Kalibata City: Antara Mutilasi dan ‘Sanctuary’
Kalibata City bukan sarang mutilasi, malah bisa jadi ‘sanctuary’ bagi penghuni yang merupakan warga minoritas.
Kasus mutilasi yang heboh di media akhir-akhir ini membuat apartemen Kalibata City kembali menjadi bahan pembicaraan.
Sebenarnya, rangkaian peristiwa pembunuhan ini melibatkan beberapa tempat kejadian perkara (TKP). Korban adalah penghuni sebuah apartemen di area Gatot Subroto, pembunuhannya sendiri terjadi di apartemen lain di bilangan Pasar Baru, sementara kedua pelaku ditangkap di sebuah rumah kontrakan di daerah Cimanggis, Depok. Kebetulan, jenazah korban yang sudah dimutilasi ditemukan di salah satu unit apartemen di Kalibata City.
Lantas, Kalibata City-lah yang akhirnya paling disorot dan menjadi tajuk utama di banyak media. Kejadian ini pun dikenal sebagai kasus “Mutilasi Kalibata City”.
Entah kenapa. Mungkin karena judul demikian lebih menarik dan berima. Mungkin juga karena para awak media ini percaya bahwa yang terpenting dari sebuah kisah adalah bagian akhir (walaupun, kalau mengacu pada titik akhir secara teknis, seharusnya judul berita bisa saja jadi “The Depok Duo Killers” atau “Para Pengiris dari Cimanggis”. Lebih bombastis, kan?).
Atau, mungkin juga, karena selama ini, Kalibata City memang sudah dikenal sebagai tempat terjadinya berbagai kasus kriminal dan (dianggap) maksiat, sehingga menjadi target empuk untuk bahan berita.
Akun Instagram situs berita ternama baru-baru ini menampilkan kasus itu seperti cerita horor, lengkap dengan judul yang dibuat misterius, serta tata letak layaknya konten-konten mistis yang sering kita lihat di internet.
Sejumlah media lain menggali dan membuka kembali keborokan Kalibata City; mulai dari pembunuhan, bunuh diri, pesta seks, narkoba, prostitusi daring, sampai masalah imigran gelap.
Sebuah situs berita lainnya mencoba mencari sudut pandang yang berbeda, dengan membuat daftar alasan mengapa Kalibata City tetap menjadi pilihan tempat tinggal populer, walaupun sering diberitakan miring. Daftar ini terbaca seperti brosur iklan properti yang agak twisted.
Baca juga: Laki-laki Gay Jadi Bunglon Sosial Lewat Pernikahan Heteroseksual
Di perumahan lebih aman? Kata siapa?
Saya, sebagai penghuni Kalibata City, mulai gencar menerima pesan WhatsApp dari teman dan saudara sejak kasus mutilasi itu. Ada yang hanya sekadar mengirim tautan berita, beberapa disertai canda ringan yang mengolok-olok tempat tinggal saya–yang saya tanggapi dengan candaan yang sama ringannya (selain malas dibilang baper, penghuni Kalibata City sudah terbiasa dijadikan objek berbagai macam dagelan karena tempat tinggalnya). Ada yang menanyakan kabar dan memastikan apakah saya baik-baik saja. Ada juga yang sampai dengan serius dan khawatir menyarankan, apakah saya tidak mau pindah saja?
“Pindah ke perumahan saja, lebih aman,” kata mereka.
Oke, saya singkirkan dulu keinginan menjawab “Kamu mau kasih duitnya?” untuk saran tak bertanggung jawab yang, kalau dipikir-pikir, serupa pertanyaan “Kapan kawin?” atau “Kapan punya momongan?” ini.
Saya mau fokus ke kata “aman” yang mereka maksud.
Beberapa tahun lalu, saya dan pasangan saya pernah tinggal di sebuah perumahan di pinggiran selatan Jakarta. Awalnya, kami merasa sudah memiliki tempat tinggal impian. Rumah mungil hasil jerih payah sendiri, dalam kluster perumahan asri di kawasan kota satelit trendi yang, meski jauh dari pusat kota, tapi segalanya ada. Kami sudah membayangkan akan membangun keluarga dan menghabiskan hari tua di sana.
Oh ya, ada satu hal kecil yang belum saya ceritakan. Kami berdua adalah sepasang pria. Tapi kami pikir itu tak akan jadi masalah. Toh perumahan di kawasan trendi ini kebanyakan dihuni keluarga-keluarga muda, modern, dan pasti berpikiran terbuka.
Hidup kami pasti akan baik-baik saja.
Sampai suatu pagi, rumah kami didatangi sekelompok orang yang menyebut diri mereka “warga”. Kepala RT juga ikut serta. Ada pula satu orang berseragam polisi, yang katanya untuk menjaga keamanan seandainya terjadi “hal-hal tidak diinginkan”.
Di ruang tamu kami sendiri, kami disidang dan disudutkan, didesak untuk mengakui orientasi seksual kami. Alasannya, dua pria yang tinggal dalam satu rumah tanpa hubungan darah “meresahkan warga sekitar”, “tidak sesuai norma agama”, apalagi “sekarang sedang ramai-ramainya isu LGBT di media,” kata mereka.
Tanpa izin, mereka mengambil foto-foto interior rumah kami. Beberapa orang tampak sengaja memancing emosi, tapi untungnya kami tidak terprovokasi. Sementara itu, Pak RT– yang selama ini punya hubungan baik dengan kami–hanya duduk diam dengan kepala tertunduk, seperti tak berdaya menghadapi tekanan warga.
Baca juga: 5 Hal yang Bisa Dipelajari dari Hubungan Oscar dan Reggy Lawalata
Kabar yang kami dengar di kemudian hari, “keresahan” ini berawal dari kelompok ibu-ibu pengajian di kluster tersebut, yang lantas mendesak para kepala keluarga untuk mengambil tindakan, karena mereka merasa tidak aman dengan kehadiran kami. “Apalagi, di sini banyak anak kecil,” begitu imbuh mereka.
Malamnya, terlihat beberapa kepala keluarga mondar-mandir di depan rumah kami, atau mengamati rumah kami dari jauh. Beberapa memegang handy talky, dan tampaknya saling berkomunikasi secara terorganisir. Sementara, satpam kluster–yang juga punya hubungan baik dengan kami–sepertinya tidak mampu melakukan apa-apa karena ini kemauan warga.
Lantas, “aman” menjadi kata yang relatif. Aman menurut siapa? Kami, dua orang tanpa senjata yang tidak melakukan tindak kriminal apa-apa, tidak mengganggu ketertiban pun, dianggap mengancam keamanan warga dan keluarga mereka. Lalu, untuk “menjaga keamanan”, warga melakukan gerakan terorganisir untuk mengintimidasi dan memantau gerak-gerik kami. Ini membuat kami merasa tidak aman di rumah sendiri. Bukankah kami bagian dari warga, yang seharusnya juga berhak merasa aman? Tentu saja, mayoritas kembali memegang kartu As.
Singkat cerita, saya dan pasangan saya akhirnya memutuskan untuk pindah. Kalibata City menjadi pilihan kami. Tentu ada pertimbangan praktis seperti harga terjangkau dan lokasi strategis. Tapi selain itu, dalam kasus kami, gaya hidup individualistis yang identik dengan hunian apartemen seperti ini justru menguntungkan dan memberi rasa aman. Karena, terus terang, sejak kejadian itu, kata “warga” membuat kami alergi.
Tak menyenggol, tak akan dibacok
Kami pun pindah dari sebuah lingkungan perumahan “baik-baik” ke dalam suatu komunitas yang sering dipandang miring. Selain penghuninya bercampur aduk dari berbagai macam golongan dan kelas sosial, Kalibata City juga sering menghadapi penggerebekan dan sejumlah kasus kriminal.
Tapi, anehnya, saya justru merasa jauh lebih aman tinggal di sini.
Banyak yang bertanya, apa tidak takut hidup berdampingan dengan pembunuh, pecandu, pelaku dan pengguna jasa prostitusi, penjahat, imigran gelap, perempuan atau pria simpanan, serta sederet orang berlabel negatif lainnya?
Sebagai bagian dari kelompok minoritas dengan label yang ditempelkan masyarakat, saya sering menemukan diri saya berada di sisi yang sama dengan orang-orang yang dianggap “menyimpang”, dalam menghadapi stigma yang digencarkan kelompok mayoritas atau yang berkuasa.
Pertama, sikap individualistis khas apartemen tadi sangat berperan. Ada pola pikir “selama kita tidak tersenggol, kita tidak akan membacok”. Rasanya seperti angin segar yang kontras dengan mentalitas kluster perumahan yang kepo dan membuat saya trauma.
Kedua, sebagai bagian dari kelompok minoritas di Indonesia, saya juga sudah lama hidup dengan label yang ditempelkan masyarakat pada saya. Dan, walaupun tidak bisa disamakan satu sama lain, suka atau tidak suka, saya sering menemukan diri saya berada di sisi yang sama dengan orang-orang yang dianggap “menyimpang” tadi, dalam menghadapi stigma yang digencarkan kelompok mayoritas atau yang berkuasa.
Kedua faktor ini membuat kami santai saja hidup bersama dengan segala warna-warni kami. Tak ada yang terlalu mayoritas, tak ada juga yang terlalu minoritas. Di Kalibata City, saya belajar tentang keberagaman yang tidak menolak hidup berdampingan.
Seperti dikutip dari artikel tirto.id keluaran tahun 2018, yang rasanya perlu dibaca lagi di tengah gempuran narasi “orang luar” tentang Kalibata City yang berseliweran saat ini: “Menjadi manusia di Kalcit adalah mengakrabi keberagaman: orang-orangnya, kelas sosialnya, dan pekerjaannya. Asing sekaligus dekat” di mana “wanita-wanita dengan baju terbuka tetap lalu-lalang di tempat yang sama dengan mereka yang memakai burka.”
Inilah yang membuat saya merasa lebih aman dibandingkan hidup di tengah komunitas seragam yang memaksakan nilai-nilai mereka. Kadang terpikir, saat saya melangkah keluar dari kompleks apartemen, Jakarta bahkan Indonesia yang lebih besar pun belum tentu bisa memberikan rasa aman itu.
Tapi, apakah mungkin ini sebuah gagasan yang terlalu diromantisasi? Bisa jadi. Apakah betul di sini saya seaman itu? Tentu tidak. Polisi moral pasti ada di mana-mana.
Sempat ada masa poster slogan anti-LGBT ditempel di setiap lobi menara, misalnya. Kita juga pasti masih ingat saat ada organisasi massa yang memaksa masuk ke salah satu menara untuk menggerebek hajatan privat yang mereka sebut sebagai “pesta seks”, yang juga ramai diberitakan media waktu itu.
Baca juga: Cinta Laura Kiehl, Soal Tantangan Sebagai Perempuan dan Dukungan terhadap LGBT
Tapi ini tidak lantas berujung pada histeria dan persekusi buta. Warga tetap melanjutkan hidup mereka seperti biasa. Mungkin para penghuni di sini tidak terlalu peduli, atau tidak terlalu tertarik mengurusi hidup orang lain. Sekelompok orang yang mencoba memaksakan kehendak mereka itu sepertinya tidak mendapat respons yang mereka inginkan dari penghuni lain. Lama-lama, poster-poster itu pun dilepas sendiri.
Saya sadar, usaha-usaha seperti ini pasti akan terus mencoba muncul ke permukaan. Tapi saya berharap, iklim keberagaman di sini mampu menjadi peredam.
Selain menerima pesan WhatsApp dari “orang-orang luar” yang menanyakan, menertawakan, atau mengkhawatirkan Kalibata City, saya juga sering bertukar pesan teks dengan teman-teman sesama penghuni. Kebanyakan dari kami membahas hebohnya persepsi luar tentang Kalibata City yang berbahaya, sementara kami yang di dalam merasa adem ayem saja dan masih sangat menikmati nyamannya hidup di sini.
Saya jadi teringat perkataan seorang teman yang membandingkan Kalibata City dengan Pulau Onrop, sebuah pulau fiktif dalam pertunjukan teater Onrop! Musikal karya Joko Anwar di tahun 2010. Ceritanya tentang bagaimana rezim penguasa mengasingkan orang-orang yang dianggap menyimpang, berdosa, dan tak bermoral ke satu pulau. Tapi di pulau itu, mereka yang dianggap berbahaya bagi masyarakat justru hidup harmonis, menciptakan peradaban baru yang damai dan bahagia.
Kalibata City memang tak seideal Pulau Onrop, karena dunia tak seindah utopia dalam fiksi. Kriminalitas dalam segala bentuknya pasti akan terus terjadi di sini. Tapi, ada tiga hal yang akan selalu saya ingat. Pertama, kejahatan bisa terjadi di mana-mana, bukan hanya di tempat ini. Kedua, rasa aman bagi sekelompok orang, bisa jadi malah menjadi teror buat kelompok lain. Ketiga, bagi orang-orang yang pernah punya pengalaman seperti saya, tempat seperti Kalibata City adalah sanctuary.
Paling tidak, untuk saat ini.