Issues Opini Politics & Society

3 Alasan Kenapa Ormas Keagamaan Jangan Kelola Tambang

Tak semua ormas keagamaan punya kapasitas untuk menambang. Jika dibiarkan, kerusakan lingkungan dan konflik yang justru semakin runyam.

Avatar
  • June 19, 2024
  • 7 min read
  • 1404 Views
3 Alasan Kenapa Ormas Keagamaan Jangan Kelola Tambang

Presiden Joko “Jokowi” Widodo tampaknya sedang bagi-bagi kue. Yang terbaru, ia menggulirkan kebijakan kontroversial yang membolehkan organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan untuk mengelola wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK). Aturan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) 25 Tahun 2024 yang diteken Presiden Joko “Jokowi” Widodo pada akhir Mei lalu.

Kebijakan ini mendapat respons cukup beragam. Kalangan masyarakat sipil seperti Publish What You Pay (PWYP), WALHI, YLBHI, AMAN, dan JATAM memberikan kritik keras. Mereka menganggap kebijakan ini berpotensi memperluas korupsi, memperparah kerusakan lingkungan, pelanggaran HAM, dan meningkatkan konflik horizontal.

 

 

Ormas-ormas keagamaan yang memiliki keterkaitan langsung atas kebijakan ini memiliki sikap berbeda satu sama lain. Nadhlatul Ulama (NU), misalnya, menyatakan akan memanfaatkan tawaran itu, meski ada beberapa kubu internal yang tampaknya tak nyaman dengan ide ini.

Ini sangat berbeda dengan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) yang menyatakan tak akan akan mengambil tawaran pemerintah. Sementara itu, Muhammadiyah belum menyatakan sikap, meski para elitnya menyarankan untuk menolak tawaran tersebut.

Di kalangan pemerintah, kebijakan ini juga mengundang pro-kontra. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, misalnya, sempat tak sepenuhnya sepakat dengan usulan Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia untuk memberikan konsesi tambang pada ormas keagamaan.

Sementara itu, pernyataan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar yang menyebut “Daripada ormasnya setiap hari nyariin proposal, mengajukan proposal, kan lebih baik ormas mengelola dengan sayap bisnis yang rapi dan tetap profesional”, tidak didukung argumentasi yang kuat dan cenderung memberikan kesan negatif tentang perilaku ormas.

Aturan ini perlu disikapi dengan bijak, terutama menyangkut kapasitas ormas dalam mengelola pertambangan. Tujuannya agar tak membuka peluang korupsi di sektor yang telah mendapat persepsi miring dari masyarakat, hingga nantinya malah melukai nama baik ormas keagamaan.

Baca juga: Kisah Mereka yang Mengais Rupiah dari Timah

Kapasitas Organisasi Keagamaan

Penawaran konsensi tambang memunculkan pertanyaan kritis, apakah ormas keagamaan memiliki kapasitas yang cukup untuk berbisnis pertambangan? Untuk menjawab pertanyaan itu, penting untuk kita mengidentifikasi kapasitas yang wajib dimiliki oleh pebisnis tambang.

Setidaknya ada tiga variabel penting yang wajib dimiliki oleh pebisnis tambang.

Pertama, modal finansial. Aktivitas penambangan merupakan kegiatan yang padat modal. Artinya mustahil bagi suatu entitas untuk bisa mengelola tambang secara profesional tanpa kekuatan finansial yang mencukupi, kecuali hanya menjadi agen alias perantara untuk kelompok lain menguasai suatu konsesi pertambangan.

Salah satu temuan dari riset kami terdahulu, yang telah diadaptasi dan diterbitkan oleh The Conversation Indonesia, menemukan adanya praktik shadow beneficial ownership melalui agen dalam penambangan nikel di Sulawesi Tengah.

Shadow beneficial ownership mengacu pada situasi ketika pemilik sebenarnya dari perusahaan pertambangan bersembunyi di balik lapisan badan hukum. Akibatnya, kita sulit menentukan siapa yang pada akhirnya mengendalikan atau mengambil keuntungan dari perusahaan-perusahaan tersebut. Kurangnya transparansi dapat memicu praktik korupsi, aliran keuangan gelap, dan konflik kepentingan, terutama jika melibatkan orang-orang yang mempunyai hubungan politik.

Dalam temuan kami, para pengusaha, pejabat pemerintahan, dan politisi acap menjadi “pemilik bayangan” atas suatu izin tambang karena memiliki kekuatan finansial. Praktik mereka kemudian dimanfaatkan para agen yang tidak memiliki modal untuk menambang tetapi mengetahui informasi lapangan dan memiliki jaringan dengan otoritas lokal. Peran agen ini dijalankan oleh para mantan aktivis, oknum pengacara, elit desa, anggota organisasi sosial/keagamaan, dan tokoh masyarakat.

Nah, pelibatan organisasi keagamaan dalam mengelola wilayah pertambangan jangan sampai menjerumuskan ormas keagamaan sebagai agen para pemilik modal. Ini berisiko mengecilkan wibawa organisasi dan menggerus kepercayaan masyarakat.

Kedua, keahlian profesional. Sektor pertambangan membutuhkan keahlian bidang geologi, teknik pertambangan, fisika, lingkungan, biologi, kimia, dan lainnya. Keterlibatan para ahli meningkatkan peluang kelancaran penambangan dan eksplorasi, sekaligus mengurangi risiko kecelakaan bagi pekerja pertambangan dan bencana bagi masyarakat sekitar.

Tentunya tak sulit bagi ormas keagamaan besar seperti NU, Muhammadiyah, dan PGI untuk menemukan anggotanya yang ahli di sektor pertambangan. Namun, perlu dipastikan betul apakah kader-kader tersebut mau bekerja untuk ormas dengan mengesampingkan kepentingan individu mereka.

Ketiga, keunggulan teknologi. Penambangan membutuhkan teknologi yang tak hanya penting untuk meningkatkan efisiensi dan memberikan nilai tambah, tapi juga meredam risiko bagi pekerja dan lingkungan.

Perlu menjadi perhatian, berdasarkan analisis Katadata, tingkat korban kecelakaan kerja di sektor pertambangan cenderung meningkat selama sembilan tahun terakhir (2015-2023). Bahkan, angkanya sempat meloncat hingga tiga kali lipat dalam setahun dari 104 kasus (11 di antaranya membawa korban jiwa) pada 2021 menjadi 378 (42 dengan korban jiwa) pada 2022.

Kecelakaan kerja di perusahaan pertambangan salah satunya dipicu oleh penggunaan teknologi yang usang. Selain itu, di wilayah-wilayah pertambangan, keterbatasan dan ketertinggalan teknologi menjadi pemicu pencemaran air dan udara yang berakibat pada penurunan kualitas kesehatan masyarakat sekitar.

Namun, menghadirkan teknologi membutuhkan modal yang tidak sedikit. Karena itu, pernyataan Luhut Binsar Panjaitan soal “pertambangan butuh modal tak kecil” dalam wawancara yang dilakukan Majalah Tempo ada benarnya. Penting bagi ormas keagamaan untuk memahami kenyataan ini.

Baca juga: Membela Berujung Penjara: 5 Aktivis Lingkungan yang Dikriminalisasi Negara

Potensi Korupsi

Selain perkara kemampuan, pemberian izin tambang ke ormas keagamaan berpotensi memperpanjang state capture corruption dalam pengelolaan pertambangan. Secara sederhana, state capture corruption adalah praktik korupsi melalui peraturan perundang-undangan. Dalam praktik ini, kelompok tertentu menguasai institusi negara (pembuat peraturan). Mereka kemudian memengaruhi pembuatan peraturan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.

Apalagi, bermunculan pendapat, bagi-bagi jatah tambang ke ormas keagamaan ini punya motif balas budi usai Pemilihan Umum 2024.

Jika anggapan ini benar, praktik state capture corruption berpotensi menimbulkan kerugian besar bagi negara dan mengorbankan masyarakat luas.

Risiko tersebut bukan tanpa bukti. Ada beberapa contoh kejadian di Indonesia ketika kebijakan pertambangan yang kurang tepat memicu kerugian negara dan lingkungan.

Pertama, Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 26 Tahun 2018, yang memberi celah kepada perusahaan yang sudah pernah dicabut oleh pemerintah untuk dihidupkan kembali melalui pendapat hukum (legal opinion) dari ahli hukum atau pengacara. Menariknya, penerbitan legal opinion ini tidak gratis. Hasil investigasi Majalah Tempo, menemukan adanya praktik suap miliaran rupiah dalam proses penerbitan pendapat hukum tersebut.

Peraturan ini memang sudah dicabut. Namun, efeknya memunculkan aktivitas penambangan yang tidak sesuai dengan izin dan peta lokasi izin. Aktivitas bermasalah ini berpotensi menghilangkan tanggung jawab sosial dan lingkungan.

Kedua, kasus korupsi yang melibatkan mantan pejabat Kementerian ESDM, Ridwan Djamaluddin di Blok Mandiodo, Sulawesi Tenggara. Kasus ini berawal dari keputusan rapat terbatas penyederhanaan aspek penilaian Rencana Kerja Anggaan dan Biaya (RKAB) perusahaan pertambangan. Penyederhanaan penilaian termaktub dalam Keputusan Menteri ESDM No. 1806 K/30/MEM/2018.

Kebijakan penyederahanaan RKAB ini mendorong terjadinya praktik jual beli dokumen dan aktivitas penambangan ilegal di Blok Mandiodo. Kerugian negara akibat praktik lancung tersebut ditaksir mencapai Rp5,3 triliun.

Aktivitas pertambangan ilegal ini juga menyebabkan kerusakan lingkungan dan infrastruktur, hilangnya hutan, serta memicu bencana banjir yang membawa kerugian bagi masyarakat sekitar.

Baca juga: Dari Wibu4Planet, Kita Belajar Anak Wibu Ternyata Peduli Bumi

4 Langkah Perbaikan

Aktivitas pertambangan yang buruk telah memicu kerusakan lingkungan, yang membutuhkan biaya yang mahal dan waktu yang panjang untuk memulihkannya. Berangkat dari itu, pemerintah perlu membuat kebijakan untuk menghentikan dan memulihkan kerusakan, bukan sebaliknya.

Setidaknya ada empat langkah perbaikan yang perlu dilakukan pemerintah.

Pertama, berangkat dari itu, pemerintah sepatutnya mengkaji ulang—bahkan mencabut—aturan yang membolehkan organisasi keagamaan untuk memiliki konsensi tambang penting untuk dievaluasi. Pencabutan ini dapat menghindarkan organisasi keagamaan tersangkut kasus korupsi. Independensi ormas keagamaan dalam pengawasan penyelenggaraan negara juga dapat terjaga.

Kedua, mendorong keterpaduan kebijakan dan sinergitas kelembagaan. Kebijakan terpadu sangat penting untuk dipikirkan mengingat seringkali peraturan yang dibuat pemerintah saling tumpang tindih, misalnya antara Kementerian Investasi dan Kementerian ESDM. Selain itu, lembaga negara juga perlu bekerja sama untuk mendorong aktivitas pertambangan yang baik. Upaya suatu lembaga untuk menciptakan kedaaan yang lebih baik harus mendapat dukungan dari lembaga lainnya.

Ketiga, meningkatkan partisipasi publik dalam proses pembuatan kebijakan, pengambilan keputusan, dan pengawasan proses pertambangan. Keempat, menerapkan transparansi dalam tata kelola pertambangan. Langkah keterbukaan yang dilakukan Kementrian ESDM untuk menampikan peta aktivitas pertambangan melalui Minerba One Map Indonesia dapat menjadi mata publik untuk mengawasi aktivitas pertambagan, perlu dipertahankan dan ditingkatkan

La Husen Zuada, Lecturer in Government Science, Universitas Tadulako.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Ilustrasi Karina Tungari



#waveforequality


Avatar
About Author

La Husen Zuada

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *