Kanjuruhan Bukan yang Pertama: Solidaritas ARMY Datang dari Pesan Kasih
Dari aksi donasi, bantuan hukum, psikologis, saya ketemu dan ngobrol langsung dengan para BTS ARMY. Mengapa aksi sosial ARMY jadi istimewa?
Disclaimer: artikel ini adalah lanjutan dari tulisan sebelumnya “Di Balik Donasi BTS ARMY: Solidaritas Buat Kanjuruhan, Urunan Demi Kemanusiaan“.
Aksi pengumpulan donasi ARMY untuk Kanjuruhan menghebohkan Indonesia. Publik berbondong-bondong memberikan apresiasi. Banyak yang kaget dengan kecepatan fandom ini mengorganisir donasi.
Dyanti, orang di balik penggalangan bantuan buat Kanjuruhan, bahkan bisa dapat interview lebih dari empat kali dalam sehari.
Kegiatan menggalang dana demi kemanusiaan begini bukan yang pertama. Buat ARMY sendiri, gerakan sosial demi nama kemanusiaan juga bukan cuma berbentuk penggalangan donasi saja.
Baca juga: Tak Cuma ‘Photo Card’: Bagaimana Penggemar K-Pop Terlibat Aktivisme
Hera (46) dan Ana (26) adalah contoh dua cerita lain tentang ARMY dan pesan berbagi kasih.
Hera adalah pendiri dari Bintang Ungu, kelompok amal yang banyak melakukan aksi solidaritas dengan proyek utama mendirikan dan mengelola PAUD gratis bagi anak-anak kurang mampu. PAUD yang kini sudah berdiri sebanyak tiga unit yang masing-masing berada di daerah Kampung Sawah, Semper, Jakarta Utara dan Sukmajaya, Depok.
Ditemui di Vadeva Terrace, Kemang, Jakarta Selatan pada Minggu (9/10) lalu, perempuan dengan senyum ramah dan gaun ungunya itu bercerita tentang perjalanannya memutuskan mendirikan Bintang Ungu. Semua berawal dari dirinya yang merasa diselamatkan oleh pesan-pesan dari lagu BTS.
“Kekhawatiranku banyak. Orang-orang pikir aku punya semuanya. Keluarga oke, karier oke aku merasa enggak happy. Sampai akhirnya anak-anak (BTS) ini ngajarin aku lewat karya mereka untuk mencintai diri sendiri, nerima diriku sendiri.”
Penerimaan dirinya inilah jadi alasan Hera akhirnya meneruskan pesan baik yang ia terima dari BTS. Ia menyadari sama seperti dirinya, banyak anak-anak muda dan orang dewasa yang memiliki masalah dalam mencintai dan menerima dirinya sendiri.
Masalah yang justru dalam prosesnya akan merembet jauh ke dalam proses perkembangan diri seseorang. Oleh sebab itu, Hera akhirnya memutuskan untuk membuat PAUD yang di dalamnya mengajarkan pesan-pesan baik BTS.
Humble, respect, kind, and loving.
Bersama-sama dengan teman-teman ARMY sebayanya di Bintang Ungu, Hera membuat modul akademis dan karakter yang didasari oleh pesan love myself. Pesan yang secara berulang kali dibawa oleh BTS melalui kampanyenya bersama UNICEF hingga lagu mereka Answer: Love Myself. Modul ini tak hanya diberikan pada anak-anak, tapi juga buat orang tua.
Misalnya saja melalui modul yang sudah mereka susun, Hera dan teman-temannya membuat program sederhana. Salah satunya adalah meminta anak-anak PAUD beserta ibunya setiap malam selama 6 bulan berturut-turut untuk saling berhadapan dan mengucapkan “I love you” dan “Terima kasih” satu sama lain.
“Ini kita wajibkan. Kenapa? Karena perasaan berharga itu kan harus ditumbuhkan enggak hanya untuk anak, tapi juga para ibu. Sebagai ibu, pasti perempuan punya perasaan rendah diri. Mereka suka merasa dirinya tidak cukup baik, maka rutinitas ini dilakukan agar membantu para ibu menghargai diri mereka sendiri.”
Tak berbeda jauh dari Hera, Ana salah satu pendiri dari Wings of Bangtan juga sempat berbagi kisahnya. Dalam balutan suara tawa para ARMY lain yang sedang berbincang asyik seraya bersantap makan siang di Vadeva Terrace, Ana bercerita tentang mengapa ia putuskan bekerja secara sukarela. Jika Hera merasa diselamatkan oleh BTS melalui pesan-pesan mereka, kehadiran BTS jadi motivasi tambahan tersendiri bagi Ana untuk berbagi kebaikan. BTS memang punya political statement kuat.
Beberapa kali kita melihat mereka menyampaikan pidato baik di sidang umum PBB atau peringatan penting di Korea Selatan dan berulang kali juga kita melihat mereka berikan pernyataan tegas serta lakukan aksi filantropi. Mulai dari isu mengenai kesehatan mental, anti rasisme, hingga keberagaman, semua hal yang berkaitan dengan kemanusian inilah yang membuat Ana tergerak untuk tak hanya jadi fangirl biasa.
Baca juga: Fanatisme atas K-Pop dan Opresi terhadap Perempuan
“Dibandingkan jadi fangirl yang cuma bisa dengerin lagu idolanya, BTS ngajarain kita ‘Oh ternyata kita bisa lho berbuat lebih’,” katanya.
Dengan berbekal pengalamannya sebagai relawan, Ana pun mendirikan Wings of Bangtan. Portal donasi ARMY se-Indonesia yang kini berisikan tujuh relawan ARMY. Melalui kolektifnya ini, Ana beserta kawan-kawannya tak hanya jadi pihak yang menginisiasi galang dana tapi juga mengumpulkan aksi galang dana ARMY di Indonesia. Bisa dibilang Wings of Bangtan berperan sebagai big data aksi galang dana di Indonesia.
Setiap aksi galang dana yang diinisiasi ARMY akan diverifikasi dan dipantau penyelenggaraannya hingga penyaluran dananya selesai. Oleh karena itu dalam timnya terdapat satu posisi khusus bernama project hunter. Seseorang yang sengaja ditugaskan Ana untuk mencari aksi galang dana ARMY Indonesia, melakukan verifikasi, memantau penyelenggaraannya, hingga melakukan pendataan di akhir donasi.
“Kita cek track record donasinya, mereka lakuin donasi melalui apa, rekening atau kitabisa. Ada enggak detail penyaluran dananya. Semua dilakukan biar dana yang terkumpul enggak disalahgunakan,” jelas Ana.
Melalui mekanisme inilah, per 13 Oktober ini Wings of Bangtan sudah mendata sebanyak total 41 aksi galang dana yang dilakukan oleh ARMY se-Indonesia pada 2022 (termasuk tiga aksi galang dana yang mereka inisiasi). Jumlah yang bisa dikatakan cukup mengejutkan untuk sebuah fandom yang rela mengerjakan semuanya secara sukarela.
Dari apa yang ia dan kawan-kawannya kerjakan, Ana pun punya satu pesan yang ingin ia sampaikan, “Aku pengin ngasih tahu kalau kamu enggak harus nunggu kaya, enggak harus nunggu terkenal untuk berbuat baik ke orang lain.”
Ia menambahkan, “Berbuat baik itu enggak hanya dari uang. Dari ilmu yang kamu punya, informasi baik, sekadar sharing. Bahkan dengan ada acara kamu jadi relawan itu juga udah berbuat baik. Jadi berbuat baik itu datang dari banyak hal, enggak harus material tapi dalam bentuk apa pun.”
Bergerak Layaknya Rhizoma
Bagi orang awam yang belum pernah masuk ke dalam fandom dan terjun di dalamnya, aksi yang dilakukan ARMY memang buat geleng-geleng kepala. Dalam kerangka akademis, apa yang dilakukan para ARMY ini adalah gabungan dari fan labor dan fan activism.
Dalam penelitian Free Labor: Producing Culture for the Digital Economy dan A Fannish Field of Value: Online Fan Gift Culture dijelaskan berkat internet sebuah model ekonomi baru muncul. Namanya ekonomi digital.
Kemudahan akses yang diberikan internet mampu memberikan individu informasi dan kesempatan berjejaring dengan seluruh manusia di dunia secara daring yang akhirnya menghasilkan free labor atau dalam studi penggemar dikenal sebagai fan labor.
Pekerjaan sukarelawan yang dilakukan oleh para perempuan penggemar ini pada kenyataannya jika dikerjakan dalam bangunan ekonomi klasik umumnya akan dihargai oleh uang atau apa pun yang bersifat materil. Namun, dalam sebuah komunitas virtual pekerjaan ini pun dilakukan tanpa bayar apa pun dan sebagai ganti dari materil, individu terkait akan mendapatkan “hadiah” berupa kesenangan (pleasure) yang datang dari pertukaran komunikasi antar individu di dalam komunitas virtual yang ada.
Fan labor adalah tanda kesenangan dan kebahagian di dalam komunitas yang ada. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana para perempuan ini melakukannya tanpa ada perasaan terbebani dan justru menikmati berbagai proses yang ada di dalamnya. Hera misalnya ketika ditanya kenapa mau sukarela mencurahkan tenaga dan pikirannya di sebuah fandom menjawab.
Baca juga: K-Popers juga WNI: Ketika Penggemar K-Pop Tolak Omnibus Law
“Kenapa ya? Karena seneng aja gitu,” ungkapnya disusul dengan tawa.
“Ketika hati kita sudah full, banyak menerima kebaikan dan kebahagian dari BTS dari sesama ARMY, otomatis aja gitu kita ingin berbagi ke yang lain. Seneng bisa memberikan kebahagiaan yang kita juga rasakan”
Namun, di sinilah letak uniknya ARMY. Fan labor ARMY selalu tak bisa terlepaskan dengan kekhasan fan activism mereka. Berbeda dengan komunitas lainnya yang punya struktur organisasi ajeg dengan adanya leader atau pemimpin utama serta jabatan fungsional lainnya, ARMY sebagai fandom memiliki struktur seperti rhizoma. Teori yang berusaha dijelaskan Dr. Jiyoung Lee, profesor filsafat Universitas Hankuk dalam bukunya BTS, Art Revolution.
Terdengar cukup sulit, beruntungnya Karlina Octaviany, antropolog digital yang juga aktif dalam penelitian mengenai ARMY mencoba menjelaskan teori ini secara sederhana. Pada dasarnya, teori rhizoma menggarisbawahi tentang struktur ARMY sebagai komunitas yang tanpa kepala atau leaderless.
ARMY yang berada dalam lingkungan khusus, diumpamakan sebagai tanah misalnya yang miliki ruang bergerak fleksibel. Mereka bisa bergerak ke samping, bawah, atau atas. Di dalam tanah subur itu pula terdapat elemen lain yang mendukung pertumbuhannya. Ada cacing juga zat hara.
Dengan lingkungan seperti ini, ARMY yang mengedepankan ruang aman bersama, jauh dari orang-orang “luar” punya keleluasaan untuk melontarkan sesuatu ide atau opini tanpa dihakimi.
“Setiap orang bisa ambil aksi. Ekosistemnya sehat, karena ARMY bisa pilih perannya masing-masing. Mereka paham, penting untuk saling mengisi. Dan karena leaderless, mereka bisa mengkritisi satu sama lain dan tidak ada relasi timpang di dalamnya,” jelas Karlina.
Struktur rhizoma ini pun diperkuat karena ARMY memang sudah punya kesadaran sosial dan kemanusian yang cukup tinggi. Asalnya dari mana?
Karlina berpendapat kesadaran ini hadir lewat tiga faktor. Pertama datang dari BTS sendiri. Sebagai idola yang disukai ARMY, BTS memang vokal membahas isu sosial dan melakukan ragam kampanye sosial. Apa yang dilakukan oleh BTS ini yang membuat ARMY punya role model baik untuk bisa sampai pada langkah aksi.
Kedua, datang dari ARMY sendiri. ARMY sebagai fandom miliki keberagaman latar belakang sosial budaya dan profesionalitas yang begitu kaya. Di sini ARMY saling berbagi pengetahuan dan pengalaman sesuai dengan kebutuhan fandom mereka. Ketiga, adanya kesamaan pengalaman ARMY sebagai bagian individu dari kelompok penggemar termarjinalisasi. Dengan mayoritas perempuan sebagai populasi terbanyak, solidaritas pun tumbuh tanpa disengaja. Terutama karena beban dan pengalaman diskriminasi gender yang mereka terima.
“Semua ini yang membuat ARMY jadi punya mindset inklusif dan alam bawah sadarnya terbentuk untuk kemanusiaan. Dekolonisasi terjadi di ARMY,” kata Karlina.
Mereka paham semua orang tidak berasal dari titik awal yang sama, oleh karena itu tak mengherankan menurut Karlina setiap membuat kampanye sosial, ARMY selalu memastikan isu yang mereka angkat bisa dipahami dan diakses oleh banyak orang. Mereka tahu berbagi pengetahuan itu bagian dari gerakan sosial dan personal is political.
Karlina mencontohkan salah satunya lewat keikutsertaan ARMY dalam Women’s March Jakarta dan terselenggaranya acara FESTAPora 2021. Pada dua acara ini, ARMY tak hanya melakukan galang dana bagi perempuan korban kekerasan dan warga yang terdampak pandemi, tetapi mereka juga membuat lokakarya dan webinar.
Keduanya boleh diikuti oleh siapa saja dan gratis. Dalam prosesnya ARMY saling berbagi pengetahuan dan pengalaman tentang banyak isu. Mulai dari kekerasan berbasis gender online, kesehatan mental, hingga krisis iklim.
“ARMY memastikan selalu bikin pintu masuk. Persoalan mau stay atau keluar itu urusan nanti. Seenggaknya ARMY sudah berikan pintu masuk yang tidak mendiskriminasi, tidak judgemental karena gap pengetahuan yang tidak rata itulah yang pengin diisi,” tambah Karlina.
Lewat tuturan para perempuan inilah, kita kemudian paham: ARMY tak punya utang dan tanggung jawab apa-apa kepada publik yang dulu kerap mencaci, menghina lalu lalu berubah mengapresiasi mereka. ARMY tak punya utang penjelasan, pun tak punya tanggung jawab untuk mengubah segala stigma dan persepsi yang sudah kadung lekat pada mereka.
ARMY paham stigma mungkin akan terus ada. Pasti, akan terus ada orang yang punya persepsi tentang eksistensi mereka, meragukan apa pun yang mereka lakukan untuk sesama. Maka, ARMY putuskan tak peduli. Peduli mereka hanya satu, bahwa mereka bisa terus bergandengan tangan satu sama lain. Menguatkan solidaritas atas kemanusiaan yang sudah mereka kerjakan.