December 5, 2025
Issues Madge PCR Politics & Society Relationship

Kekerasan yang Menyusup ke Relasi: Kisah Perempuan yang Pacaran dengan Taruna TNI dan Polri 

Kekerasan fisik, verbal, hingga seksual kerap mewarnai hubungan perempuan dengan taruna Akademi Militer dan Kepolisian. Kenapa?

  • November 9, 2025
  • 6 min read
  • 2833 Views
Kekerasan yang Menyusup ke Relasi: Kisah Perempuan yang Pacaran dengan Taruna TNI dan Polri 

*Peringatan pemicu: Kekerasan fisik, verbal, dan seksual. 

Laki-laki berseragam, khususnya taruna Akademi Militer (Akmil) dan Akademi Kepolisian (Akpol), kerap dianggap pasangan ideal oleh perempuan. Imej wibawa, gaji tetap, dan masa depan yang terbilang cerah menjadi alasan utama. Namun, di balik citra itu, cerita kekerasan dalam hubungan asmara kerap tersembunyi. 

Sosiolog Universitas Sebelas Maret Drajat Tri Kartono dalam wawancaranya dengan Kumparan bilang, di masyarakat kita, seragam bukan sekadar pakaian kerja. Ia adalah simbol kedisiplinan, kehormatan, dan yang paling penting: Kekuasaan. Simbol-simbol itu punya kekuatan psikologis, menciptakan kesan kalau laki-laki berseragam adalah figur yang layak diandalkan. 

Menurut Drajat, hal ini tak lepas dari kecenderungan masyarakat Indonesia yang sangat simbolik dalam menilai orang lain. Apa yang tampak di permukaan kerap jadi tolok ukur utama. Sementara itu, kualitas pribadi seseorang dinomorduakan. 

Faktanya, ada sisi kelam yang kerap tak terlihat di balik citra ideal laki-laki berseragam, termasuk Polri dan TNI. Berikut cerita perempuan yang menjalin hubungan dengan taruna mengungkap relasi penuh luka, tekanan, dan dominasi. 

Baca Juga: 27 Tahun Reformasi, Sumarsih Masih Tegak Berdiri 

Risa dan Cerita tentang Lapis Kekerasan yang Dialaminya 

Namanya “Risa”, 23. Ia mengenal “Bimo”, taruna tingkat tiga di Akmil, pada awal 2022 lewat teman. 

Sejak awal Risa tahu kalau menjalin hubungan dengan taruna perlu penyesuaian diri. Waktu temu mereka terbatas, hanya saat Bimo mengantongi izin bermalam (IB) atau pesiar di akhir pekan. Tak jarang ia menyambangi Bimo ke Magelang, naik ojek daring dengan ongkos ratusan ribu rupiah sekali jalan. Terkadang, Bimo yang datang ke Jogja dengan bus atau menyewa kendaraan. 

Namun, yang tak pernah Risa bayangkan, menyesuaikan diri juga berarti membiarkan dirinya menerima perlakuan kasar berlarut-larut. Insiden paling menyakitkan terjadi saat Bimo menjalani pelatihan para dasar di Bandung. Risa rela menempuh perjalanan Jogja-Bandung setiap tiga minggu sekali demi bisa bertemu. Di salah satu kunjungan itu, mereka sempat bertengkar kecil di atas motor. 

Risa tak ingat persis apa pemicunya, barangkali hanya celetukan yang menyinggung. Namun, laki-laki itu malah balas memukul helmnya keras-keras sambil menghentikan laju motor. 

Ia memaksa Risa turun. Risa menolak, tapi kemudian Bimo menarik-narik celananya dan memukul betisnya berulang kali hingga menyisakan memar. Sampai saat ini, Risa masih menyimpan foto memar itu. 

Pukulan bukan satu-satunya kekerasan yang diterima Risa. Lebih sering, luka itu datang dalam bentuk kata-kata kasar. Menurut Risa, Bimo memang sosok yang temperamental. Amarahnya mudah meledak dan berujung pada makian. 

“Anjing!” “Tolol!” “Babi!” 

Dalam salah satu pertengkaran, Bimo pernah berkata sinis: “Letoy banget! Masa gitu doang enggak bisa? Gimana mau jadi Ibu Persit?” 

Lebih dari sekadar hinaan, kalimat itu menyimpan tuntutan agar Risa tunduk pada maskulinitas yang dibentuk militer. Bahwa menjadi pasangan Bimo adalah sebuah kehormatan yang harus dibayar dengan memenuhi standar istri prajurit. 

Tak hanya itu, berulang kali Risa terpaksa memaafkan perselingkuhan Bimo. Puncaknya terjadi pada 2023 ketika Risa menghadiri upacara Prasetya Perwira (Praspa) di Magelang. Di sana, ia mengetahui jika Bimo menjalin hubungan dengan perempuan lain. Itu menjadi akhir dari hubungan mereka. 

Baca Juga: 6 Pelanggaran HAM Berat yang Dihilangkan dari Proyek Penulisan Ulang Sejarah Nasional 

Kisah Anita dan Manipulasi dalam Relasi Jarak Jauh 

Cerita serupa datang dari “Anita”, 24. Ia pernah menjalin hubungan dengan taruna Akpol selama tiga tahun. Semula, hubungan itu dibangun atas dasar komitmen. Namun, pelan-pelan Anita terjebak dalam relasi yang penuh manipulasi. 

Selama mereka menjalani hubungan jarak jauh, “Dimas” memaksa Anita untuk melakukan video call sex atau mengirim foto di area sensitif. Meski tak memberi consent, ia dipaksa menerima alasan bahwa kerasnya pendidikan di akademi membuat Dimas berhak menuntut lebih. 

Pertemuan di Semarang menjadi puncak saat batas pribadi Anita dilanggar. Ia dipaksa menyerahkan tubuhnya. Ketika ia mencoba melapor ke Humas Akpol untuk mencari perlindungan, rencana itu malah berbalik jadi ancaman. Anita terpaksa mengurungkan niatnya untuk melapor demi melindungi foto pribadinya yang terancam disebarkan ke media sosial. 

Baca Juga: Proyek Revisi Sejarah Indonesia: Percuma Jika Masih Ditulis Penguasa 

Saat Militerisme Menyusup dalam Ruang Pribadi 

Di balik kisah Risa tersimpan potret yang lebih gelap dari kandasnya hubungan romantis. Ia menggambarkan lingkaran kekerasan yang lebih sering terjadi daripada yang kita kira. Mari menilik tulisan Rebecca Lane dkk. dari University of East Anglia yang mengulas dinamika hubungan perempuan dengan personel militer. 

Dalam Perceptions of the Impact of Military Life on Intimate Partner Violence and Abuse Victimisation among Civilian Partners of UK Military Personnel (2021), temuan mereka menjelaskan, dunia militer mengajarkan prajurit untuk mengandalkan kekuatan fisik dalam menyelesaikan masalah. Para prajurit hanya memperoleh sedikit pengetahuan tentang resolusi konflik yang damai. Alih-alih berdialog, kekerasan jadi pilihan yang kerap dianggap wajar. 

Dalam kasus Risa, terlihat bagaimana Bimo membawa kultur kekerasan itu dalam relasi mereka. 

“Aku di sini keras. Makanya biar kamu juga kebentuk, aku harus kerasin kamu,” kata Bimo pada Risa suatu hari. 

Dunia militer juga membentuk pola relasi yang kaku dan hierarkis. Aturan pangkat yang berlaku di institusi terbawa ke ranah privat, menjadikan hubungan pasangan terasa seperti atasan dan bawahan. 

Banyak perempuan dalam studi Rebecca Lane dkk. menggambarkan bagaimana pasangan mereka bersikap layaknya komandan: memberi perintah dan memaksa perempuan tunduk. Dalam relasi seperti ini, kekerasan verbal kerap dianggap lumrah. 

Menurut Rebecca Lane dkk., personel militer kesulitan memisahkan kehidupan pribadi dari dunia kerja. Akibatnya, perilaku agresif yang terbentuk dalam militer menyusup ke ranah privat, menciptakan relasi yang penuh dominasi dan kekerasan. 

Pengalaman Risa dan Anita menggambarkan bentuk intimate partner violence (IPV), yang oleh World Health Organization (WHO) diartikan sebagai perilaku yang menyebabkan kerugian fisik, psikologis, atau seksual bagi pasangannya. 

Dalam penelitian berjudul Prevalence of Intimate Partner Violence Perpetration among Military Populations, J. Kwan dkk. (2020) dari King’s College London mengungkap, IPV jauh lebih sering terjadi di kalangan militer dibandingkan masyarakat sipil. Temuan ini membuktikan, nilai-nilai yang berkembang dalam militer berdampak pada hubungan pribadi. 

Sistem yang dibangun di atas nilai-nilai hipermaskulinitas membentuk pola hubungan yang cenderung hierarkis dan merusak. Relasi yang demikian merupakan cermin dari nilai-nilai patriarki yang mengakar dalam sistem militer, di mana laki-laki ditempatkan sebagai pemegang kekuasaan. 

Sejalan dengan itu, Dylan Hallagan, akademisi St. John Fisher University dalam Patriarchy and Militarism (2012) menjelaskan, stereotip inilah yang kemudian diinternalisasi dan dilembagakan secara ekstrem di lingkungan militer. 

Mereka dididik untuk menjadi kuat, agresif, tidak emosional, dan dominan. Sementara sifat-sifat yang secara kultur dianggap feminin, seperti kelembutan, empati, atau kerentanan, dihilangkan dari diri mereka. Hallagan menyebut, selama pendidikan, identitas pribadi para prajurit dilucuti untuk kemudian dibangun kembali mengikuti standar ideal militer. 

Nilai-nilai ini sengaja dibentuk dan diterapkan tidak hanya di barak, tapi juga melekat pada identitas pribadi personel militer sehingga menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. 

Kita kerap geram dengan kultur kekerasan aparat Polri dan TNI yang tampil dalam pemberitaan. Namun mari pikirkan, bagaimana nasib Risa dan Anita, juga perempuan-perempuan lain yang menanggung luka serupa? 

Ada berapa banyak yang terluka karena sistem (lagi-lagi) gagal melindungi mereka? 

About Author

Safika Rahmawati

Safika adalah sosok yang suka melamun dan punya cita-cita hidup tenang di desa di kaki gunung. Tapi kalau harus tinggal di kota dulu, enggak masalah—asalkan bisa rebahan tanpa rasa bersalah sambil menikmati suara burung gereja di dalam kamar.