Film Natal Romantis, Klise tapi Selalu Diminati
Meskipun pacaran dengan bangsawan dan jatuh cinta dengan pelaku ‘catfishing’ relatif tak masuk akal, penonton justru menyukainya. Kenapa?
Memasuki Desember, suasana Natal bukan hanya dihadirkan lewat playlist di pusat perbelanjaan, atau dekorasi yang dijual di toko kebutuhan rumah tangga. Berbagai layanan streaming maupun saluran televisi tidak pernah absen menawarkan film atau serial televisi terbaru bernuansa Natal.
Sekalipun alurnya cheesy dan mudah diprediksi, film-film tersebut tetap laku di pasaran dan masih menarik peminat. Salah satunya Hallmark Channel, saluran televisi kabel berbayar berpusat di California, Amerika Serikat (AS), yang merajai produksi dan pendistribusian film Natal. Tahun ini mereka memproduksi 41 judul, bertambah empat film sejak 2018 yang disaksikan lebih dari 80 juta orang.
Melansir Vox, penghasilan terbesar mereka berasal dari film-film tersebut. Produksinya pun tidak memerlukan usaha sebesar jenis film lain, sehingga membuatnya semakin menguntungkan. Dengan biaya produksi kurang dari US$2 juta, mereka tidak membutuhkan special effects sequence ataupun pemain pengganti karakternya.
Prosesnya juga tergolong cepat, memakan dua sampai tiga minggu produksi. Menurut salah satu penulisnya, salju merupakan hal esensial dalam memproduksi film Natal, walaupun dilakukan sepanjang tahun termasuk ketika musim panas.
Sementara, menurut CEO Hallmark Channel, Bill Abbott, Natal jadi waktu yang tepat untuk mempromosikan program televisi kami yang akan dirilis tahun berikutnya. “Kami juga memanfaatkan kesempatan ini untuk menyusun strategi bersama para waralaba,” ucapnya kepada Vox.
Hallmark Channel sendiri selalu memiliki cerita tentang perempuan lajang yang menemukan cintanya saat Natal atau reuni keluarga yang mengharu-biru. Perlu diketahui, mereka cenderung konservatif dalam menulis alur cerita. Kebanyakan karakternya orang kulit putih dan menampilkan perempuan yang rela melepas karier demi tambatan hatinya.
Beberapa contoh film terbaiknya adalah A Royal Christmas (2014), Five Star Christmas (2020), dan I’ll Be Home for Christmas (2016).
Menyusul Hallmark, sederet platform lain turut memproduksi dan menayangkan film Natal, seperti Lifetime dan Netflix. Dengan metode yang sama, mereka menawarkan cerita tentang relasi romantis dengan bangsawan, identitas yang keliru, tunangan yang arogan, hingga jatuh cinta dengan pacar settingan.
Dengan alur cerita yang klise layaknya sinema Indosiar, lantas apa yang menjadi ketertarikan penonton tetap menyaksikan film Natal setiap tahunnya? Berikut kami rangkumkan beberapa alasannya.
-
Nostalgia Masa Kecil
Sebagian besar film natal romantis menawarkan alur cerita berkaitan dengan keluarga dan teman-teman terdekat. Sebut saja Holidate (2020), The Nutcracker and the Four Realms (2018), The Princess Switch (2018), dan serial film Home Alone (1990).
Karena itu, film Natal memberikan kenyamanan dan menawarkan kehangatan keluarga, membuat penontonnya nostalgia dengan masa kecil saat anggota keluarga masih lengkap, dan kehidupan tidak serumit orang dewasa. Bukan hanya menimbulkan emosi yang mengingatkan tentang suatu momen, seseorang, maupun tempat, nostalgia juga memicu reaksi tertentu di dalam otak.
Menurut Dr Darryl Watson, konsultan psikiater senior dan akademisi di University of Adelaide, Australia, film-film tersebut membuat otak terasa ringan.
“Soundtrack di film Natal membuat kita terjebak di masa lalu, dan selalu menjadi bagian dari otak kita melalui memori meskipun tidak diputar sepanjang tahun,” ujarnya kepada Refinery29. Watson menuturkan, mendengarkan lagu-lagu itu saat menjelang Natal mengarah ke stimulasi pendengaran pada otak, layaknya menyaksikan adegan liburan di dalam film yang mengingatkan pada Natal.
Film Natal romantis juga turut menarik intuisi moral penontonnya, sehingga ingin menyaksikan kepedulian dan kepekaan terhadap penderitaan yang dialami karakternya. Misalnya, karakter Iris (Kate Winslet) dalam The Holiday (2006), meyakinkan seorang penulis skenario kondang berusia lanjut, untuk tampil sebagai pembicara di sebuah gala. Ia juga membantunya belajar berjalan tanpa bantuan tongkat.
-
Penonton Suka Happy Ending
Hampir setiap film Natal romantis cenderung menampilkan keajaiban saat bertemu orang asing, perjalanan penemuan diri, atau mengalami bencana yang ketiganya berujung pada ending bahagia. Meskipun fiktif, umumnya penonton menyukai alur cerita yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Toh apabila akhir cerita tidak menampilkan happy ending layaknya Last Christmas (2019), setidaknya sepanjang film suasana yang ditawarkan heart-warming, membuat penonton merasa lebih baik.
Secara psikologis, menyaksikan film natal membuat penonton merasakan dua kebahagiaan sekaligus, yaitu hedonic dan eudaimonic. Mengutip Psychology Today, kebahagiaan hedonic dirasakan dari sensasi kesenangan dan kenikmatan. Sifatnya sementara, seperti saat memakan coklat. Sementara, kebahagiaan eudaimonic yang sifatnya bertahan lebih lama, datang dari pengalaman bermakna dan memiliki tujuan tertentu.
Penonton dapat merasakan emosi positif melalui film Natal karena humor, percintaan, aktor yang menarik, ending yang memuaskan, dan latar tempat yang memanjakan mata dikemas menjadi satu.
Selain itu, berkaca dari alur, konflik, dan penyelesaian ringan yang ditawarkan dalam film-film tersebut, penulis dan life coach Anita Kanti, akhir sebuah film memiliki dampak besar karena mengingatkan penonton akan pentingnya menyelesaikan permasalahan dengan solusi sederhana, tapi tetap bermanfaat.
“Tidak banyak orang yang percaya atau memiliki pola pikir happy ending. Nah, film itu mengingatkan, setiap orang punya pilihan menentukan jalan hidupnya, agar berakhir bahagia sesuai definisinya masing-masing,” terangnya dilansir HuffPost.
-
Melarikan Diri dari Realitas
Kenyataannya, realitas kehidupan yang enggak selalu manis membuat penonton membutuhkan pelepas penat. Karenanya, film yang memiliki karakter dan cerita berbeda, dianggap menawarkan pelarian sekaligus memberikan afirmasi tentang kehidupan yang akan baik-baik saja. Apalagi suasana Natal yang kental dengan damai, sukacita, kebersamaan, dan saling berbagi.
Psikolog asal Perth, Australia, Dr Marny Lishman memaparkan pada Refinery29, semakin jauh keadaan yang ditampilkan dari realitas justru semakin baik, karena membantu penonton merasa lebih baik dengan keadaannya. Seperti cuaca musim dingin dan turunnya salju yang jauh dari kehidupan orang Indonesia, sehingga sangat imajinatif.
Lishman menyebutkan, kebanyakan film mengikuti template umum cerita Hero’s Journey, yang digagaskan profesor asal AS, Joseph Campbell. Template tersebut merupakan pola umum cerita yang melibatkan seorang pahlawan dalam petualangan, berhasil memenangkan sebuah krisis, lalu pulang ke rumah dan bertransformasi, serta hidup bahagia.
“Tanpa disadari, film Natal yang berkesan memberikan kita harapan dan petunjuk dalam melalui tantangan kehidupan,” katanya.
Lewat kepuasan dan kesenangan emosional, hormon endorfin juga meningkat dan kebutuhan afektif akan terpenuhi. Keduanya dihasilkan lewat perasaan saat menyaksikan alur cerita romantis, atau pengalaman yang dialami oleh karakter sehingga mengurangi beban yang dihadapi dalam realitas.
-
Film Natal Romantis dengan Alur yang Monoton Menawarkan Kepastian
Film natal romantis yang diproduksi umumnya menawarkan alur, dekorasi, serta lokasi yang menggambarkan suasana liburan. Meskipun mainstream dan membosankan, elemen-elemen tersebut menawarkan kepastian yang justru disukai otak manusia.
Penulis sekaligus terapis pernikahan dan keluarga berlisensi, Kati Morton, memaparkan alasannya pada HuffPost, “Otak manusia menyukai pola dan sesuatu yang dapat diprediksi, terlebih ketika sedang stres.”
Alhasil, penonton lebih rileks lantaran alur ceritanya yang mudah ditebak. Pun film-film itu menunjukkan kehidupan sederhana tanpa permasalahan kompleks, dan memicu penonton memikirkan hal-hal positif. Sedangkan manfaat lainnya adalah meningkatkan kondisi mental seseorang di masa-masa sulit, terutama selama pandemi ketika berlibur seharusnya masih dibatasi, serta menyalurkan optimisme.
Karena itu, film-film Natal baik dimanfaatkan untuk menenangkan sistem saraf, dan merilis hormon dopamin tambahan dari alurnya yang membuat penonton merasa lebih baik.