Health Lifestyle

Luka Batin Masa Kecil, Pandemi, dan Penyembuhan Holistik Mandiri

Luka batin masa kecil dan stres karena pandemi mendorong penulis mencoba penyembuhan holistik mandiri.

Avatar
  • November 13, 2020
  • 5 min read
  • 631 Views
Luka Batin Masa Kecil, Pandemi, dan Penyembuhan Holistik Mandiri

Saya sering sekali mengganti fungsi, memutar arah, dan mencoba berbagai kombinasi tata letak ruang di rumah saya. Melakukan hal tersebut membantu saya mengurai pikiran dan perasaan saya yang sedang kalut, menjadi sebuah metode pelarian bagi saya untuk memperbaiki keadaan. Saya merasa mendapatkan kembali kontrol atas sebuah keadaan, menggantikan kontrol yang tidak bisa saya aplikasikan pada pikiran dan perasaan saya.

Belakangan ini, saya mulai lelah melakukan hal tersebut dan memutuskan untuk “settling down”, menerima bahwa tata letak rumah kami ini adalah versi yang terbaik dari semua pilihan tata letak yang pernah saya kerjakan. Saya tidak ingin lagi melakukan eksperimen yang walaupun menyegarkan, juga sebenarnya melelahkan.

 

 

Namun, tiba-tiba dua minggu lalu, dua kejadian sederhana memorakpondakan rencana saya tersebut. Ketika hujan deras, plafon kamar tidur saya amblas untuk kedua kalinya karena saluran air di atap tertutup dedaunan dan mengakibatkan air menggenang dan turun ke plafon. Akibatnya, pohon kesayangan saya, pohon sumber daun yang menyumbat saluran air tersebut harus dipotong habis, karena hanya itu solusi paling mudah dan cepat yang bisa kami lakukan.

Mengganti atap menjadi dak beton akan membutuhkan biaya yang besar. Ditambah lagi pengerjaannya akan mengganggu ketenteraman dan kenyamanan hidup kami, apalagi seluruh kegiatan berpusat di rumah selama pandemi yang tidak jelas ujungnya ini. Mengganti atap terlalu menantang dilakukan dalam waktu dekat, sedangkan musim hujan baru saja tiba dan intensitas hujannya tinggi sekali.

Rencana saya untuk settling down tiba-tiba berubah drastis, dan selama beberapa hari saya dan suami harus tidur beramai-ramai di kamar anak-anak seperti dalam keadaan darurat.

Baca juga: 3 Cara Hadapi Ketidakpastian di Tengah Pandemi

Plafon kamar yang ambles dan pohon yang mau tidak mau harus dipangkas habis adalah dua kejadian sangat sederhana yang mungkin bagi banyak orang tidak berarti apa-apa. Tapi ternyata bagi saya, itu berdampak besar karena telah mematahkan hati dan semangat saya dengan keras.

Tiba-tiba saya merasa kehilangan motivasi dan semangat untuk melakukan berbagai hal, saya tidak ingin bangun dari tempat tidur dan memulai hari, seperti ada beban yang menekan dada saya. Perasaan saya kalut, kepala saya menolak untuk bekerja, saya stres berat dan mulai diare. 

Hingga suatu sore, saya membaca tulisan Julia Suryakusuma di Magdalene mengenai konflik yang ia alami dengan ibunya. Bagian tulisannya yang menohok hati saya adalah

 “..secara intelektual dan spiritual saya menerimanya sepenuhnya. Jadi saya terkejut ketika saya jatuh sakit: Kadar kolesterol saya melonjak hingga 302, dan sakit maag saya kambuh dengan parah..”

“…Jelas sakit yang saya alami itu psikosomatik. Tampaknya pengkhianatan itu memengaruhi saya di tingkat bawah sadar…”

Mungkin hal tersebut juga terjadi pada. Mungkin kejadian tersebut memicu ingatan alam bawah sadar saya soal ketidakberdayaan dan keputusasaan yang pernah saya rasakan ketika masih kecil, ketika saya menyaksikan konflik-konflik yang dialami kedua orang tua saya, dan meninggalkan luka pada batin saya. Ditambah selama pandemi, saya sering memendam emosi negatif yang muncul hanya agar saya dapat tetap “berfungsi” dalam keseharian.

Saya tidak menyangka dalam keadaan seperti ini, dua hal sederhana saja mampu memantik stres, menyakiti jiwa saya, mengakibatkan saya mengalami gangguan psikosomatik, dan menjadikan produktivitas saya nol besar. Luka batin masa kecil saya, stres selama pandemi, dan dua kejadian sederhana ini saling berkaitan satu dengan lainnya mengakibatkan sebuah kekacauan besar dalam diri saya.

Baca juga: Meditasi Bantu Kesehatan Mental, Tapi Perhatikan 6 Hal Ini Sebelum Mulai

Berusaha memulihkan jiwa sendiri

Saya kemudian memutuskan untuk mengikuti sebuah kelas daring mengenai penyembuhan mandiri (self healing) yang menggunakan teknik akupresur. Sudah cukup lama saya mengetahui kelas ini, akan tetapi jadwal kelas ini tidak pernah cocok dengan waktu lowong saya, dan kadang dengan status keuangan saya.

Terapi ini hanya membutuhkan waktu 15-20 menit, dilakukan dengan tiga cara: 1) Memilih masalah; 2) Menekan tiga titik akupresur pada wajah; dan 3) Memperhatikan serangkaian kalimat dalam prosedur terapi.

Yang paling menarik dari kelas itu adalah metode yang diajarkan tidak berfungsi sebagai sugesti, afirmasi, atau pemrograman pikiran. Bahkan, peserta boleh tidak percaya dan meragukan metode ini namun tetap dapat menikmati manfaatnya. Kita tidak perlu mengungkapkan masalah di depan kelas, mengingat memori yang menyakitkan, atau menggali pangkal penyebab masalah atau berpikir keras untuk menganalisis masalah sebagaimana banyak dilakukan dalam metode terapi lainnya.

Karena ini adalah metode penyembuhan mandiri, maka memang ilmunya dipakai hanya untuk memulihkan diri sendiri, tidak untuk dibagikan kepada orang lain, dan hanya pelatih tersertifikasi saja yang berwenang untuk mengajarkan tekniknya.

Peserta tidak didorong untuk merekomendasikan apalagi memaksa orang lain untuk mengikuti kelas ini. Padahal selama kelas berlangsung, saya berpikir untuk melakukannya kepada suami atau orang tua saya. Menurut pembicara di kelas itu, alasannya adalah hanya dengan inisiatif dan kesadaran seseoranglah ia dapat benar-benar memulihkan jiwanya.

Meski banyak pilihan cara untuk memulihkan jiwa, saya pikir metode penyembuhan holistik mandiri ini adalah pilihan yang terbaik bagi saya. Alasannya, saya menginginkan proses pemulihan jiwa dengan jalur non-medis.

Baca juga: Satu Resep Bahagia: Kenali Diri Sendiri

Tidak ada seorang pun dapat membantu orang lain menyadari dan menyelesaikan masalahnya kecuali ia benar-benar ingin untuk menyelesaikan masalahnya sendiri, terlebih jika hal tersebut berkaitan dengan jiwa yang sakit. Profesional biasanya hanya memfasilitasi dengan teknik pemulihan, tetapi hasil yang didapat kelak kembali bergantung pada individu yang melakukan terapi.

Baru kali ini saya merasa setuju dengan kata “investasi” yang disematkan pada biaya suatu kegiatan setelah mengikuti kelas penyembuhan holistik mandiri tersebut. Pasalnya, teknik yang diajarkan bisa saya pakai seumur hidup dan dapat diatur tujuan pemakaiannya secara sangat beragam.

Selain itu, teknik dalam kelas tersebut mengingatkan saya pada sebuah ungkapan dalam buku karangan Stephen R Covey, 7 Habit of Highly Effective People, yang pernah saya baca:

“Give a man/woman a fish and you feed him/her for a day. Teach a man/woman to fish and you feed him/her for a lifetime.”

Terlepas dari metode terapi apa pun yang diambil seseorang untuk memulihkan jiwanya, semua dikembalikan kepada sang individu. Dalam sesi konseling dengan profesional pun, mereka biasanya hanya memfasilitasi dengan teknik pemulihan. Perkara hasil yang didapat kelak kembali bergantung pada individu yang melakukan imbauan yang didapatkannya dari terapi.

Pasalnya, akan sia-sia bila seseorang telah menyerap ilmu dari kelas pemulihan mandiri ataupun konseling dengan psikolog atau psikiater apabila belum ada keinginan kuat dan tindakan nyata untuk beranjak dari posisi rentannya saat itu.



#waveforequality


Avatar
About Author

Bini Fitriani

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *