Lifestyle

Kamu Ibu, Kamu Individu Seutuhnya

Berperan sebagai ibu sering memosisikan perempuan di balik bayangan anak. Padahal, titel itu hanyalah satu peran dan tidak mendefinisikan seorang perempuan secara utuh.

Avatar
  • January 13, 2022
  • 5 min read
  • 638 Views
Kamu Ibu, Kamu Individu Seutuhnya

Bagi perempuan yang memilih menjadi ibu, otomatis prioritas dalam hidup seketika berubah. Mulai dari aktivitas sehari-hari, perencanaan keuangan, hingga pengambilan keputusan yang sedikit banyak memengaruhi anak-anaknya. Tak jarang, banyak dari mereka kehilangan identitas diri lantaran menomorduakan kebutuhannya setelah buah hati dan suami.

Setidaknya ini yang dialami salah seorang ibu asal Jakarta Selatan yang juga menjalankan wirausaha. Selama 10 tahun pertama menjalani tanggung jawab baru, Risti pernah tidak mengenal dirinya, karena hampir seluruh waktu dan tenaganya didedikasikan untuk kedua anaknya.

 

 

“I didn’t know what I liked anymore,” tuturnya saat dihubungi Magdalene pada (12/1).

Permasalahan ini memberikan tekanan tersendiri bagi para ibu, karena menenggelamkan dirinya dalam segudang aktivitas yang tak ada habisnya. Mulai dari mengganti popok, terjaga di malam hari karena anak tak berhenti menangis, menyiapkan makanan, pergi ke dokter untuk memeriksa kesehatan, hingga membantu mengerjakan tugas sekolah.

Baca Juga: Menjadi Ibu yang (Tidak) Sempurna

Tanpa disadari, aktivitas tersebut menciptakan kelekatan antara ibu dan anak. Hal ini dijelaskan Alice Honig, seorang akademisi Syracuse University dalam Choosing Childcare for Young Children” (2002). Dalam penelitiannya, Honig menyebutkan kehadiran ibu mutlak bagi seorang anak pada masa bayi, atau disebut fase simbiosis. Melalui kehadiran fisik itulah ikatan emosional antara keduanya akan terbentuk.

Namun, kerap kali para ibu justru menjadikan buah hati sebagai bagian dirinya. Misalnya ketika berinteraksi dengan orang tua murid di sekolah, mereka cenderung memperkenalkan dan menyebut diri sebagai “Mama (nama anak)”, tanpa mengucapkan nama aslinya. Menurut Risti, ini merupakan bentuk lain menghilangkan identitas diri.

“Ya mungkin senang jadi ibu, tapi kita punya nama lho. You don’t have to be recognized as somebody’s mom,” tegasnya.

Bahkan ia menekankan kedua anaknya seperti satelit. “Tentu saya melibatkan mereka dalam kehidupan, they are my joy. Tapi bukan bagian diri yang harus nempel terus.”

Tak dimungkiri, memenuhi keperluan anak berpengaruh pada perkembangan diri, hingga mengesampingkan kegiatan yang perlu dilakukan sebagai individu. Melansir HuffPost, waktu yang dihabiskan seorang ibu mengganti popok anaknya setara dengan 40 jam per minggu setiap tahunnya. Secara tidak langsung, batasan terbangun ketika menjalani peran ini dan hidup tak lagi leluasa.

Baca Juga: Serba Salah Jadi Ibu Pekerja Hari Ini

Marina, 29, merasa kebebasannya terbatas karena memiliki seorang putra yang masih balita. Dengan terpaksa, ia bernegosiasi dengan atasannya untuk tidak menghadiri acara kantor karena mengkhawatirkan anaknya yang belum menerima vaksin Covid-19.

“Dulu bisa langsung pergi karena nggak ada ikatan, sekarang anak tuh jadi pertimbangan,” jelasnya. Terlebih anak cenderung mengikuti ibunya ke mana pun ia pergi, sehingga ruang pribadi semakin terbatas.

Pentingnya Lingkungan Suportif

Kompleksnya situasi usai melahirkan membuat ibu muda memerlukan perhatian dan dukungan ekstra, karena dikhawatirkan terjadi komplikasi yang berisiko. Apalagi perubahan bentuk tubuh dan adaptasi kebiasaan baru sering kali memengaruhi kesehatan mental.

Saat melalui masa pemulihan dan terjaga di malam hari, Marina yang bersikeras menyusui langsung sempat mengalami mastitis, puting lecet, hingga badan meriang. Pada fase itu, ia merasa kesepian, meskipun suami atau ibunya menemani.

“Enggak ada orang yang betul-betul bisa merasakan yang kurasakan,” katanya.

Dengan kondisi tubuh demikian, ia merasa tidak berdaya dan sempat mengalami baby blues, membuatnya kepikiran menyakiti sang anak. “Aku minta suami yang pegang anak. Inilah mengapa support system penting banget.”

Baca Juga: Perempuan Bebas Memilih Child-free dan Tetap Bahagia

Namun, perjalanan sebagai ibu bukan hanya terasa berat pasca melahirkan, ketika beradaptasi dengan kebiasaan berbeda hingga mengalami depresi. Ibaratnya selalu ada hal-hal yang pertama kali dilakukan dalam hidup, dalam hal ini babak baru yang dilalui seiring perkembangan anak menjadi dewasa.

Jika sewaktu anak-anaknya balita tantangannya berupa tantrum, kini Risti berhadapan dengan dua remaja di kecanggihan era digital. Berulang kali ia harus memberikan pengertian, membuka Youtube saat sekolah daring tidak seharusnya dilakukan. Terdengar sepele, tetapi melelahkan. Belum lagi kepemilikan media sosial.

Untunglah anak-anaknya mulai dapat memahami, ibunya memiliki kehidupan terlepas dari tanggung jawabnya mengurus keluarga. “Misalnya habis rapat maraton, aku bilang ke mereka, ‘mama capek, butuh waktu sebentar untuk istirahat’,” ceritanya.

Meskipun dilakukan dalam waktu singkat, kurang lebih 30 menit untuk minum teh dan doomscrolling media sosial, perempuan 40 tahun itu dapat mengembalikan energinya supaya dapat berinteraksi dengan keluarga. Maka itu, tindakan sesederhana didengarkan dan dipahami, bisa bermakna layaknya suatu dukungan besar bagi seorang ibu.

Cara Ibu Mengembalikan Identitasnya

Perkara ibu yang kehilangan identitas mengingatkan saya pada film Otherhood (2019), tentang tiga perempuan yang tidak dapat melihat dirinya secara utuh, terlepas dari perannya sebagai ibu. Akhirnya identitas mereka kembali, di akhir perjalanan dadakan di New York.

Berkaca dari film tersebut, terkadang yang dibutuhkan seorang ibu adalah menarik diri sejenak dari tanggung jawab yang “melekat seumur hidup”, agar dapat terkoneksi dengan dirinya. Melansir Verywell Family, langkah sederhana yang bisa dilakukan adalah merawat diri, melakukan kegiatan yang disenangi, serta terhubung dengan teman-teman dan pasangan.

Ketiga hal itu dilakukan Risti, seroang wiraswasta, yang melatih self-awareness untuk mengenal kebutuhannya secara personal, setelah dirinya tersesat sejak melahirkan anak kedua pada 2011. Kebutuhannya itu disadari ketika ia reuni dengan teman-teman SMA.

“Awalnya aku nggak sadar. Pulang dari situ kok happy ya? Udah lama nggak merasa begitu,” akunya. Setelah itu, bertemu teman-teman menjadi salah satu pelepas penat, suatu momen ketika ia bisa menjadi dirinya sendiri.

Pun Risti meneruskan keinginannya melanjutkan pendidikan, berkat dukungan sang suami. Meskipun tingkat stresnya bertambah dan memerlukan dua pengasuh untuk anak-anaknya, ia mengaku senang bersekolah S2. Banyak bertemu orang baru mengingatkannya pada dirinya beberapa tahun silam saat masih lajang.

“Dari situ aku tahu, kita nggak boleh menghilangkan jati diri di atas apa pun,” ucapnya. “Mau itu pekerjaan, keluarga, stres, atau kesibukan, at the end of the day I have to come back to myself.”

Ilustrasi oleh Karina Tungari


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *