Batas Antara Fantasi Seksual dan Pelecehan dalam ‘Dear David’
Sebagian netizen bergunjing tentang ‘Dear David’. Menurut mereka, film ini menormalisasi KBGO terhadap laki-laki. Padahal, bukan itu yang perlu digarisbawahi.
Sebagai penikmat karya fiksi yang dipublikasikan di internet, saya excited dengan plot yang ditawarkan Dear David (2023). Film ini bercerita tentang Laras (Shenina Cinnamon), siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) yang senang menulis fiksi tentang David (Emir Mahira), gebetannya. Tulisan tersebut ditulis Laras di sebuah platform, tanpa dipublikasikan ke publik.
Suatu hari, tulisan-tulisan Laras bocor di kalangan teman-temannya. Tulisan tersebut kemudian dipermasalahkan, lantaran mengandung fantasi seksual Laras terhadap David.
Dari alur cerita yang dibangun, respons penonton terbelah jadi dua. Tak sedikit menilai, film garapan Lucky Kuswandi itu memosisikan David sebagai korban Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). Dikarenakan fantasi Laras yang memosisikan David sebagai objek seksual.
Padahal, statement bahwa karya fiksi Laras adalah konsumsi pribadi bukan sekadar dialog yang disampaikan. Sebuah adegan memperlihatkan, tulisan tersebut masih berupa draf. Dengan kata lain, Laras adalah korban KBGO dari temannya yang menyebarkan draf tersebut. Tepatnya ketika Laras gagal log out dari blog fiksinya. Akibatnya, muncul beberapa tulisan lain dari penulis anonim, semakin membuat David jadi korban objektifikasi di sekolahnya.
Dari situ, semua pihak—termasuk teman-teman Laras dan penonton—mulai menyalahkan penulisnya. Yang juga didukung oleh penelusuran kepala sekolah, merasa bertanggung jawab untuk mencari tahu siapa penulisnya. Tanpa memikirkan David yang jadi korban objektifikasi.
Sebenarnya, Dear David menyampaikan secara eksplisit, bahwa tulisan Laras tentang David murni hasrat seksual. Bahkan disampaikan Laras lewat pidatonya: “Saya adalah manusia muda yang punya gairah, dan perempuan yang sedang jatuh cinta. Emangnya itu salah? Saya rasa enggak.”
Baca Juga: 8 Serial Netflix yang Kupas Tabu dalam Masyarakat
Di samping itu, penonton yang menilai David sebagai korban KBGO juga menyayangkan, karakternya justru berakhir pacaran dengan Laras. Yang menurut mereka adalah pelaku pelecehan seksual.
Ada hal yang perlu digarisbawahi ketika melihat kasus pelecehan seksual, yakni sudut pandang terhadap korban. Masyarakat tidak dapat menentukan, bagaimana korban seharusnya bertindak. Dalam Dear David, hal itu muncul dari respons penonton, yang menganggap seharusnya David marah dan menjauhi Laras.
Situasi ini merupakan contoh konsep the ideal victim, atau korban yang sempurna. Konsep tersebut dipopulerkan Nils Christie, kriminolog asal Norwegia, dalam karya seminalnya, Ideal Victim in From Crime Policy to Victim Policy (1986).
Christie mendefinisikan korban yang sempurna, sebagai pengategorian publik terhadap orang-orang yang layak menyandang status korban, apabila termasuk dalam kategori tertentu. Yang melatarbelakangi konsep tersebut, tak lain tak bukan, ialah konstruksi sosial.
Salah satu kategorinya adalah, korban tidak memiliki hubungan pribadi dengan pelaku. Sementara karakter David dalam film ini bertolak belakang, dengan kategori korban ideal yang dikelompokkan Christie.
Alih-alih menindaklanjuti perilaku Laras yang mencoreng namanya, David malah bernegosiasi dengan perempuan itu, agar membantunya mendekati Dilla (Caitlin North Lewis). Sebuah siasat yang pada akhirnya mendekatkan relasi David dan Laras, lalu mengubah ketertarikannya.
Padahal, kalau pun David adalah korban pelecehan seksual, keputusan untuk menjalin hubungan dengan pelaku tetaplah kehendaknya—tanpa melibatkan campur tangan publik. Pun tidak ada standar tertentu yang diperlukan, untuk memvalidasi David supaya dianggap korban.
Respons penonton yang mengecualikan David dari konsep the ideal victim, pada dasarnya membahayakan—dengan catatan apabila David adalah korban pelecehan seksual. Dikarenakan mereka mengecualikan korban, yang tidak sesuai dengan klasifikasi korban yang sempurna.
Di antaranya korban tidak termasuk kelompok rentan—perempuan atau berusia senja, sedang berada di area yang dinilai membahayakan, sang pelaku bertubuh besar, dan korban yang memiliki kedekatan dengan pelaku.
Yang perlu diingat, dalam Dear David ia bukanlah korban pelecehan seksual Laras, yang menjadikannya fantasi seksual. David merupakan korban pelecehan teman-teman di sekolahnya, seperti yang berniat menelanjangi di ruang ganti pria, maupun menseksualisasi lewat meme. Begitu pun kepala sekolah yang menatap David penuh gairah.
Respons Penonton Akan Berbeda, Jika Subjeknya Perempuan
Menganggap absennya intervensi terhadap David yang diobjektifikasi Laras lewat tulisan fiksi, penonton menilai Dear David telah menormalisasi pelecehan seksual terhadap laki-laki.
Baca Juga: 10 Pemahaman Keliru tentang Feminisme
Bahkan tak sedikit yang berkomentar, apabila gendernya dibalik—perempuan yang diobjektifikasi—feminis dan social justice warrior (SJW) akan berlomba-lomba mengedukasi di media sosial. Padahal, konsepnya tidak berlaku demikian.
Sebagai perempuan, Laras memiliki pengalaman dan ekspresi yang berbeda untuk urusan seksualitas. Hal itu dilatarbelakangi oleh budaya patriarki di masyarakat.
Ketika mengobjektifikasi perempuan, laki-laki melakukannya untuk membuktikan kejantanan mereka. Artinya, ada wacana maskulinitas dominan yang ingin disampaikan, bahwa laki-laki dapat saling berkompetisi, ketika salah satu dari mereka terlibat dalam perilaku objektifikasi. Ini disampaikan peneliti Nicolette Anne Maria Pacho, dalam Hegemonic masculinity and male interpretations of female objectification (2006).
Maka itu, lebih mudah bagi laki-laki untuk ikut mengobjektifikasi perempuan, daripada menjelaskan dampak perilakunya pada perempuan. Demi menghindari pertanyaan atas seksualitas dan kejantanannya.
Lebih dari itu, objektifikasi yang dilakukan laki-laki juga menimbulkan insecurity pada perempuan. Pada akhirnya akan mendorong perempuan berpenampilan menarik, demi memenuhi standar laki-laki.
Sementara fantasi seksual Laras dalam Dear David tidak membuat David, seorang laki-laki, menjadi target kekerasan seksual—sebagaimana yang selama ini terjadi pada perempuan.
Baca Juga: 5 Film Kontroversial Yang Cerita dan Aktornya Bermasalah
Kenyataannya, perempuan memiliki sejarah panjang atas kekerasan yang terjadi pada mereka, seperti disampaikan Nadya Karima Melati dalam tulisannya di Magdalene. Situasi ini dilatarbelakangi oleh fungsi reproduksi berdasarkan kondisi biologis perempuan. Mengingat perempuan memiliki vagina, rahim, dan payudara, yang kerap membuat mereka menerima berbagai kekerasan. Contohnya upah yang rendah, dilarang berkarier, hingga kekerasan seksual.
Tak lupa seksualitas perempuan yang sampai hari ini masih direpresi. Yakni dengan menganggap tabu, dan menilai perempuan bukan individu baik-baik, apabila membicarakan dan melakukannya. Bahkan, Laras yang menyalurkan hasrat seksualnya lewat karya fiksi saja masih dipermasalahkan. Namun, apabila laki-laki yang membicarakan seksualitas, mereka dianggap normal dan menunjukkan kejantanan.
Maka itu, ada kesalahan berpikir apabila penonton melihat yang terjadi pada David adalah standar ganda. Ataupun yang berasumsi kondisinya berbalik 180 derajat, apabila perempuan yang “dilecehkan” dalam Dear David.
Logika tersebut dibentuk oleh kesalahpahaman terhadap feminisme, dengan anggapan perempuan telah menyamakan pengalaman dan pencapaiannya dengan laki-laki. Akibatnya, penonton menganggap ekspresi seksualitas perempuan sama dengan laki-laki.
Padahal, realitasnya kekerasan terhadap perempuan terjadi secara struktural. Beberapa di antaranya ialah seksisme, kekerasan seksual, kekerasan domestik, dan kekerasan psikologis, yang disebabkan oleh budaya patriarki.
Jadi, kalau pun subjek dalam Dear David dibalik berdasarkan gender, kondisinya tidak akan serupa sebagaimana perempuan menjadi korban kekerasan.