Dear Bunda, Saya Tak Akan Pergi Ke Mana-mana
Di Hari Ibu ini, saya mohon maaf pada Bunda dan ingin meyakinkannya bahwa saya tidak akan meninggalkannya.
Saya hanya mengenal satu orang tua sejak saya kecil, setidaknya orang tua yang benar-benar hadir secara fisik dan emosional di hidup saya. Ia adalah ibu saya, seorang ibu tunggal yang biasa saya panggil dengan sebutan Bunda. Hubungan kami terbilang dekat. Sangat dekat, malah. Sampai-sampai waktu remaja saya sempat merasa jengah karena tidak satu cerita pun yang tidak Bunda ketahui. Tapi di sisi lain, saya juga tidak mau mengakhiri kedekatan yang berharga ini.
Layaknya remaja-remaja di masa peralihan pada umumnya, saya sempat berada di fase di mana saya ingin bebas dan hidup sendiri tanpa kecerewetan Bunda yang selalu mengingatkan saya ini dan itu. Pikir saya, kenapa sih, bawel banget? Saya kan sudah tahu mana yang terbaik buat saya. Barulah seiring waktu berjalan, khususnya akhir-akhir ini, saya sadar bahwa perlakuan Bunda yang seolah tidak mau membiarkan saya sendiri mempunyai makna yang sangat mendalam dan berhasil menampar saya habis-habisan.
Kisah saya dan Bunda lebih seperti dua orang sahabat ketimbang ibu tunggal dan anak tunggal. Saya sadar betul bahwa ini adalah salah satu privilese terbesar dalam hidup saya. Dengan Bunda, saya bisa menceritakan apa saja, dan dia tidak pernah menyalahkan ataupun menghakimi saya atas apa yang saya perbuat, baik atau buruk.
Dia selalu memberikan gambaran nyata tentang kondisi yang saya alami saat ini, dan apa konsekuensi yang akan saya tuai di kemudian hari bila saya melakukan hal-hal tertentu. Bunda memberikan saya kebebasan yang membuat saya berpikir sendiri.
Nilai-nilai dasar kemanusiaan adalah hal yang tidak pernah absen Bunda tanamkan pada diri saya sejak saya kecil. Alih-alih mencekoki saya dengan berbagai paham normatif yang juga dogmatis, entah itu nilai agama ataupun nilai dalam kehidupan sosial, Bunda memberikan saya fondasi yang kuat tentang esensi menjadi manusia, yaitu hidup bertanggung jawab dan tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain.
Baca juga: Selamat Hari Ibu untuk Mamaku yang Tak Pernah Sadar Dirinya Feminis
“Kakak tahu enggak yang dosa itu apa? Yang dosa itu ya kalau kita menyakiti orang lain. Mabuk itu dosa, ya karena kalau mabuk, kita jadi enggak sadar melakukan apa. Siapa tahu kita nabrak orang di jalan. Ibadah (salat) itu bagus dilakukan, ya karena gerakan-gerakannya itu bisa bikin kita sembari olahraga,” katanya pada suatu hari.
Bunda juga adalah figur feminis pertama yang saya kenal. Bunda jugalah yang mengajarkan saya, juga mematahkan segala prasangka orang-orang, bahwa feminis bukanlah cewek-cewek galak yang hanya mau haknya ditinggikan, tapi merendahkan hak kelompok lainnya. Bunda tidak pernah mengajarkan saya untuk memandang buruk orang-orang tertentu yang tidak sepaham dengan saya.
Bunda juga selalu mengajarkan saya untuk menjadi seseorang yang mandiri dan bisa mencapai kehidupan yang baik dan memuaskan karena usaha diri saya sendiri. Kalaupun memiliki pasangan, carilah pasangan yang menghargai kita sebagai mitra yang setara dan sebagai rekan hidupnya. Bukan pasangan yang melihat kita sebagai alat pemuas ego atau kebutuhannya, ujar Bunda.
Dampak tumbuh dengan ibu tunggal
Tapi tentu saja hubungan kami bukan melulu tentang yang indah-indah. Tak jarang perdebatan itu muncul sampai berakhir pada saling mendiamkan selama beberapa waktu. Jarak antar generasi, dan lingkungan tempat kami berdua dibesarkan yang berbeda, membuat cara pandang kami tentang hal-hal tertentu sering kali berbeda. Apalagi, bahasa kasih (love language) kami tampaknya berbeda.
Baca juga: Meneladani Feminisme dari Ibu yang Tak Lulus SMA
Bunda sering menginginkan agar saya menunjukkan kasih sayang atau perhatian lewat tindakan atau kata-kata yang eksplisit. Sementara saya tidak merasa nyaman menunjukkan kasih sayang dengan cara itu, dan lebih memilih untuk menyayangi Bunda dengan berusaha menjadi anak yang mandiri dan tidak merepotkan. Ini membuat saya cenderung individualis dan jarang menceritakan apa yang sedang saya kerjakan pada Bunda. Tapi, di benak saya, pokoknya kalau Bunda mendengar sebuah kabar tentang saya, itu harus kabar baik yang membuat dia bangga.
Kami pernah berada di fase terendah hubungan kami. Perdebatan jadi hal yang terhindarkan di keseharian. Saya marah. Bunda marah. Tapi kami sama-sama tidak tahu apa salahnya, dan apa yang harus kami lakukan untuk memperbaikinya. Sampai suatu hari, akhirnya kami berhasil duduk berdua dan membicarakan itu. Di situlah saya tahu bahwa sikap Bunda yang defensif dan terkadang menuntut saya untuk jadi anak yang enggak cuek, disebabkan oleh ketakutan dan kesepiannya saat ini. Sementara saya sudah dewasa dan memiliki hidup saya sendiri, jarang lagi bercengkerama dengannya.
“Kapan lagi Bunda bisa dekat sama Kakak kalau bukan sekarang? Nanti Kakak bakal menikah dan punya anak. Kalau udah gitu, pasti prioritas Kakak bukan Bunda lagi. Kakak bakal ninggalin Bunda.”
Kata-kata itu terasa menampar saya dan membuat patah hati. Saya sempat tak habis pikir, mengapa seorang Bunda, feminis pertama yang saya kenal, masih memiliki pemikiran bahwa institusi pernikahan akan “mencuri” seorang anak perempuan dari keluarga yang membesarkannya, untuk bersama laki-laki dan membentuk keluarga baru bersamanya?
Padahal, itu pemikiran kuno yang sangat tidak relevan dengan kepercayaan kami berdua selama ini bahwa pernikahan adalah sebuah relasi setara yang tidak mengharuskan salah satunya berkorban, sementara satunya mengambil keuntungan mentah-mentah dari pengorbanan itu.
Baca juga: Kodrat Perempuan adalah Jadi Ibu Merupakan Miskonsepsi
Ibu tunggal dengan anak perempuan tunggal
Tidak ada hal yang mengalahkan rasa sedih saya karena tidak bisa memberikan perhatian pada Bunda, orang yang membesarkan dan merawat saya sejak saya kecil. Kenapa Bunda harus meminta perhatian, ketika seharusnya saya selalu memberikannya? Saya membenci diri saya sendiri yang ternyata tanpa saya sadari telah bersikap abai dan menyakiti hati Bunda.
Beberapa kali Bunda bertanya, apa kekurangannya sebagai ibu? Pola asuh seperti apa yang saya inginkan darinya? Dan, apakah Bunda sudah membuat kesalahan besar sampai-sampai saya tak lagi memedulikannya?
Padahal, meski sering bertengkar, tidak pernah sekalipun saya merasa bahwa Bunda adalah orang tua yang buruk. Kalaupun saya diberi kesempatan untuk terlahir kembali, saya tetap akan memilih untuk terlahir sebagai anak Bunda. Bunda sudah membesarkan saya dengan sangat baik. Mengusahakan segala hal yang dia mampu, kadang sampai membuat dirinya sendiri kelelahan, untuk membahagiakan saya. Tak peduli apa yang keluarga besar saya katakan tentang Bunda, entah karena dia adalah ibu tunggal, atau karena dia bukan figur ibu yang religius, buat saya, Bunda adalah ibu terbaik yang bisa saya dapatkan.
Selamat hari ibu, Bunda. Sulit sekali buat mendorong diri saya sendiri bicara hal yang manis-manis di depan wajahmu langsung. Tapi saya yakin Bunda akan selalu menghargai setiap usaha saya untuk menjadi manusia dan anak yang lebih baik, termasuk ucapan lewat tulisan ini.
Terima kasih karena sudah membesarkan saya dengan sangat baik. Maafkan kalau saya masih sering menyakiti hatimu, atau belum bisa menjadi apa yang Bunda harapkan. Semoga semesta selalu memberkahi setiap hari yang Bunda habiskan di dunia. Doa saya selalu menyertai Bunda. Dan, percayalah, saya tidak akan pergi ke mana-mana. Apa pun yang terjadi, Bunda tetap nomor satu di hidup saya.