#MerdekainThisEconomy: Mahasiswa Kelas Menengah Terimpit Privilese dan Beban Finansial
Prolog
Menjadi bagian dari kelas menengah itu seperti main game survival mode tanpa jaring pengaman. Dari luar tampak aman: bisa kuliah, makan cukup, nongkrong sesekali. Tapi kenyataannya, kami berdiri di atas keseimbangan yang rapuh.
Aku lahir dari keluarga yang tidak tergolong miskin, tapi juga jauh dari sejahtera. Di atas kertas, kami tidak layak mendapat bantuan. Tapi di kehidupan nyata, setiap beban finansial terasa menguras napas. Terutama saat masuk masa kuliah—momen ketika untuk pertama kalinya aku benar-benar diuji secara ekonomi.
Berikut ini catatan-catatan kecil dari perjalanan itu.
Baca Juga: 6 Pelanggaran HAM Berat yang Dihilangkan dari Proyek Penulisan Ulang Sejarah Nasional
Catatan 01: UKT di Semester Sembilan
Januari 2024
Saat tahu aku harus menambah satu semester untuk menyelesaikan skripsi, kepalaku terasa pening. Yang langsung terbayang adalah nominal uang kuliah Tunggal (UKT): Rp7,5 juta. Jumlah besar yang tak pernah terasa seberat ini.
Aku mencoba mencari keringanan. Sayangnya, kebijakan kampus hanya berlaku untuk semester genap. Dan semester sembilan? Tentu tak masuk hitungan.
Akhirnya, aku kembali mengandalkan orang tua. Padahal sejak pandemi, usaha Bapak terpukul. Kami mulai hidup lebih hemat. “Kurangi jajan yang enggak penting,” begitu katanya hampir tiap kali ada kesempatan.
Mobil keluarga bahkan dijual demi menambal kebutuhan. Aku ingat, terakhir kali mobil itu dipakai untuk menjemputku sepulang dari program pengabdian masyarakat di Tasikmalaya. Siang harinya, mobil itu sudah tak ada. Aku sempat terperangah, baru benar-benar sadar betapa sulitnya keadaan kami saat itu.
Di tengah itu semua, aku kerap dihantui rasa bersalah. “Kalau kamu dapat KIP (Kartu Indonesia Pintar), beban Bapak enggak seberat ini,” katanya suatu hari, mengacu pada santunan pemerintah untuk mahasiswa kurang mampu dengan prestasi akademik baik. Dan sejak itu, suara itu terus mengiang di kepala.
Adikku beberapa kali melontarkan kalimat menyebalkan yang menuduhku jadi biang masalah karena biaya kuliah yang mahal. Aku kesal, tapi lidahku terlalu kelu untuk melawan. Mungkin dia benar.
Baca Juga: Proyek Revisi Sejarah Indonesia: Percuma Jika Masih Ditulis Penguasa
Catatan 02: Skripsi dan Perangkat Seadanya
Agustus 2024
Menyusun skripsi bukan cuma soal ide dan teori, tapi juga logistik. Aku harus bolak-balik ke lembaga pemasyarakatan (lapas) anak, menyambangi keluarga mereka satu per satu, lalu tenggelam dalam wawancara panjang bersama belasan informan. Tentunya aku memerlukan biaya transportasi yang lebih.
Proses ini kutempuh dengan alat tempur (baca: gawai) seadanya. Laptopku hanya bisa nyala kalau terus dicolok. Ketika harus membuka puluhan tab dan dokumen, dia ngambek: lambat, macet, bahkan hang. Banyak waktu terbuang, padahal tenggat skripsi makin mendekat.
Lebih repot lagi dengan ponselku. Memori yang sempit membuat setiap file rekaman wawancara harus segera dihapus usai ditranskrip. Ini skripsi, bukan reality show, tapi harus dijalani penuh drama.
Dan aku tahu, bukan hanya aku yang mengalami hal-hal itu. Banyak teman lain yang berjuang dengan perangkat nyaris pensiun. Tapi suara kami nyaris tak terdengar, karena kami dianggap “baik-baik saja” sebagai kelas menengah.
Status kami yang “tanggung” membuat bantuan menjauh, tapi tekanan tetap datang dari segala sisi. Saat kesenjangan ini dibungkus kata “privilese,” rasanya seperti diminta bersyukur sambil dituntut bertahan sendirian.
Baca Juga: 27 Tahun Reformasi, Sumarsih Masih Tegak Berdiri
Catatan 03: Wisuda dan Realita di Baliknya
Februari 2025
Akhirnya, skripsiku selesai. Aku tidak perlu memperpanjang masa kuliah, hanya bersiap wisuda. Apa yang sungguh-sungguh kamu rasakan saat hari wisuda kian dekat? Barangkali antusias, membayangkan warna dan potongan kebaya yang pas membalut tubuh. Hangat yang menyusup kala membayangkan sesi foto bareng keluarga. Hingga debar halus yang muncul saat berburu make up artist, khawatir sentuhan tangannya tak menyatu dengan wajah.
Namun, saat teman-teman sibuk memilih kebaya, MUA, dan spot foto terbaik, aku sibuk menghitung isi tabungan.
Biaya wisuda Rp1 juta belum termasuk seragam, make-up, dan perintilan lainnya. Karena kampusku menggelar dua gelombang wisuda, biayanya pun dobel—wisuda fakultas dan wisuda universitas.
Aku mencoba peruntungan berjualan mochi saat car free day. Hasilnya lumayan! Tapi tetap saja kurang, dan lagi-lagi Ibu dan Bapak harus turun tangan.
Aku ikut bahagia saat akhirnya bisa wisuda. Tapi bahagia itu tidak utuh. Ada rasa getir ketika sadar bahwa momen selebrasi ini dibayar dengan banyak pengorbanan tak terlihat.
Epilog: Antara Mimpi dan Kenyataan
Catatan ini memang personal. Tapi aku tahu aku tidak sendiri. Banyak mahasiswa kelas menengah yang senasib—tidak miskin menurut negara, tapi terlalu rentan untuk bertahan.
Padahal, amanat konstitusi jelas: Negara seharusnya hadir untuk menjamin setiap warga bisa mendapatkan pendidikan yang layak. Kenyataannya, alih-alih menjadi hak, pendidikan malah jadi beban yang menekan.
Seperti kata pakar pendidikan Indra Charismiadji, mahalnya pendidikan tinggi bukan sekadar efek inflasi, melainkan akibat cara negara memperlakukan pendidikan sebagai barang dagangan. Negara menetapkan harga, rakyat dipaksa membeli.
Di usia 80 tahun kemerdekaan, aku bertanya: Apa artinya merdeka, jika akses pendidikan saja ditentukan oleh isi dompet?
Dalam rangka peringatan Hari Kemerdekaan RI 2025, Magdalene meluncurkan series artikel #MerdekainThisEconomy dari berbagai POV penulis WNI. Baca artikel lain di sini.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
















