Issues Politics & Society

Pembantaian Tepung: Bukti Kelaparan Massal jadi Alat Genosida Israel pada Palestina

Sejak 7 Oktober 2023, Israel secara sistematis telah menggunakan kelaparan massal sebagai cara mereka melakukan genosida terhadap Palestina

Avatar
  • March 7, 2024
  • 9 min read
  • 714 Views
Pembantaian Tepung: Bukti Kelaparan Massal jadi Alat Genosida Israel pada Palestina

Sedikitnya 112 warga Palestina dibunuh dan lebih dari 750 lainnya terluka setelah tentara Israel menembak orang-orang yang sedang menunggu bantuan makanan di sebelah barat daya Kota Gaza. Dalam insiden yang lalu dikenal dengan ‘Pembantaian Tepung’ atau flour massacre, tentara Israel menembaki kerumunan warga Palestina yang tengah menunggu truk-truk bantuan pengangkut bahan makanan di persimpangan Al Nabulsi, selatan Gaza. 

Penjelasan mengenai apa yang menyebabkan tentara Israel melakukan penembakan berbeda-beda. Israel mengeklaim, banyak warga Palestina yang tewas karena terdesak untuk mendapatkan makanan, bukan karena ditembak. 

 

 

Namun, dari penjelasan ribuan warga Palestina dan jurnalis yang berada di sana, pasukan Israel memang secara sengaja menembak membabi buta ke arah kerumunan yang menewaskan puluhan orang. Penembakan ini juga menyebabkan lebih banyak orang tewas karena saling terhimpit dan berdesak-desakan. 

Mohammed al-Simry, 34, ayah dari empat anak, salah satu penyintas pembataian mengatakan, tentara Israel menembaki kerumunan warga sipil yang kelaparan dan berteriak-teriak meminta makanan selama satu setengah jam. 

“Darahnya ada dimana-mana,” kenang dia. 

Mohammed menggambarkan bagaimana ribuan orang mencoba melarikan diri dari tempat kejadian, wajah dan pakaian mereka berlumuran darah. Banyak yang membawa mayat teman-teman atau keluarga mereka, tak terkecuali Mohammed yang sepupunya, Amer sempat terpisah dalam insiden itu. 

“Kami telah membicarakan tentang apa yang kami butuhkan, bagaimana kami akan memberikannya kepada anak-anak kami yang kelaparan. Sedihnya, hal itu tidak pernah terjadi. Saya tidak hanya meninggalkan konvoi dalam keadaan lapar, saya juga pergi tanpa anggota keluarga tercinta yang hanya ingin sesuap roti,” ungkapnya. 

Baca Juga:  Elitisida, Kematian Refaat Alareer, dan Pembunuhan Orang Penting di Palestina 

Pembatasan Bantuan Makanan yang Disengaja 

Dalam pernyataan kolektif para pakar Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), (5/3), mereka mengutuk keras kekerasan yang dilakukan oleh tentara Israel. Mereka menekankan bagaimana pembantaian ini terjadi di tengah kondisi kelaparan hebat dan kehancuran sistem produksi pangan lokal di wilayah kantong Palestina, sehingga besarnya kejahatan Israel tidak dapat diukur. 

“Israel sengaja membuat kelaparan rakyat Palestina di Gaza sejak 8 Oktober. Sekarang mereka menargetkan warga sipil yang mencari bantuan kemanusiaan dan konvoi kemanusiaan,” kata para pakar PBB. 

Mereka mencatat, pembantaian (29/2) mengikuti pola serangan Israel terhadap warga sipil Palestina yang mencari bantuan. Pola ini tercatat telah terjadi dengan lebih dari 14 insiden penembakan, penembakan dan kelompok sasaran yang tercatat berkumpul untuk menerima pasokan yang sangat dibutuhkan dari truk atau airdrop antara pertengahan Januari dan akhir Februari 2024. 

Pada (26/1), Mahkamah Internasional mengakui kemungkinan Israel melakukan genosida dan memerintahkan Israel untuk mengizinkan pengiriman layanan dasar dan bantuan kemanusiaan yang sangat dibutuhkan kepada warga Palestina di Jalur Gaza. Pada bulan Januari, sebelum keputusan Pengadilan, rata-rata 147 truk memasuki Gaza setiap hari. Namun, justru setelah keputusan tersebut dikeluarkan, hanya 57 truk yang memasuki Gaza antara 9 hingga 21 Februari 2024. 

Human Rights Watch dalam laporannya akhir Desember lalu sudah mengungkapkan bagaimana Israel memang sengaja menggunakan kelaparan massal sebagai alat genosida.  Sejak pejuang pimpinan Hamas menyerang Israel pada 7 Oktober 2023, pejabat tinggi Israel, termasuk Menteri Pertahanan Yoav Gallant, Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir, dan Menteri Energi Israel Katz telah membuat pernyataan publik yang menyatakan tujuan mereka untuk merampas hak warga sipil di Gaza dari hak-hak dasar mereka untuk bertahan hidup seperti makanan, air dan bahan bakar. 

Pejabat Israel lainnya secara terbuka menyatakan, bantuan kemanusiaan ke Gaza akan dikondisikan pada pembebasan sandera yang ditahan oleh Hamas atau kehancuran Hamas. Dengan memegang mandat para pejabat, tentara Israel pun sengaja menghalangi pengiriman air, makanan, obat-obatan, dan bahan bakar kepada warga Palestina yang kini statusnya jadi pengungsi di negara sendiri. 

Di Gaza selatan, di mana mereka mewawancarai warga Palestina, kelangkaan air minum telah terjadi. Bahan-bahan makanan habis hingga membuat toko-toko tutup dan harga makanan tersisa seperti diburu dengan harga selangit.  Tak heran menurut Program Pangan Dunia PBB (WFP) 9 dari 10 rumah tangga di Gaza utara dan 2 dari 3 rumah tangga di Gaza selatan telah menghabiskan satu hari semalam penuh tanpa makanan. Di mana secara spesifik setidaknya 500.000 orang menghadapi kelaparan, sementara hampir seluruh penduduk Gaza, 2,3 juta orang, mengalami kekurangan pangan akut, menurut angka dari Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB. 

Dengan kondisi kelaparan ekstrem ini, setidaknya sudah ada 16 anak-anak yang terbunuh. Yazan al-Kafarna, adalah salah satunya. Ia baru saja meninggal Senin lalu (4/3) karena kelaparan dan kekurangan gizi. 

Dikutip dari Middle East Eye, Yazan menderita Cerebral Palsy sejak lahir, sehingga ia harus mengikuti diet khusus dan mengonsumsi suplemen. Nahasnya, kebutuhan ini tidak bisa keluarganya peroleh pasca-tragedi 7 Oktober 2023. Yazan pun perlahan kehilangan berat badan hingga akhirnya meninggal dengan tulang dan kulit yang hanya tersisa di tubuhnya. 

Selain anak-anak, ibu hamil pun jadi yang paling terdampak karena kelaparan massal ini. Melansir dari The Guardian, karena kekurangan nutrisi mereka jadi rentan terhadap penyakit dan punya resiko yang lebih tinggi saat melahirkan. Dalam hal ini Organisasi nirlaba Project Hopes memberikan pernyataan bahwa 21 persen ibu hamil yang dirawat di klinik Deir al Balah dalam tiga minggu hingga 24 Februari menderita kekurangan gizi sehingga rentan mengidap penyakit. 

Baca Juga: Magdalene Primer: Yang Perlu Diketahui tentang Isu Palestina-Israel

Penghancuran Ekosistem Pangan Palestina 

Kelaparan massal yang dijadikan alat genosida oleh Israel juga tak cuma sebatas menghalangi bantuan masuk. Mereka secara sistemik menghancurkan ekosistem pangan warga Palestina. Selama operasi darat di Gaza utara, tentara Israel telah menghancurkan produk pertanian, sehingga memperburuk kekurangan pangan yang memiliki dampak jangka panjang. 

Sejak pertengahan November, setelah tentara Israel menguasai wilayah di timur laut Gaza, citra satelit yang dilampirkan dalam laporan Human Rights Watch menunjukkan bahwa kebun buah-buahan, ladang, dan rumah kaca telah dihancurkan secara sistematis, meninggalkan pasir dan tanah. 

Ladang dan kebun di utara Beit Hanoun, misalnya, pertama kali dirusak oleh buldoser untuk membuat jalan baru bagi kendaraan militer Israel melakukan invasi darat yang katanya dilakukan untuk mengeliminasi basis militer Hamas. 

Selain itu, Action Against Hunger menemukan dari 113 petani di bagian selatan Gaza, 60 persen melaporkan bahwa aset dan/atau tanaman mereka sengaja rusak, 42 persen melaporkan bahwa mereka tidak memiliki akses terhadap air untuk mengairi pertanian mereka. Lebih lanjut, sebanyak 43 persen melaporkan bahwa mereka tidak memiliki akses terhadap air untuk mengairi pertanian mereka, dan 43 persen melaporkan bahwa mereka tidak dapat memanen hasil panen mereka. 

Penghancuran sistemik ini pun semakin memperlihatkan intensi genosida Israel lantaran petani di daerah ini menanam tanaman seperti jeruk, kentang, buah naga, dan pir berduri yang berkontribusi besar terhadap penghidupan warga Palestina di Gaza. Tak cuma itu, dalam laporan 28 November 2023, Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (OCHA) mengatakan ternak di wilayah utara Gaza menghadapi kelaparan karena kekurangan pakan ternak dan air. 

Tanaman pun semakin terbengkalai dan rusak karena kurangnya bahan bakar untuk memompa air irigasi. Biro Pusat Statistik lalu melaporkan permasalahan ini telah membuat Palestina Gaza menderita kerugian harian sebesar US$1,6 juta dalam produksi pertanian yang mencakup usaha budidaya tanaman, budidaya perairan, peternakan, termasuk lahan tempat pemrosesan hasil. 

Baca Juga:    Epistemisida: Saat Israel Bakar Buku, Bom Sekolah, dan Hapus Sejarah Palestina 

Kejahatan yang Berulang 

Bukan sekali ini saja dunia dipertontonkan secara jelas kelaparan massal yang digunakan sebagai genosida sekelompok orang. Dalam sejarah peradaban manusia, kelaparan massal sudah lama jadi rumusan sukses para penjajah. Dikutip dari kanal resmi studi holokaus dan genosida Universitas Minnesota, kelaparan massal sebagai alat genosida bisa kita lihat lewat genosida Holodomor. 

Holodomor sendiri menurut Profesor sejarah Andrea Graziosi, Universitas Naples sebagai genosida pertama yang direncanakan secara metodis dan dilakukan dengan merampas makanan dari orang-orang yang merupakan produsen makanan (untuk bertahan hidup). Holodomor yang berarti “kematian karena kelaparan” terjadi pada tahun 1932 dan 1933 dan diprakarsai oleh Joseph Stalin. Stalin merasa terancam oleh menguatnya otonomi kebudayaan di Ukraina, sehingga mengambil tindakan untuk menghancurkan kaum tani Ukraina serta elit intelektual dan budaya Ukraina untuk mencegah mereka mengupayakan kemerdekaan bagi Ukraina. 

Untuk mencegah “kontra revolusi nasional Ukraina”, Stalin memulai represi politik skala besar melalui intimidasi, penangkapan, dan pemenjaraan ribuan intelektual Ukraina. Pada saat yang sama, Stalin juga mengeluarkan Rencana Lima Tahun Pertama, yang mencakup kolektivisasi pertanian. Kolektivisasi memberi negara Soviet kendali langsung atas sumber daya pertanian Ukraina yang kaya dan memungkinkan negara mengendalikan pasokan biji-bijian untuk ekspor. 

Mayoritas penduduk pedesaan Ukraina, yang merupakan petani mandiri skala kecil atau subsisten terpaksa menyerahkan tanah, ternak, dan alat pertanian mereka, serta bekerja di pertanian kolektif milik pemerintah (kolhosps) sebagai buruh. Bagi mereka yang menentang kolektivisasi akan diberi label “kulak” dan dinyatakan sebagai musuh negara. Ketika dilabel sudah diberikan, polisi rahasia dan milisi secara brutal merampas tanah para “kulak” beserta rumah dan barang-barang pribadi mereka, secara sistematis mendeportasi mereka ke wilayah-wilayah jauh di Uni Soviet atau mengeksekusi mereka. Perampasan hak para petani berdampak pada pasokan pangan masyarakat Ukraina. Kelaparan massal tak terhindarkan hingga menewaskan sekitar 3,9 juta orang. 

Selain Soviet, kelaparan massal sebagai alat genosida juga dilakukan Amerika kepada penduduk pribumi. Dilansir dari Vox, pada pertengahan tahun 1800-an, kepercayaan budaya yang dikenal sebagai “takdir yang nyata” menyatakan bahwa pemukim kulit putih adalah pemilik sah seluruh benua Amerika Utara. Untuk merealisasikan kepercayaan ini, Angkatan Darat AS melakukan taktik bumi hangus terhadap penduduk asli di Great Plains. Salah satu taktiknya adalah pembantaian populasi bison. 

Doug Kiel, peneliti dari Universitas Pennsylvania menggambarkan pembantaian bison sebagai genosida. Jika bison punah, suku Indian tidak akan punya pilihan selain menyerah pemerintahan kulit putih. Hal ini karena selama ratusan tahun, suku Indian sangat bergantung pada bison untuk kelangsungan hidup dan kesejahteraan mereka. Mereka menggunakan setiap bagian dari bison untuk makanan, pakaian, tempat tinggal, peralatan, perhiasan, dan dalam upacara adat. 

Para komandan militer AS di Barat, yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Phillip Sheridan dan William Tecumseh Sherman mengorganisir ekspedisi pembantaian bison. Para komandan militer diberikan izin penuh untuk membunuh kerbau sebanyak mungkin untuk melakukan bagian mereka dalam menguasai suku Indian. Tokoh-tokoh pembesar dari seluruh dunia diajak menghadiri perburuan kerbau kelas dunia bersama tentara AS. Selain itu, rutinitas latihan menembak sasaran para tentara diubah menjadi latihan membunuh bison. 

Pembantaian ini pun mengakibatkan populasi bison liar tersisa kurang dari 400 bison pada tahun 1893. Suku Indian pun melemah. Mereka terkurung dalam reservasi dan menderita kelaparan massal yang membuat pemukim kulit putih mudah menguasai wilayah dan membantai mereka. 


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *