Homeschooling Kian Diminati, Tapi Pelaksanaannya Kerap Keliru
Homeschooling sering disalahartikan sekadar berpindahnya kegiatan belajar dari sekolah ke rumah, padahal filosofi homeschooling lebih dari itu.
Seiring pandemi, anak-anak mesti menjalankan kegiatan belajar dari rumah. Hal ini berimbas pada meningkatnya popularitas konsep ‘homeschooling’. Homeschooling adalah metode pendidikan berbasis keluarga yang menjadikan rumah sebagai pusat aktivitas pembelajaran.
Sebelum pandemi, data tahun 2015 dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) menyebutkan sebanyak 11.000 anak usia sekolah menjalankan homeschooling.
Baca juga: Masa ‘School from Home’ Ajarkan Prestasi Akademis Bukan Segalanya
Semakin banyak orang tua melirik metode ini dengan berbagai alasan – dari meningkatkan pemantauan kemajuan pembelajaran anak hingga skeptisnya orang tua atas metode sekolah konvensional. Mereka menilai homeschooling memberikan lebih banyak fleksibilitas dan ruang kreativitas bagi anak.
Namun, seiring waktu, homeschooling seringkali disalahartikan sebagai sekadar berpindahnya kegiatan pembelajaran dari sekolah ke rumah dengan tetap mengacu pada ketentuan-ketentuan sekolah. Pemahaman ini tidak sesuai dengan filosofi yang sebenarnya ingin diusung metode homeschooling. Alih-alih memerdekakan anak, anak justru tetap terkekang karena pembelajaran yang dilakukan di rumah tidak sesuai dengan kebutuhan dan minatnya.
Melalui artikel ini, kami ingin menjelaskan bagaimana penerapan homeschooling yang ideal, sehingga bisa menjadi alternatif yang efektif dalam mendidik anak sesuai dengan tumbuh kembang mereka dan kemampuan keluarga.
Jadi, Apa Sebenarnya Homeschooling?
Poin yang paling utama dalam homeschooling adalah keluarga memegang peran sentral dalam setiap aktivitas pembelajaran anak dan bertanggung jawab memperhatikan kebutuhan mereka.
Orang tua mendampingi anak mulai dari menentukan arah tujuan pendidikan, keterampilan dan kemampuan yang akan diasah, pemilihan kurikulum yang diperlukan, hingga cara belajar keseharian anak. Semua ini dilakukan dengan komunikasi dan dialog dua arah dan terbuka dengan anak.
Karena homeschooling berbasis keluarga, bentuknya akan bervariasi dan tergantung kesepakatan yang diambil oleh keluarga tersebut. Terkait evaluasi, keluarga dapat mengambil ujian kesetaraan di berbagai Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) yang ada, apabila dibutuhkan. Ijazah yang didapatkan dari proses ini memiliki legalitas yang sama dengan sistem sekolah, dan juga sudah diatur secara resmi oleh berbagai aturan pemerintah.
Dalam menjalankan homeschooling, keluarga dapat mengambil ujian kesetaraan di berbagai Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) yang ada. Ijazah yang didapatkan dari proses ini memiliki legalitas yang sama dengan sistem sekolah.
Praktik homeschooling bukanlah konsep baru dalam pendidikan. Beberapa figur terkenal di dunia seperti Abraham Lincoln, Thomas Edison, dan Albert Einstein pernah menjalani metode belajar ini waktu kecil. Di Indonesia, tokoh sejarah Agus Salim juga memilih model pendidikan ini untuk keluarganya.
Homeschooling Itu Bukan Lembaga
Meskipun demikian, masih banyak kekeliruan dalam penerapan homeschooling yang tidak sesuai dengan filosofi yang tepat. Pertanyaan yang seringkali terlontar dari banyak keluarga di Indonesia yang memilih metode ini adalah “homeschooling-nya di mana?”
Pertanyaan seperti itu muncul karena homeschooling kerap diartikan sebagai sebuah institusi atau lembaga fisik yang memberikan layanan pendidikan layaknya sekolah. Dalam pelaksanaannya, memang terdapat homeschooling berbasis komunitas di mana beberapa jaringan keluarga bergabung untuk menjalankan homeschooling secara bersama-sama.
Namun, menyamakan hal ini dengan sekolah adalah sebuah kekeliruan. Berbeda dengan sekolah, homeschooling tidak semestinya menerapkan aturan dan proses pembelajaran formal yang harus dijalankan setiap anak secara seragam.
Homeschooling harus mengedepankan pendidikan berbasis keluarga, karena setiap keluarga memiliki kebutuhan yang berbeda-beda.
Ketika orang tua memilih menjalankan homeschooling kemudian sekadar menyerahkan sepenuhnya ke sebuah “lembaga homeschooling”, ini sama saja mengikutkan anak pada suatu sistem pembelajaran formal layaknya sekolah.
Menyerahkan homeschooling ke pihak eksternal juga justru membuat praktik ini terkesan mahal. Antusiasme orang tua – terutama di lingkungan perkotaan – yang tinggi terhadap homeschooling kemudian dibajak oleh berbagai lembaga homeschooling dengan mendongkrak biaya dan membuatnya seolah seperti klub eksklusif.
Homeschooling Bukan Sekadar Pindahkan Sekolah ke Rumah
Yang juga penting adalah pemahaman bahwa homeschooling itu tidak sama dengan membawa pembelajaran dari sekolah untuk dilakukan di rumah – atau hanya memindahkan lokasi saja.
Studi dari Eropa dan Cina menemukan ketika homeschooling hanya memindahkan kegiatan belajar dari sekolah ke rumah, anak dan orang tua rawan mengalami stres karena pembelajaran di rumah dipenuhi berbagai tekanan dari institusi pendidikan. Tekanan yang umum dirasakan misalnya berbentuk jadwal yang padat dan adanya berbagai tugas untuk murid, namun tanpa dukungan yang cukup dari guru karena dilakukan secara daring.
Sebaliknya, apabila keluarga menerapkan homeschooling sesuai dengan filosofi dasarnya, dampak yang diperoleh anak justru akan bersifat positif dan tanpa paksaan.
Keluarga harus memiliki cara berpikir bahwa homeschooling adalah proses mendesain ulang sistem belajar di rumah yang berpusat pada kebutuhan anak, ketimbang sekadar menjiplak struktur pembelajaran di institusi pendidikan formal.
Keputusan Bersama Antara Orang Tua dan Anak
Dengan mempertimbangkan berbagai hal tersebut, kita bisa menyimpulkan betapa besarnya tanggung jawab orang tua dalam menyukseskan homeschooling bagi anaknya.
Penelitian tahun 2011 di Amerika Serikat (AS) menunjukkan bahwa performa akademik anak yang mengikuti homeschooling sangat bergantung pada seberapa baik orang tua dalam merancang dan membuat kegiatan belajar di rumah.
Menurut kami, orang tua sebaiknya terus mengikuti perkembangan tren pendidikan terkini, dan berkomitmen untuk membuat kegiatan homeschooling menjadi proses yang menyenangkan untuk anak. Ketika orang tua memiliki keterbatasan, memanggil guru atau orang yang lebih ahli untuk mengajar anaknya juga bisa menjadi pilihan.
Meskipun posisi orang tua menjadi sentral, peran anak dalam memilih model pendidikan yang paling pas juga harus dipertimbangkan. Orang tua bisa saja merasa bahwa homeschooling adalah model pendidikan yang lebih baik untuk memenuhi kebutuhan anak. Tapi pada akhirnya, orang tua juga harus mengakomodasi pilihan anaknya – di sinilah pentingnya diskusi yang terbuka dengan seluruh anggota keluarga.
Dalam komunikasi dengan anak, orang tua juga harus membahas konsekuensi dan kekurangan dari metode ini. Anak yang sudah pernah menempuh jalur sekolah formal, misalnya, kemungkinan akan membutuhkan adaptasi untuk membangun budaya belajar yang jauh berbeda (atau disebut ‘deschooling’).
Pengalaman sosialisasi anak yang cenderung berkurang akibat homeschooling di rumah juga kerap menjadi momok – ini bisa diatasi dengan berbagai cara seperti bergabung dengan klub ekstrakurikuler di luar rumah.
Baca juga: Belajar dari Rumah Tak Efektif saat Pandemi Bisa Hapus Manfaat Bonus Demografi
Dengan adanya pandemi, homeschooling bisa menjadi alternatif agar anak tetap belajar dan mengembangkan diri. Namun, orang tua harus menerapkannya dengan baik untuk memastikan pengalaman tersebut adalah yang terbaik bagi anaknya.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.