Girl in Red: Rayakan Musik ‘Queer’ Bebas Heteronormativitas
Musisi Norwegia, Girl in Red menjadi salah satu ikon queer prominen Gen Z yang tidak malu-malu menunjukkan indahnya jatuh cinta dengan perempuan dalam musiknya.
“Do you listen to Girl in Red?”
Pertanyaan di media sosial semacam itu menjadi semacam kode untuk memastikan apakah seorang perempuan bagian dari komunitas LGBT atau tidak. Pasalnya, lagu-lagu ciptaan musisi asal Norwegia, Girl in Red selalu menyoal tentang pasangan lesbian dan indahnya jatuh cinta pada perempuan. Bisa dibilang pertanyaan itu adalah versi modern dari “are you a friend of Dorothy?” yang digunakan sebagai kode untuk laki-laki gay.
Memilih genre bedroom pop atau dream pop, Girl in Red menciptakan semacam ruang aman bagi orang muda queer. Dalam lirik lagunya, dia tidak malu-malu menceritakan kisah cinta dari sudut pandang seorang lesbian. “I Wanna Be Your Girlfriend” misalnya, bercerita tentang seseorang yang menyukai temannya, Hannah. Namun, perasaannya itu sulit dia ungkapkan karena ada ketakutan atas penolakan akibat orientasi seksualnya.
Baca juga: The Linda Lindas: Band Anak Perempuan Punk Lawan Rasialisme, Seksisme
Hal itu dituliskan dalam lirik verse pertama: “Oh, Hannah, I wanna feel you close/ Oh, Hannah, come lie with my bones/ Oh, Hannah, don’t look away/ Oh, Hannah, just look at me the same.”
Seiring berjalannya lagu, keinginan untuk keluar dari friendzone semakin meningkat mengikuti tempo lagu yang klimaks di chorus atau bagian utama lagu. Dengan iringan gitar sederhana dan ketukan drum, emosi mentah dan rasa putus asa yang digambarkan Girl in Red semakin terasa. Liriknya berbunyi, “I don’t wanna be your friend, I wanna kiss your lips/ I wanna kiss you until I lose my breath”.
Namun, perempuan muda berusia 22 tahun itu tidak terjebak dengan cerita angst untuk komunitas LGBT. Dalam bridge atau jembatan lagu tersebut ada progres dalam hubungan dua orang yang diceritakan ketika Hannah membalas perasaan si tokoh aku. Dalam lagunya, Girl in Red menunjukkan selalu ada ‘pelangi’ di akhir perjalanan. Walaupun “I Wanna Be Your Girlfriend” menjadi karya yang memopulerkannya di SoundCloud tahun 2017, karya yang paling prominen dan meneguhkan namanya di komunitas LGBT ialah “Girls” (2018).
Tanpa bertele-tele, “Girls” menjadi narasi pribadi untuk semua lesbian yang kali pertama belajar dan mengenal orientasi seksualnya. Keseluruhan lagu memaparkan rasa takut mengungkapkan rasa suka pada perempuan akibat nilai heteronormatif di masyarakat yang mengharuskan perempuan bersama laki-laki. Walau demikian, tersirat juga rasa tidak peduli karena ia yakin identitasnya bukan sebuah fase, alasan yang sering digunakan untuk mencemooh ketika seseorang melela.
Girl in Red dengan lantang mengutarakan, “I know what I like/ No, this is not a phase/ Or coming of age/ This will never change”. Lirik tentang mencintai perempuan itu semakin diamplifikasi dengan video musiknya yang menunjukkan perempuan mengibarkan bendera pelangi LGBT.
Selain itu, dengan riff gitar yang sederhana dalam lagu “Girls”, Girl in Red memberikan kesan feel good ketika menyanyikan, “They’re so pretty, it hurts/ I’m not talking ‘bout boys, I’m talking ‘out girls/ They’re so pretty with their button-up shirts.”
Dalam wawancaranya bersama Fader, penyanyi dengan nama asli Marie Ulven itu mengatakan, sulit membayangkan dirinya menulis lagu yang menceritakan tentang pasangan heteroseksual.
“Bagi saya, menjadi sangat natural untuk menulis lagu tentang perempuan, jadi saya tidak pernah merasa takut untuk membuat lagu itu karena saya memang terbuka [tentang orientasi seksual],” ujarnya.
Musik untuk ‘Sapphic’
Sementara di jalur mainstream ada Olivia Rodrigo dengan musik coming of age, di jalur indie, ada Girl in Red yang menyoroti musik serupa. Namun, dia tidak ingin menjadi music snob atau sombong dan mengaku kalau lagunya adalah pop.
Saat ini, Girl in Red memiliki dua EP; Chapter 1 (2018) dan Chapter 2 (2019), serta satu album If I Could Make It Go Quiet (2021). Dari segi musikalitas, dia juga berkembang dalam kualitas rekaman lagu meskipun masih sering menggunakan formula melodi yang sama dan berulang.
Baca juga: Red Velvet, Mamamoo, dan ITZY: Idola K-Pop dan Bahasa Feminis Mereka
Selain itu, sejak debut, dia juga membuat lagu tentang isu kesehatan mental, misalnya “Summer Depression”. Namun, isu tersebut memiliki porsi lebih banyak di album terbarunya. Terkadang, lagunya juga dikaitkan dengan tema perpisahaan. “Apartment 402”, misalnya, menjadi salah satu lagu paling menonjol karena dari segi musik dan lirik, lagu ini jauh lebih dewasa dari karya yang lain.
“‘Apartment 402’ agak sulit untuk ditulis,” ujarnya.
“Saya juga menyukai lagu itu dan butuh waktu lama untuk membuatnya. Tapi, saya senang dengan hasilnya. Saya juga mendengarkannya berulang-ulang dan lagu favorit saya.”
Dengan diskografinya itu, Girl in Red menambah kekayaan musik untuk sapphic, istilah yang menaungi segala hal berkaitan dengan lesbianisme. Namun, dia tidak sendiri. Generasi milenial muda mengenal juga Hayley Kiyoko atau si lesbian messiah. Lagunya, “Girls Like Girls”, adalah versi do you listen to girl in red sebelum Marie debut. Lesbian starter-pack pun meliputi kemeja kotak-kotak, sepatu sneakers dan lagu Kiyoko sebagai pelengkap.
Belakangan, muncul King Princess dengan lagu debutnya, “1950” (2018) yang menjelajahi tema cinta bertepuk sebelah tangan. Jika ditarik lebih jauh lagi, ada Tegan and Sara yang mulai berkarier sejak tahun 1995. Ada juga tATu, duo dari Rusia yang mengejutkan publik dengan lagunya “All The Things She Said” tahun 2000-an, meskipun sekarang terungkap satu dari mereka ternyata homofobik. Sementara dalam skena sapphic lokal ada The Virgin dengan “Cinta Terlarang” yang liriknya sarat queer code.
Secara lebih besar, musisi yang merepresentasikan budaya queer sangat beragam. Ada musisi kulit putih macam Troye Sivan, Kim Petras, dan SOPHIE, ada juga dari kelompok people of color seperti Frank Ocean, Kehlani, Rina Sawayama, dan Young M.A yang tidak kalah populer. Untuk komunitas LGBT, budaya populer selalu menjadi kanal untuk mengekspresikan dan mengidentifikasi diri, serta berkenalan dengan musik yang lebih beragam.
Saat ‘My Girl’ Diganti ‘My Boy’
Walaupun penggemarnya menyebut Girl in Red sebagai panutan untuk musik lesbian, dia tidak ingin dikotakkan dengan identitas itu. Bagi penggemarnya, pernyataan tersebut menjadi semacam paradoks karena dia terbuka soal seksualitas, bahkan nama panggungnya terinspirasi dari cinta monyetnya yang mengenakan jaket merah.
Pernyataan itu mengundang amarah publik yang menyebutnya lesbofobik. Menanggapi itu, Girl in Red mengatakan, dia lebih memilih identitasnya sebagai queer atau gay. Selain itu, tidak bermaksud untuk menyinggung para lesbian.
Baca juga: Refund Sisters: Grup Idola K-Pop ‘Badass’ Lintas Generasi
“Saya merasa semua orang mengidentifikasi diri dengan sesuatu yang nyaman bagi mereka. Jika lesbian adalah kata favoritmu, maka itu menjadi kekuatan untukmu,” tulisnya.
Masalah identitas juga terjadi ketika lagunya mulai dimaknai berbeda oleh pendengar. Secara eksklusif, musik Girl in Red menjadi ruang nyaman untuk lesbian dan perempuan biseksual. Namun, ketika lagu “We Fell in Love in October” miliknya menjadi populer di TikTok setahun belakangan, muncul pergeseran terkait queer code di lagu tersebut. Mulanya ini dimaksudkan untuk sesama perempuan, lantas diubah menjadi untuk laki-laki oleh penggemar heteroseksual. Beberapa dari mereka bahkan mengganti lirik “my girl” menjadi “my boy” untuk membuat lagu itu ‘straight’.
Mengganti subjek dalam lagu memang hal yang sering terjadi, tetapi peristiwa seperti ini menimbulkan pertimbangan apakah budaya queer harus “dijaga” agar pemaknaannya tidak hilang?
Musik memang universal dan semua orang boleh menyukai dan menikmatinya. Akan tetapi, ketika menikmati musik dari budaya queer, representasi dan makna dari lagu sebaiknya tidak dihilangkan. Apalagi dewasa ini musisi queer tidak harus menyembunyikan identitasnya.
Lagu “I Wish You Liked Girls” dari Abbey Glover, misalnya, yang diganti “I Wish You Liked Boys” saat dinyanyikan laki-laki gay. Pemaknaan cinta bertepuk sebelah tangan karena orientasi seksual di lagu itu tidak berubah dan tetap dimaksudkan untuk komunitas LGBT.
Dengan demikian, tidak ada salahnya tetap menyebut “my girl my girl my girl” saat menyanyikan “We Fell in Love in October” karena itu tidak menghilangkan esensi jatuh cinta pada seseorang di bulan Oktober.