruh layanannya, kita bisa apa?”

Belum ada perusahaan teknologi, imbuhnya, yang bisa memberi opsi baru nan sepadan untuk menggantikan Google, baik dalam negeri maupun dari luar negeri. 


Avatar
About Author

Theresia Amadea