Screen Raves

‘Malcolm & Marie’ Soroti Eksploitasi, Hubungan Toksik

Malcolm & Marie bukan film romantis tentang pasangan yang sekedar berargumen, tapi hubungan dengan eksploitasi dan saling ketergantungan.

Avatar
  • March 15, 2021
  • 4 min read
  • 470 Views
‘Malcolm & Marie’ Soroti Eksploitasi, Hubungan Toksik

Malcolm & Marie (2021) bukan film pertama dari Netflix yang menunjukkan jatuh bangunnya sebuah pasangan dalam hubungan toksik. Pada 2019, ada Marriage Story yang disutradarai Noah Baumbach, yang menunjukkan kerumitan perceraian dan prosesnya yang menguras emosi seseorang. Bedanya, Malcolm & Marie menceritakan bagaimana sebuah pasangan bertahan dalam hubungan yang tidak sehat.

Malcolm (John David Washington) adalah seorang sutradara yang membuat film tentang seorang perempuan pecandu narkotika bernama Imani. Tepat setelah Malcolm dan Marie menghadiri penayangan perdana film tersebut, penonton disuguhkan dengan rentetan keluhan Malcolm akan kritikus film yang ia temui dan bagaimana cara mereka mengulas filmnya. Sementara Marie (Zendaya) hanya mendengarkan segala kegelisahan Malcolm. Dari adegan pembukaan itu Malcolm terlihat sebagai orang yang narsistik, sementara Marie membalasnya dengan gestur pasif-agresif.

 

 

Sifat egois Malcolm juga terlihat bagaimana ia tidak menyebut Marie dalam ucapan terima kasih pidatonya. Hal ini membuat Marie geram, karena ia berperan besar sebagai inspirasi film tersebut. Sebagai pembelaan, Malcolm mengatakan Marie bukan satu-satu inspirasi. Namun, alasan itu sesungguhnya digunakan untuk menyakiti Marie secara emosional. Seiring bergulirnya film, kata “inspirasi” yang disebut Malcolm lebih cocok disebut sebagai “eksploitasi”.

Baca juga: ‘365 Days’ Terlalu Problematik untuk Dibilang Seksi

Marie mirip dengan karakter lain Zendaya dalam serial Euphoria, Rue. Keduanya adalah perempuan yang sedang berjuang mengatasi kecanduan narkotika sekaligus depresi.  Kemiripan itu tidak bisa dielakkan karena kedua karya itu diproduksi oleh sutradara yang sama, Sam Levinson.

Malcolm, yang berpacaran dengan Marie sejak ia perempuan itu berusia 20 tahun, menggunakan sisi lemah dan pergumulan itu untuk mendapatkan autentisitas dalam filmnya untuk mendapatkan pujian publik. Hal itu tentu menciptakan dinamika tidak seimbang dalam hubungan mereka secara keseluruhan karena Marie berada di posisi lemah dan Malcolm adalah seseorang yang ia percayai. Objektifikasi tersebut semakin diperkuat karena Malcolm tidak membiarkan Marie terjun langsung dalam proyek film tersebut untuk memberikan masukannya.

Malcolm, Marie, dan Hubungan Kodependen

Malcolm & Marie jelas bukan film romantis tentang pasangan yang sekadar bertengkar dan menunjukkan sisi lain dari sebuah hubungan tersembunyi dari mata publik. Jangan tertipu dengan estetik monokrom yang menambah kesan intim untuk film ini. Mereka adalah dua orang yang terjebak dalam hubungan toksik berkepanjangan dan tidak tahu kapan untuk menghentikannya. Film ini juga sangat menguras energi karena harus menyaksikan argumen repetitif selama lebih dari 1,5 jam.

Sepanjang film kedua karakter itu akan saling meneriaki satu sama lain lalu secara tiba-tiba menjadi pasangan yang dimabuk kepayang. Siklus itu terus terjadi sampai film selesai. Bahkan di setiap akhir pertengkaran, salah satu dari mereka akan mencari satu sama lain. Seperti Malcolm yang selalu keliling rumah untuk mencari Marie. Atau Marie yang mendatangi Malcolm dengan memutar musik untuk mencairkan suasana tegang.

Baca juga: Pasangan dalam Film yang Tak Seharusnya jadi #CoupleGoals

Namun jika dilihat, hal itu memang terjadi dalam hubungan toksik. Alasan-alasan besar untuk segera mengakhiri hubungan akan tertutupi dengan satu atau dua gestur romantis yang sifatnya sementara. Pola itu akan terus berulang, secara emosional dan mental melelahkan. Hubungan toksik Malcolm dan Marie sulit selesai karena selalu merasa saling butuh akibat anggapan sangat mengenal satu sama lain.

Terlepas dari intensitas dan drama film ini, ada satu pesan besar Malcolm & Marie yang tidak bisa diacuhkan: Bagaimana kita kadang lupa untuk berterima kasih dan mengapresiasi pasangan. Dari semua naik-turunnya hubungan mereka, satu hal yang sangat diinginkan Marie adalah apresiasi. Bukan hanya soal pidato film saja tapi dalam berbagai hal kecil yang dilakukan Marie untuk Malcolm. Kurangnya apresiasi membuat seseorang kurang dihargai, namun Malcolm menganggap hal kecil itu sudah sewajarnya dilakukan oleh Maire.

Perilaku menggampangkan tersebut juga tidak hanya terjadi pada pasangan, tapi juga dalam keluarga dan pertemanan. Mengucapkan kata terima kasih seharusnya tidak sulit untuk seseorang yang disayangi.

Baca juga: ‘Social Distancing’ dengan Orang Tua Toksik Tak Cuma Selama Corona

Isu Rasialisme dalam Malcolm & Marie

Situs mendiang kritikus film Roger Ebert menulis bahwa alih-alih seperti drama, dialog film ini lebih terasa seperti monolog dari penulis sekaligus sutradaranya, Levinson. Kritikus lain juga menyampaikan bahwa Levinson seakan-akan menggunakan film ini untuk menyalurkan respons pribadinya tentang bagaimana karya tidak dikaitkan dengan politik atau isu ras.

Asumsi tersebut dikaitkan dengan rasa ketidaksukaan Malcolm terhadap seorang kritikus film perempuan yang menyatakan filmnya sarat male gaze. Perilaku antipati tersebut berkaca dari kritik yang ditulis Katie Walsh untuk Los Angeles Times tentang Assassination Nation (2018) karya Levinson. Walsh menyebut film itu ingin bersifat revolusioner tapi sarat seksisme dan eksploitasi kekerasan seksual.

Cerminan pribadi milik Levinson kemudian dinilai tidak pantas karena dirinya yang berkulit putih menggunakan Malcolm, sosok berkulit hitam, untuk mengeluhkan interpretasi film tidak harus isu rasialis. Menanggapi backlash besar akan hal itu, Zendaya dalam wawancara bersama The New York Times, mengatakan anggapan film ini hanyalah buah pikir Levinson mencabut agensi dirinya atas film tersebut. Zendaya menekankan bahwa publik harus mempertimbangkan perannya tidak sebagai aktor saja, tapi juga produser yang berkontribusi dalam proses produksi.


Avatar
About Author

Tabayyun Pasinringi

Tabayyun Pasinringi adalah penggemar fanfiction dan bermimpi mengadopsi 16 kucing dan merajut baju hangat untuk mereka.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *