JOMO: Tak Salah Hidup ‘Ketinggalan Zaman’
Takut ketinggalan karena rutinitas yang tidak menyenangkan memang membebani. Oleh sebab itu, joy of missing out mengajarkan untuk hidup santai yang bawa kebahagiaan.
Ada ungkapan yang berbunyi, hidup seperti Walter Mitty, artinya seorang pemalu yang sering melamun melakukan petualangan hebat karena hidupnya sangat membosankan. Entah melakukan perjalanan lintas benua yang memicu adrenalin atau secara magis terdampar di dunia asing dan menjadi pemeran utama, singkatnya mengalami apa yang disebut Isekai.
Walter Mitty sendiri merupakan tokoh fiksi dari cerpen The Secret Life of Walter Mitty (1939) yang ditulis James Thurber di The New Yorker. Cerita tersebut kemudian mendapatkan dua adaptasi film The Secret Life of Walter Mitty (1947) dan remake dengan judul yang sama pada 2013, diperankan Ben Stiller. Walaupun dari ketiga cerita ada sedikit modifikasi untuk menyesuaikan dengan zaman, pesannya tetap sama: untuk keluar dari zona nyaman.
Bisa dibilang dalam satu titik kita semua adalah Walter Mitty, membayangkan kalau hidup yang biasa-biasa saja bisa menjadi luar biasa. Namun, sebagai perempuan warga negara Indonesia yang hidupnya tidak mengesankan, rasanya sulit membayangkan bisa seperti Mitty versinya Stiller. Saya tidak memiliki teman yang bakal membuat saya nekat melakukan perjalanan keliling dunia hanya untuk mencari satu jawaban. Selain itu, ‘petualangan’ yang membuat saya merasa kalau hidup ini bisa benar-benar terpenuhi.
Karenanya, salah satu jendela untuk merasakan kehidupan hebat dan keliling dunia diakses lewat media sosial. Namun, media sosial dan berbagai macam bentuk aplikasinya adalah pisau bermata dua. Satu sisi menjadi sangat menyenangkan karena bisa berkenalan dan belajar hal baru, tetapi membuat kita mudah membandingkan hidup dengan orang lain.
Misalnya saat saya merasa ditinggalkan ketika semua orang menggunakan aplikasi Path. Mereka bisa menunjukkan hidup yang tidak terbuang sia-sia karena bepergian ke tempat baru. Sebagai anak rumahan dan bergaul dengan orang-orang yang sama, saya mulai mempertanyakan, kok hidup tidak memuaskan?
Sejak saat itu, kebiasaan membandingkan diri sendiri dengan orang lain dimulai dan berlanjut sampai masa kuliah. Tentu saja saya insecure karena merasa kehilangan momen tertentu di masa muda. Untuk menghilangkan kegelisahan ‘ditinggal’ teman sebaya itu, saya mulai menjadi yes man, atau berkata iya untuk segalanya bahkan ketika saya tidak ingin melakukan sesuatu. Bak kepompong menjadi kupu-kupu, saya adalah Walter Mitty berevolusi menjadi Carl Allen (Jim Carrey) dari film Yes Man (2008). Dalam film itu, Carrey juga orang yang hidupnya membosankan sampai dia selalu setuju untuk segalanya.
Meskipun saya mengikuti segala hal yang dilakukan teman agar tidak ketinggalan, saya menjadi kehilangan energi. Saya mudah kewalahan karena terlalu banyak hal yang harus dilakukan untuk menikmati hidup. Alih-alih senang, tidak ada lagi waktu mengisi ulang baterai untuk bersosialisasi. Saya kemudian mulai membatasi apa saja hal yang bisa dilakukan. Hidup memang jadi cukup tenang. Tapi secepat perasaan itu datang, semuanya hancur berantakan ketika Instagram ada fitur story. Siklus tidak puas dan membandingkan diri pun kembali berulang.
Baca juga: Tidak Apa-apa Menjadi Biasa Saja di Dunia Luar Biasa
Takut Ketinggalan sampai Tidak Tenang
Bagi saya, butuh waktu agak lama untuk menjauh dari media sosial. Ketika sudah tidak terobsesi merasa ketinggalan, saya menemukan kalau sedang mengalami fear of missing out (Fomo). Jika merujuk pada penelitian Motivational, Emotional, and Behavioral Correlates of Fear of Missing Out (2013) oleh psikolog asal AS, Fomo merupakan kegelisahan karena perasaan ditinggal oleh teman sebaya. Entah itu melakukan sesuatu, pengetahuan, atau memiliki barang yang tampak lebih bagus dan baik dari diri kita.
Penyebabnya tidak jauh dari ketidakpuasan yang semakin didorong dengan media sosial untuk membandingkan diri sendiri. Kebiasaan tidak sehat itu bisa diamplifikasi dengan budaya konsumerisme hanya karena ingin seperti orang lain.
Belajar meninggalkan Fomo memang tidak serta merta terjadi dalam satu minggu. Butuh proses panjang untuk unlearn dan relearn tentang diri sendiri. Selain itu, dengan mengenal sepupunya yang disebut joy of missing out (Jomo), kalau tidak apa-apa menjalani hidup secara pelan-pelan dan menghargai diri sendiri.
Baca juga: ‘Quarter Life Crisis’: Kita Semua Bingung, Lalu Bagaimana?
Jomo semacam menunjukkan cara lain menikmati hidup yang tidak harus sesuai dengan standar orang lain di sosial media. Berikut beberapa hal yang menunjukkan sengaja missing out ternyata bisa menciptakan kehidupan ideal:
1. JOMO Ajarkan untuk fokus pada diri sendiri
Saat terpatok dengan apa yang dikatakan media sosial, jendela hidup jadi terbatas karena segalanya diatur oleh standar orang lain. Kita jadi lebih mudah lupa hal-hal yang sebenarnya diinginkan diri sendiri dan melakukan segala hal yang tidak tidak membawa kebahagiaan. Layaknya slogan konsultan kehidupan Marie Kondo buang semua yang tidak membawa joy.
Caranya tentu saja dengan fokus pada satu hal, diri sendiri. Rutinitas bisa menjadi lebih produktif dan membawa kesenangan yang ideal. Perkara fokus ini juga cukup dijelaskan biksu dari Korea Selatan Haemin Sunim dalam bukunya The Things You Can See Only When You Slow Down. Dia menuliskan dunia tercipta lewat pikiran dan hal-hal yang kita anggap menarik. Pasalnya, akan sangat sulit untuk mengetahui segala hal yang ada di dunia karena informasi yang membludak akan membuat pusing.
“Jika melihat dunia melalui lensa pikiran itu, kita sudah tahu apa yang dicari karena pikiran akan fokus pada hal tersebut. Karena, dunia yang kita lihat juga terbatas, kita bisa melatih pikiran untuk fokus pada satu titik dan akhirnya bisa menikmati dunia,” tulisnya.
Baca juga: Tak Apa Menjadi Bukan Siapa-Siapa
2. Energi tidak terbuang sia-sia
Tonya Dalton dalam bukunya The Joy of Missing Out mengatakan, umumnya manusia ingin menciptakan keseimbangan dalam hidupnya. Kerja, hubungan pribadi, dan urusan rumah harus berjalan beriringan untuk menciptakan harmoni. Ketika hal itu sudah dicapai hidup rasanya sudah sempurna, ideal, dan memuaskan.
Keinginan untuk menjalankan semua aspek itu agar hidup jadi ‘memuaskan’ sejatinya ilusi. Belum lagi produktivitas diglorifikasi dengan ‘sibuk’, alih-alih mengerjakan sesuatu yang memang bermanfaat. Alih-alih menjalani rutinitas yang ideal, seseorang akan mudah lelah dan tidak memiliki energi. Karenanya, fokus akan satu hal dan melakukan pengorbanan memang dibutuhkan.
“Dalam mengejar ilusi keseimbangan ini kita malah menciptakan hidup yang tidak berarti. Kita harus berani untuk menjalani hidup yang tidak seimbang dan tidak menjalankan segalanya. Di situlah sihirnya,” tulis Dalton.
3. JOMO Dorong untuk berani berkata tidak
Proses fokus dan ‘menghemat’ energi dengan tidak mengatakan ya untuk segalanya didukung dengan keberanian berkata tidak. Psikolog asal AS, Kristen Fuller menjelaskan kepada Psychology Today, kita tidak harus selalu bisa mengikuti aktivitas yang ada. Pasalnya, berkata tidak adalah bentuk apresiasi pada diri sendiri dan membuat hidup lebih tenang.
Sejatinya, berani berkata tidak dan menolak untuk bergaul karena tidak mengikuti tren atau aktivitas tertentu bukan berarti menjadi membosankan. Seseorang hanya memilah aktivitas mana saja yang tidak membuang waktu atau energi. Hal sederhana, seperti membaca buku, memasak, atau bersepeda bisa jadi sangat berharga karena itu dilakukan berdasarkan kemauan tanpa paksaan media sosial. Living life to the fullest juga tak selalu melakukan hal-hal berlebihan, tapi bisa dengan menjalani hidup yang pelan dan santai.
“Pelan-pelan saja sebelum berbicara, memeluk sepi, gunakan waktu di perjalanan untuk merenung atau membaca buku. Hidup dengan pelan-pelan bisa menambah kreatifitas, yang bisa digunakan untuk menjadi produktif di bidang lain dalam hidup kita,” tulisnya.