March 21, 2023
Gender & Sexuality Issues Opini

Batas Antara Fantasi Seksual dan Pelecehan dalam ‘Dear David’

Batas fantasi dan objektifikasi diperdebatkan setelah ‘Dear David’ rilis. Respon si korban dalam film juga dipertanyakan.

Aurelia Gracia
  • February 17, 2023
  • 6 min read
  • 3700 Views
Batas Antara Fantasi Seksual dan Pelecehan dalam ‘Dear David’

Sebagai penikmat karya fiksi yang dipublikasikan di internet, saya excited dengan plot yang ditawarkan Dear David (2023). Film ini bercerita tentang Laras (Shenina Cinnamon), siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) yang senang menulis fiksi tentang David (Emir Mahira), atlet sepak bola di sekolah mereka. Tulisan itu disimpan Laras di sebuah blog, tak pernah dirilis ke publik.

Suatu hari, tulisan-tulisannya bocor dan dibaca satu sekolahan. Tulisan itu kemudian dipermasalahkan, lantaran mengandung fantasi seksual Laras terhadap David.

Dari alur cerita yang dibangun, respons penonton terbelah jadi dua. Ada yang menganggap Laras jadi pelaku, karena menseksualisasi David dalam tulisannya. Ada yang mengerti pesan film ini, bahwa berfantasi dan melecehkan adalah dua hal berbeda—meski garis batasnya memang tipis.

Film garapan Lucky Kuswandi itu jelas memosisikan David sebagai korban Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). Tapi, bukan karena Laras berfantasi tentang kawan sekolahnya. KBGO terjadi saat tulisan Laras dirilis oleh entah siapa. Keesokan harinya, satu sekolah membaca tulisan itu dan mulai mengobjektifikasi David, sosok yang jadi objek si penulis.

Baca Juga: 8 Serial Netflix yang Kupas Tabu dalam Masyarakat

Dari situ, semua pihak—termasuk teman-teman Laras dan penonton(?)—mulai menyalahkan penulisnya. Semuanya fokus untuk mencari tahu siapa yang menulis, termasuk kepala sekolah (Jenny Zhang). Laras takut setengah mati, khawatir jika ada yang mengungkap identitasnya. Satu sekolahan makin tak sungkan melempar kelakar dan komentar seksual tentang David, bahkan di depan orangnya langsung. Tulisan-tulisan anonim lainnya, yang menseksualisasi David, pun muncul.

Tapi, tak ada yang memikirkan David, yang kini jadi korban objektifikasi satu sekolahan. Termasuk kepala sekolah sendiri.

Statemen film ini tentang ketidaknyamanan David sebetulnya jelas. Beberapa kali kamera menyorot respons David saat objektifikasi itu ia dapatkan. Terutama saat pelecehan itu dilakukan teman-teman lelaki terdekatnya.

Pidato Laras di ujung film juga tegas membedakan fantasi perempuan dan pelecehan seksual:  “Saya adalah manusia muda yang punya gairah, dan perempuan yang sedang jatuh cinta. Emangnya itu salah? Saya rasa enggak.”

Di samping itu, banyak penonton yang menyayangkan karakter David justru berakhir pacaran dengan Laras, yang dianggap pelaku pelecehan seksual.

Ada yang perlu digarisbawahi ketika melihat kasus pelecehan seksual, yakni sudut pandang kita sebagai masyarakat terhadap korban. Ternyata, masih banyak dari kita menilai ada cara-cara ideal yang harusnya dilakukan korban pelecehan, terutama ketika berhadapan dengan pelaku. Seolah-olah untuk jadi korban, keputusan-keputusan mereka harus mengikuti norma-norma tertentu: seperti, lebih baik untuk tidak jatuh cinta pada pelaku.

Situasi ini merupakan contoh konsep the ideal victim, atau korban yang sempurna. Konsep tersebut dipopulerkan Nils Christie, kriminolog asal Norwegia, dalam karya seminalnya, Ideal Victim in From Crime Policy to Victim Policy (1986).

Christie mendefinisikan korban yang sempurna, sebagai pengategorian publik terhadap orang-orang yang layak menyandang status korban, apabila termasuk dalam kategori tertentu. Yang melatarbelakangi konsep tersebut, tak lain tak bukan, ialah konstruksi sosial.

Salah satu kategorinya adalah, korban tidak memiliki hubungan pribadi dengan pelaku. Sementara karakter David dalam film ini bertolak belakang, dengan kategori korban ideal yang dikelompokkan Christie.

Alih-alih menindaklanjuti perilaku Laras yang mencoreng namanya, David malah bernegosiasi dengan perempuan itu, agar membantunya mendekati Dilla (Caitlin North Lewis). Sebuah siasat yang pada akhirnya mendekatkan relasi David dan Laras, lalu mengubah ketertarikannya.

Padahal, kalau pun David adalah korban pelecehan seksual, keputusan untuk menjalin hubungan dengan pelaku tetaplah kehendaknya—tanpa melibatkan campur tangan publik. Pun tidak ada standar tertentu yang diperlukan, untuk memvalidasi David supaya dianggap korban.

Respons penonton yang memaksa David melakukan satu cara ideal tertentu sebagai korban pelecehan, pada dasarnya membahayakan. Sebab tak ada yang namanya perfect victim—seorang korban tak perlu mengisi semua kategori yang dianggap sebagai ideal victim, baru sah jadi korban.

Yang perlu diingat, dalam Dear David, ia bukanlah korban pelecehan seksual Laras. David merupakan korban pelecehan teman-teman di sekolahnya, seperti yang berniat menelanjangi di ruang ganti pria, maupun menseksualisasi lewat meme. Begitu pun kepala sekolah yang menatap David penuh gairah.

Baca Juga: 10 Pemahaman Keliru tentang Feminisme

Respons Penonton Akan Berbeda, Jika Subjeknya Perempuan

Menganggap absennya intervensi terhadap David yang diobjektifikasi Laras lewat tulisan fiksi, penonton menilai Dear David telah menormalisasi pelecehan seksual terhadap laki-laki.

Bahkan tak sedikit yang berkomentar tentang cerita yang berubah jika gender David dan Laras dibalik. Komentar-komentar begini masih sering muncul dari orang-orang yang belum paham bahwa relasi kuasa antara laki-laki cis-heteroseksual—sebagai gender di puncak rantai—berbeda dengan perempuan dan gender lainnya. Sejak awal, patriarki memosisikan gender ini berbeda, sehingga tak bisa semudah itu untuk menukar posisinya.

Sebagai perempuan, Laras memiliki pengalaman dan ekspresi yang berbeda untuk urusan seksualitas. Hal itu dilatarbelakangi oleh budaya patriarki di masyarakat.

Ketika mengobjektifikasi perempuan, laki-laki melakukannya untuk membuktikan kejantanan mereka. Artinya, ada wacana maskulinitas dominan yang ingin disampaikan, bahwa laki-laki dapat saling berkompetisi, ketika salah satu dari mereka terlibat dalam perilaku objektifikasi. Ini disampaikan peneliti Nicolette Anne Maria Pacho, dalam Hegemonic masculinity and male interpretations of female objectification (2006).

Maka itu, lebih mudah bagi laki-laki untuk ikut mengobjektifikasi perempuan, daripada menjelaskan dampak perilakunya pada perempuan. Demi menghindari pertanyaan atas seksualitas dan kejantanannya.

Lebih dari itu, objektifikasi yang dilakukan laki-laki juga menimbulkan insecurity pada perempuan. Pada akhirnya akan mendorong perempuan berpenampilan menarik, demi memenuhi standar laki-laki.

Sementara fantasi seksual Laras dalam Dear David tidak membuat David, seorang laki-laki, menjadi target kekerasan seksual—sebagaimana yang selama ini terjadi pada perempuan.

Kenyataannya, perempuan memiliki sejarah panjang atas kekerasan yang terjadi pada mereka, seperti disampaikan Nadya Karima Melati dalam tulisannya di Magdalene. Situasi ini dilatarbelakangi oleh fungsi reproduksi berdasarkan kondisi biologis perempuan. Mengingat perempuan memiliki vagina, rahim, dan payudara, yang kerap membuat mereka menerima berbagai kekerasan. Contohnya upah yang rendah, dilarang berkarier, hingga kekerasan seksual.

Tak lupa seksualitas perempuan yang sampai hari ini masih direpresi. Yakni dengan menganggap tabu, dan menilai perempuan bukan individu baik-baik, apabila membicarakan dan melakukannya. Bahkan, Laras yang menyalurkan hasrat seksualnya lewat karya fiksi saja masih dipermasalahkan. Namun, apabila laki-laki yang membicarakan seksualitas, mereka dianggap normal dan menunjukkan kejantanan.

Baca Juga: 5 Film Kontroversial Yang Cerita dan Aktornya Bermasalah

Maka itu, ada kesalahan berpikir apabila penonton melihat yang terjadi pada David adalah standar ganda. Ataupun yang berasumsi kondisinya berbalik 180 derajat, apabila perempuan yang “dilecehkan” dalam Dear David.

Logika tersebut dibentuk oleh kesalahpahaman terhadap feminisme, dengan anggapan perempuan telah menyamakan pengalaman dan pencapaiannya dengan laki-laki. Akibatnya, penonton menganggap ekspresi seksualitas perempuan sama dengan laki-laki.

Padahal, realitasnya kekerasan terhadap perempuan terjadi secara struktural. Beberapa di antaranya ialah seksisme, kekerasan seksual, kekerasan domestik, dan kekerasan psikologis, yang disebabkan oleh budaya patriarki.

Jadi, kalau pun subjek dalam Dear David dibalik berdasarkan gender, kondisinya tidak akan serupa sebagaimana perempuan menjadi korban kekerasan.


Editor:  Aurelia Gracia
Aurelia Gracia
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *