Korean Wave

‘His Man’, Ajang Cari Jodoh LGBT Pertama Korea, dan Evolusi Genre Ini di TV

Dunia hiburan Korea Selatan yang terkenal misogini dan homofobik menyambut 'dating show' khusus orang queer pertamanya: ‘His Man’ dan ‘Merry Queer’.

Avatar
  • September 11, 2022
  • 7 min read
  • 3470 Views
‘His Man’, Ajang Cari Jodoh LGBT Pertama Korea, dan Evolusi Genre Ini di TV

Selain terkenal dengan produksi K-drama dan film-filmnya yang makin ramai diminati mancanegara, dunia hiburan Korea Selatan juga terkenal sangat misoginis dan homofobik. Sudah jadi rahasia umum, film-film ataupun drama yang mereka produksi selalu berpusat pada kisah cinta sepasang heteroseksual.

Belakangan, semenjak genre Boys’ Love makin tenar di Asia dan dunia, Korea Selatan juga mulai memproduksi drama-drama BL mereka sendiri.

 

 

Meski dapat protes sana-sini, terutama dari kelompok religius dan orang tua, genre itu masih terus diproduksi dan dipelihara fans-nya. Kabar mengejutkan sekaligus menggembirakan datang dari platform streaming Wavve, yang Juni kemarin mempromosikan acara cari jodoh atau dating show untuk orang-orang LGBTQ pertama di Korea Selatan.

Bukan cuma satu, mereka merilis dua acara bertajuk: Merry Queer dan His Man.

Baca juga: Mari Ngobrol Serius tentang BL Asia: Sebuah ‘Queer Gaze’

Meski lebih cocok disebut reality show ketimbang dating show, Merry Queer berisi tiga pasangan queer dan tantangan yang harus mereka hadapi dalam percintaan dan pernikahan. Sementara His Man (atau Other’s Love) adalah acara cari jodoh khusus laki-laki gay yang merekam delapan persona berbeda sekaligus membicarakan hidup sebagai queer di Korea Selatan.

“Di Korea Selatan, drama tentang BL mulai populer,” kata Produser Merry Queer Lim CHang-hyuck, pada Time.

“Saya mulai riset kenapa orang-orang mulai tertarik menontonnya. Konten begini sebenarnya pada dasarnya adalah drama, jadi mereka punya banyak sekali adegan yang dibuat-buat, dilebih-lebihkan. Alih-alih, saya pikir akan lebih menarik bikin reality program supaya bisa menangkap jelas masalah-masalah apa saja yang mereka (komunitas LGBTQ) hadapi dan bagaimana membawanya jadi topik yang perlu dibicarakan di Korea Selatan,” tambahnya.

Menurut Hong Seok-cheon, salah satu host acara itu sekaligus selebritas pertama yang pernah coming out secara publik di Korea Selatan, Merry Queer adalah bagian dari perjuangan menampilkan representasi queer dalam tontonan orang Korea Selatan.

Korea Selatan sendiri masih tidak mengakui pernikahan sesama jenis dan cuma punya sedikit perlindungan hukum buat warga LGBTQ-nya.

Hong Seok-cheon sendiri mengalami perlakuan diskriminasi itu sejak pertama kali come out pada 2000. Semua kontrak kerjanya saat itu tiba-tiba dibatalkan. “Saya bahkan tidak bisa kerja di TV sampai tiga tahun lebih,” katanya pada Time.

Ia berharap dengan penayangan acara macam Merry Queer bisa membawa perbincangan tentang pengalaman diskriminasi dan kebencian yang diterima kelompok LGBTQ ke lampu sorot yang tepat. 

Dating Show Buat LGBTQ dan Evolusi Lambatnya

Bila Merry Queer menjadi program reality show yang menampilkan tantangan yang dihadapi warga queer Korea Selatan, maka His Man mengejutkan penontonnya karena jadi acara cari jodoh pertama yang menunjukkan secuplik skena asmara laki-laki gay Korea Selatan.

Dalam His Man, delapan pria dengan latar belakang dan personalitas berbeda dipilih untuk tinggal bersama dalam sebuah rumah. Setiap harinya mereka akan diberi tantangan dan dikasih kesempatan untuk mengenal dan berkencan dengan sesamanya. Konsep ini tak terlalu berbeda dengan format dating show pada umumnya, di mana semua kontestan punya kesempatan yang sama untuk mengenal lebih dalam, jatuh cinta, dan memilih pasangannya.

Format His Man bahkan mirip dengan dating show asal Jepang,  Terrace House, yang diadaptasi beberapa negara.

Delapan kontestan dalam His Man terdiri dari usia 21-34 tahun, dengan latar belakang profesi beragam: mulai dari chef dan pemilik restoran, penata rambut, stylish dan make up artist, drag queen, penari, mantan trainee boyband, sampai seorang sommelier

Menariknya, mayoritas kontestan ini adalah orang yang sudah coming in dan tidak menyembunyikan identitasnya. Lee Hyeon (drag queen) dan Jeong Ho (penari), misalnya, sangat terbuka dengan pengalaman mereka hidup sebagai minoritas di Korea Selatan, dan berharap masyarakat Korea Selatan akan terus bergerak progresif menerima keberagaman.

“Saya enggak punya kekhawatiran apa pun untuk tampil di program ini. Saya enggak takut. Saya pikir, saya sudah selalu siap. Karena sebelum His Man, saya diajak untuk bergabung di acara cari jodoh heteroseksual. Setelah coming out ke tim produksinya, saya tidak dipanggil selepas casting babak terakhir. Sejak itu, saya selalu mikir, ah kayaknya bagus juga kalau ada dating show kayak begitu dibikin buat orang-orang queer,” kata Jeong Ho yang populer dipanggil Hokeep, pada Time.

Keresahan Hokeep bukan tak beralasan. Meski populer dan terus diproduksi, variety show berformat dating show memang sering kali hanya hadir dan dibikin untuk orang–orang heteroseksual. 

Contoh paling populernya adalah waralaba Bachelor yang bertahan dengan format heteroseksualnya sejak pertama kali tayang 2002. Host-nya Chris Harrison pernah bilang kalau acara yang dipandunya tak perlu berubah karena terus sukses sejak premier. Ia mengumpamakan kesuksesan Bachelor seperti usaha pizza yang lahir selama 12 tahun, kemudian disarankan berganti menjual burger.

“Saya punya model bisnis yang bagus dan saya enggak akan tahu kalau jualan burger akan bikin untung juga. Terus kenapa? (harus ganti model bisnis),” katanya dalam interview dengan New York Times pada 2014.

Chris Coelen, showrunner acara cari jodoh Love is Blind di Netflix juga pernah bikin pernyataan senada. Dalam interview dengan Metro, Juni 2020 kemarin, ia bilang, “(dating show) ini bukan jenis program yang khusus tentang seksualitas.”

Menurut Coelen, ada masalah mencari logistik (talent dan storyline) bila programnya dibikin untuk orang-orang queer.

Padahal representasi orang-orang queer juga penting dalam acara-acara dating show. Sebagaimana orang-orang queer yang senang menonton representasi dirinya di TV dan terinspirasi dari tontonan mereka, acara cari jodoh buat orang queer juga penting untuk mengedukasi mereka yang masih muda atau kelompok di luar komunitas sendiri.

Masih Banyak yang Terjebak Heteronormatif

Meski patut dirayakan dan ditanggapi positif sebagai pembuka jalan, acara dating show macam His Man juga masih jauh dari sempurna.

Menonton delapan pria dengan karakter berbeda saling mengenal dan jatuh cinta mungkin akan membantu para remaja gay yang sedang berada di fase mengenal seksualitasnya. Menonton pria-pria gay lebih dewasa menavigasikan asmara dan percaya diri dengan seksualitas mereka bisa jadi inspirasi dan kekuatan buat para penonton muda. Tontonan begini bisa berarti besar buat orang-orang queer muda, apalagi mereka yang masih tinggal di lingkungan tidak inklusif atau bahkan diskriminatif.

Upaya untuk menampilkan orang-orang queer dalam program dating show sebetulnya sudah dilakukan beberapa platform besar. Netflix misalnya, telah menampilkan representasi LGBTQ dalam Dating Around—sebuah program kencan yang mempertemukan satu orang pencari cinta dengan lima kencan buta yang diharapkan cocok dan dipilih di akhir episode.

Baca juga: Jejak ‘Queer’ dalam Al-Qur’an dan Hadis

Atau Finding Prince Charm dari Logo, yang cuma bertahan satu musim; atau adaptasi waralaba Take Me Out yang berubah nama jadi Take Him Out di Thailand—adaptasi yang dikhususkan buat pria-pria gay. Namun, jumlah ini tentu saja masih amat sedikit dibanding acara-acara kencan heteroseksual yang ada.

Selain jumlahnya yang masih kurang, produksi dating show yang melibatkan orang-orang queer masih sering dibalut konsep klasik acara cari jodoh yang masih heteronormatif. His Man sendiri masih mewajibkan para kontestan untuk cuma memilih satu pasangan di tiap akhir episode, bahkan sampai di episode terakhir. Secara tidak langsung, mereka masih mengamini bentuk relasi romansa yang cuma terdiri dari dua orang alias monogami.

Padahal, bentuk-bentuk relasi orang-orang queer tidak cuma terdiri dari satu bentuk. Meski kebanyakan orang mungkin memilih monogami, tapi orang-orang queer biasanya lebih terbuka pada bentuk-bentuk relasi asmara: seperti poliamori, sologami, open relationship. Pada dasarnya, relasi cinta orang-orang queer tidaklah terpenjara dalam bentuk heteronormativitas.

Di sebagian negara yang masih belum paham bahwa hak-hak orang LGBTQ adalah hak asasi manusia, perjuangan ini memang pasti terasa lebih lambat. Tapi, bukan berarti perubahan tak mungkin terjadi.

Seperti kata Hong Seok-cheon, yang berharap orang-orang di luar LGBTQ akan belajar setelah menonton acara-acara dating show queer yang ada sekarang.  “Perjalanannya masih panjang, tapi saya berharap (acara-acara ini) bisa jadi pembuka jalannya,” tambah Hong Seok-cheon.


Avatar
About Author

Aulia Adam

Aulia Adam adalah penulis, editor, produser yang terlibat jurnalisme sejak 2013. Ia menggemari pemikiran Ursula Kroeber Le Guin, Angela Davis, Zoe Baker, dan Intan Paramaditha.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *