Dear Rabbani, Sudah Enggak Zaman Salahkan Korban Pelecehan
Saya setuju dengan pernyataan Komnas Perempuan bahwa Rabbani sangat misoginis dan cuma mengekalkan stigma dalam pelecehan seksual.
Komisi Nasional Anti-kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) merespons iklan Rabbani, merek baju muslim Indonesia, (8/1). Dalam laman resminya, Komnas Perempuan bilang, “Pernyataan dalam iklan Rabbani misoginis dan melekatkan stigma bahwa perempuan adalah penyebab terjadinya kekerasan seksual.”
Respons itu terlontar setelah Direktur Marketing Rabbani Ridwanul Karim menyalahkan cara berpakaian perempuan jika terjadi pelecehan seksual. Viktimisasi itu sendiri muncul di video bertajuk “Klarifikasi Video Iklan ‘Rabbani’ Banjir Hujatan Netizen! Sebut: Wanita Tak Berhijab itu bodoh’, Podcast Kasisolusi, (6/1), menit 02.05 – 02.25. Agar lebih meyakinkan, Ridwanul mencatut Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan.
“Wanita yang berpakaian terbuka itu akan mengundang seorang pria yang berniat berpikiran buruk. Tidak berlaku sebaliknya. Wanita sekehendaknya menggunakan pakaian tertutup. Tidak memberi kesempatan untuk pria yang berpikiran jorok,” ujar Ridwanul.
Baca juga: Bagaimana Akhiri ‘Victim Blaming’? Jadikan Kekerasan Seksual Masalah Sosial
Dalam video yang sama, ia menegaskan, pakaian terbuka masuk dalam posisi ketiga faktor terjadinya pelecehan seksual. Ia juga menyinggung faktor lain seperti “menggoda”, “berfoto seksi”, “keluar malam”, dan “tidak menggunakan kerudung” sebagai bagian dari daftar penyebab utama seseorang mengalami pelecehan seksual.
Buat saya, pernyataan Rabbani ngawur dan enggak masuk akal. Setelah membaca klarifikasi dari Komnas Perempuan dan menyelami data yang mereka miliki, khususnya CATAHU dari tahun ke tahun, tidak pernah ada laporan yang mencatat pakaian terbuka jadi faktor terjadinya pelecehan seksual.
Karena itulah, tindakan Rabbani yang mencatut nama lembaga secara tak bertanggung jawab, sekaligus menyebarkan kebohongan layak kita kritik. Sebab, hal ini berpotensi menjustifikasi para pelaku kekerasan seksual serta reviktimisasi terhadap para korban yang masih berjuang untuk pulih dari trauma.
Terlebih, ada banyak kekeliruan data lain yang dikutip olehnya yang disampaikan di video tersebut. Salah satunya mengenai data pelaku kekerasan seksual yang umumnya adalah orang-orang terdekat, termasuk pacar, ayah kandung/ tiri, paman, dan seterusnya. Padahal, kekerasan seksual tidak hanya terjadi di ranah personal, tapi di ranah publik. Pelaku mungkin juga orang tidak dikenal, teman di media sosial, atasan kerja, bahkan aparat negara. Sehingga, dari semua data yang ia catut, dapat dipastikan tak ada yang kredibel.
Baca juga: ‘Bystander Effect’: Wajarkah Diam Menonton Pemerkosaan?
Pandangan Saya Sebagai Penyintas
Sebagai penyintas sekaligus pemerhati kasus kekerasan dan pelecehan seksual, saya melihat tindakan merek tersebut sangat memojokkan korban. Ini adalah sikap misoginis yang khas ketika mereka lebih senang menyalahkan perempuan dalam kasus pelecehan seksual. Saya menduga pihak Rabbani minim literasi dan nirempati.
Dugaan saya makin kuat ketika mereka merespons warganet saat curhat dirinya pernah mengalami pelecehan seksual ketika mengenakan hijab. Namun, pembawa acara di video itu justru meminta warganet tersebut untuk introspeksi kenapa dirinya menjadi korban pelecehan seksual, termasuk cara memakai hijabnya. Pendapat yang sangat dangkal.
Lebih menyedihkan lagi ketika membaca kolom komentar yang banyak mendukung merek tersebut. Buat para pendukung, pernyataan Rabbani sangat tepat karena telah ikut mensyiarkan kebaikan pada umat.
Para warganet yang mengisi kolom komentar sebagian besar mengamini, sumber utama maraknya kasus pelecehan seksual adalah cara berpakaian perempuan yang terbuka. Mereka membenarkan, laki-laki secara naluriah akan terangsang melihat perempuan berpakaian terbuka, sehingga wajar jika pelecehan seksual akhirnya terjadi.
Pernyataan semacam ini sebetulnya bukan hanya menyudutkan perempuan, tetapi juga merendahkan laki-laki yang dianggap tidak mampu mengendalikan syahwatnya. Sebagai makhluk yang berakal, baik laki-laki maupun perempuan harus bisa menempatkan diri pada situasi seperti apa mereka menyalurkan hasratnya.
Orang yang menjadi pelaku pelecehan seksual buat saya, bukan bagian dari manusia yang berakal sehat. Mereka yang menjadi pelaku, tidak akan memandang siapa korban, termasuk cara berpakaiannya.
Berkaitan dengan pemakaian hijab yang hanya dipraktikkan oleh perempuan muslim, apakah artinya perempuan agama lain bisa dengan mudah dilecehkan? Tidak ada satu pun perempuan yang berkesadaran yang ingin menjadi korban pelecehan seksual.
Baca juga: Tanpa Disadari, Kita Jadi Pelaku Reviktimisasi Kekerasan Seksual
Cara berpakaian perempuan tidak pernah berhubungan dengan pelecehan seksual. Penjahat seksual ada dimana-mana. Di jalanan, lingkungan pekerjaan, institusi pendidikan, bahkan di rumah ibadah. Saya sudah bosan rasanya mengatakan hal yang sama secara terus-menerus tentang ini. Namun kali ini saya harus mengulangnya lagi.
Sebagai bentuk kepedulian, kita jangan pernah berhenti untuk menyuarakan keadilan bagi perempuan. Hal ini adalah ikhtiar menghapus pelecehan dan kekerasan perempuan. Perlu ada usaha untuk meningkatkan kesadaran agar meminimalisasi pihak tak bertanggung jawab yang memanfaatkan isu kekerasan sebagai komoditas iklan. Shame on you, Rabbani.
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.