Membangun Kota Ramah Gender: Lelaki juga Diuntungkan
Kota ramah gender dianggap hanya memenuhi kebutuhan perempuan. Faktanya tak demikian.
Hidup sebagai aktivis perempuan dan menetap di Banda Aceh bukan perkara mudah bagi Suraiya Kamaruzzaman. Bayangan akan mengalami kekerasan di jalan, institusi umum, hingga ruang domestik setia menghantuinya.
“Saya belum merasa aman sama sekali, karena angka kekerasan terhadap perempuan meningkat setiap tahun,” ujar Suraiya pada Magdalene, (26/2).
Perempuan yang juga aktif berperan sebagai tenaga pendidik di perguruan tinggi itu, mendeskripsikan kota yang aman dan nyaman ketika masyarakat dapat beraktivitas tanpa merasa cemas. Tanpa mengalami pemerkosaan atau pelecehan, tanpa kesulitan mengakses layanan publik, dan yang terpenting bisa terlibat dalam proses pengambilan keputusan.
“Aman itu bukan sekadar bebas dari perang atau konflik, tapi semua orang terlepas dari latar belakangnya, termasuk kelompok difabel punya hak yang sama,” ujarnya.
Deskripsi Suraiya soal kota aman, nyaman, dan ramah gender ini tampaknya cukup terepresentasi dari Wina, Austria. Pasalnya, kota ini disebut-sebut sangat memudahkan mobilitas perempuan: Banyak bangku untuk sosialisasi, lampu, dan trotoar yang lebar agar mempermudah pengguna kursi roda dan mengakomodasi kereta bayi. Beberapa kota ramah gender lainnya bisa kita intip di Toronto, Singapura, Sydney, dan London, yang memang dirancang secara inklusif.
Jika kota-kota itu telah dibangun berdasarkan pengarusutamaan gender, Indonesia justru masih dipenuhi sejumlah bias. Namun, bukan berarti tidak ada kota yang mulai memperhatikan inklusivitas.
Baca Juga: Infrastruktur Kurang – Kekerasan pada Perempuan Meningkat
Solo, Jawa Tengah, misalnya. Communications & Advocacy Manager Kota Kita Vanesha Manuturi menjelaskan, pihaknya menggandeng Dinas Perhubungan (Dishub) Solo untuk terlibat dalam program Women on Wheels. Program tersebut dibentuk untuk mempromosikan cara pemberdayaan perempuan. Tujuannya semata-mata agar berpartisipasi penuh dan setara dalam pencapaian sosial ekonomi, sekaligus mempromosikan nilai-nilai kota berkelanjutan dan layak huni.
“Kami meneliti tantangan dan kebutuhan pesepeda perempuan di Solo, lalu dialokasikan ke Dishub Solo untuk memperhatikan isu ini,” jelasnya.
Solo sendiri merupakan salah satu kota dengan peningkatan kepemilikan dan penggunaan kendaraan bermotor, sehingga angka kecelakaan, kemacetan, dan polusi udara juga meningkat. Karena itu, kenyamanan mobilitas pengendara sepeda—sebagian besar perempuan—kian berkurang.
Sementara menurut Fildzah Husna, Communications Officer dari LSM tersebut, keamanan juga menjadi penghambat lainnya. Maka dari itu, di Jalan Slamet Riyadi, Solo terdapat jalur lambat yang dipisahkan separator untuk pesepeda, pejalan kaki, dan tukang becak.
“Dalam praktiknya (jalur lambat) sering dipakai parkir motor dan mobil,” ujar Husna, menyebutkan implementasinya yang masih perlu diperbaiki.
Walaupun demikian, Vanesha menjelaskan, Kota Budaya tersebut memiliki nilai penerimaan sosial yang dapat diapresiasi, terutama disabilitas dan inklusivitas. Ini membuat pembangunan infrastruktur tidak terjebak secara simbolis, tetapi dijaga dan dipertahankan dalam jangka panjang.
“Pemerintah punya perhatian khusus terkait social acceptance dan awareness kebutuhan warga difabel,” kata Vanesha. “Suatu hal yang belum dilihat secara luas di kota lain di Indonesia,” sambungnya.
Ia menyebutkan, hal itu terbukti dari kerja sama antara Kota Kita dengan pemerintah Solo selama sepuluh tahun terakhir. Siapa pun yang menjabat, dalam diskusi yang berlangsung selalu membahas upaya membangun Solo menjadi kota inklusif.
Tak hanya Solo, Aceh adalah contoh kota lainnya yang melibatkan perempuan dalam perencanaan kota.
Suraiya mengatakan, perwakilan perempuan dari Musyawarah Rencana Aksi Kaum Perempuan (Musrena) beberapa kecamatan, dapat menyampaikan aspirasinya dan akan muncul di forum kota. Pun Women Development Center (WDC) memastikan perencanaan dari Musrena masuk ke forum tersebut.
Salah satu yang diinisiasikan Musrena adalah pelatihan life skill dan modal kepada perempuan dan laki-laki kepala keluarga, yang tidak memiliki pekerjaan di usia muda. Selain itu, mereka membangun lapangan voli yang dapat dimanfaatkan perempuan maupun laki-laki, bukan lapangan bola yang cenderung digunakan gender tertentu.
“Ketika muncul perencanaan dari perempuan, manfaatnya bukan hanya untuk perempuan, tapi juga laki-laki,” ucap Suraiya.
Tak hanya Solo, Aceh adalah contoh kota lainnya yang melibatkan perempuan dalam perencanaan kota.
Baca Juga: Deretan Wali Kota Perempuan Keren di Dunia
Kenapa Perencanaan Kota Perlu Inklusif?
Selama ini, mayoritas perancang dan pengambil keputusan dalam perencanaan kota masih didominasi laki-laki. Alhasil lebih cocok menjadi tempat tinggal bagi laki-laki heteroseksual, cisgender, dan bertubuh sehat. Ini selaras dengan pengalaman Hafidz, seorang penyandang lupus.
“Pembangunan kota, kan cuma untuk laki-laki yang kuat dan sehat. Benar-benar maskulin banget,” ujarnya.
Kondisi tubuh yang lemah membuatnya sulit mengakses transportasi umum. Pernah suatu waktu pada 2018, ketika menumpang Kereta Rel Listrik (KRL) dari Bogor menuju Tangerang, sepanjang perjalanan ia terpaksa duduk di kursi prioritas.
Situasi itu membuatnya dilema, antara ingin memberikan bangku untuk penumpang yang lebih membutuhkan, tetapi tubuhnya terlalu lemas untuk berdiri. Sementara sulit baginya memberikan penjelasan bagi penumpang lain terkait keadaannya.
Melihat masih minimnya fasilitas yang mengakomodasi kebutuhan kelompok difabel dalam ruang publik, perspektif yang inklusif gender dalam tata ruang masih jauh dari harapan. Inklusi gender dalam tata ruang berarti memperhitungkan peran gender dalam merancang ruang dan fasilitas publik.
Contohnya dalam mobilitas sehari-hari. Sebagai kepala keluarga, laki-laki dikesankan selalu ingin berjalan cepat dan aman sampai di tujuan, sehingga dibuat jalan tol. Sedangkan perempuan, membutuhkan transportasi yang mengutamakan fleksibilitas berpindah ke beberapa tempat dengan aman dan terjangkau, karena memiliki lebih dari satu peran.
Contoh lain terlihat saat membicarakan hunian. Menurut Founder dan Direktur Rujak Center for Urban Studies Elisa Sutanudjaja, rumah bukan hanya tempat tinggal bagi sebagian perempuan yang memiliki Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), melainkan tempat untuk melakukan kegiatan formal. Namun, lokasi tertentu masih melarang pelaksanaannya, dengan memasang papan “dilarang menggunakan hunian sebagai tempat usaha”.
“Secara enggak langsung, ini enggak ramah perempuan yang punya peran multifungsi,” terangnya.
Belum lagi keamanan perempuan yang tidak terjamin ketika berada di ruang publik maupun melakukan perjalanan sendirian, karena berisiko terjadi kekerasan seksual. Ini dibuktikan oleh data UN Women yang mencatat, 3.092 atau 1,19 persen kasus kekerasan seksual di ruang publik dari total 259.150 kasus kekerasan seksual pada 2016. Dalam hal ini, mereka yang tinggal di wilayah urban rupanya lebih banyak mengalami dibandingkan di desa.
Hingga saat ini, hal tersebut masih jadi sumber keresahan perempuan. Sebagaimana dirasakan “Anna”, mahasiswi berdomisili di Bandung yang kerap merasa tidak aman, ketika melewati jalan kecil menuju kosnya di malam hari.
“Enggak ada lampu jalan di area sekitar kos, jadi perlu pakai senter handphone,” ceritanya. Karena itu, ia memilih menggunakan ojek online demi mengutamakan keselamatan, walaupun tempat tinggalnya hanya berjarak 500 meter dari jalan utama.
Meskipun terkesan mengutamakan perempuan, kota inklusif gender bukan hanya menguntungkan satu pihak, melainkan masyarakat luas. Merasa sependapat, Vanesha menambahkan, “Tata kota yang memperhatikan dan mengakomodasi semua warga bukan beban yang sulit, justru banyak benefit-nya.”
Kenyataannya, bias gender dalam perencanaan kota juga merugikan laki-laki. Apabila kita melihat rambu di tempat umum yang bertuliskan “ibu membawa anak”, menunjukkan bagaimana perempuan diperlakukan spesial. Padahal, tak sedikit laki-laki bepergian membawa anak, sehingga lebih tepat jika bertuliskan “orang tua membawa anak”.
Selama ini, mayoritas perancang dan pengambil keputusan dalam perencanaan kota masih didominasi laki-laki. Alhasil lebih cocok menjadi tempat tinggal bagi laki-laki heteroseksual, cisgender, dan bertubuh sehat.
Laporan World Bank menunjukkan, kebijakan tata ruang yang inklusif berpotensi meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Meningkatkan visibilitas dan partisipasi kelompok kurang beruntung, misalnya, mampu mendorong keamanan dan akses ke ranah publik. Memberikan ruang bagi suara orang-orang yang belum terwakili, dan mengakomodir keberagaman representasi juga dapat menghasilkan desain inovatif bagi seluruh kalangan.
Baca Juga: Aktivis Dorong Kota Inklusif Bagi Penyandang Disabilitas
Sulitnya Membangun Kota Ramah Gender dan Minoritas
Setiap lima tahun sekali, kota dan kabupaten dapat memiliki kesempatan merevisi penataan ruang di daerahnya, sebagaimana tertera dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN).
Namun, Elisa mengatakan, umumnya pemerintah mengadakan evaluasi bila ada keperluan tertentu. Bahkan, peninjauan itu bisa dilakukan sebelum masanya, karena terdapat proyek strategis nasional. Seperti Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) DKI Jakarta pada 2014. Evaluasi itu dilakukan pada 2016 karena memasukkan proyek kereta cepat, yang belum memiliki produk hukum.
“Jadi bukan untuk kepentingan warga, atau masa depan kota. Tapi proyek strategis yang otomatis belum tentu ada hubungannya dengan publik,” ujarnya.
Walaupun perempuan cukup mendominasi sejumlah komunitas perencanaan kampung dan kota, pelibatan mereka dalam perencanaan kota masih dianggap minim.
Berdasarkan pengamatan Elisa, komposisi pejabat Kementerian Agraria dan Tata Ruang, maupun Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat mayoritas laki-laki, terlepas dari jumlah perempuan di Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang tinggi.
“Kalau dari level pengambil kebijakan, mau nggak mau harus merebut ruang,” ucapnya. Ia menjelaskan, representasi 20 persen kursi untuk perempuan saja tidak cukup, karena sifatnya afirmatif, bukan dianggap memiliki kontribusi.
Sementara Vanesha menuturkan, representasi itu perlu disertakan kanal formal yang inklusif dan formal. Terlebih jika pola pikir bias gender masih melekat. Dan pada dasarnya, perancangan dan pembangunan kota hampir tidak pernah melibatkan warga.
“Maka itu pemahaman, pengetahuan, serta kapasitas pemerintah dan stakeholder lain tentang inklusi gender dan investasinya perlu ditingkatkan,” kata Vanesha.
Jangankan pada skala pemerintahan, di level rukun warga (RW) atau kelurahan saja perempuan masih dibatasi untuk aktif dalam kegiatan tertentu. Contohnya mengurus kesehatan, taman, dan pengolahan sampah. Sedangkan urusan infrastruktur lebih memercayakan laki-laki yang mengelola. Artinya, butuh upaya bersama untuk memastikan dan memperbaiki ruang partisipasi, agar mempertimbangkan pengalaman perempuan dan kelompok rentan lainnya.
Walaupun perempuan cukup mendominasi sejumlah komunitas perencanaan kampung dan kota, pelibatan mereka dalam perencanaan kota masih dianggap minim.
Aceh merupakan salah satu kota yang lebih terbuka dengan aspirasi perempuan, dan memberikan ruang partisipasi. Mereka juga melaksanakan Pilot Model Perencanaan Penganggaran Responsif Gender (PPRG), yang dirancang oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (Kemen PPPA). Tujuannya menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Desa responsif gender dan mengutamakan kelompok minoritas, dengan proses partisipatif dan demokratis.
Program tersebut mengharapkan keterlibatan perempuan dalam substansi pembangunan, bukan hanya menerima manfaat. Namun, perencanaan kota ramah gender itu tidak selaras dengan qanun jinayat yang berlaku.
Qanun itu cenderung menyasar perempuan dan mengancam posisi mereka sebagai korban. Dalam mengatasi kasus pemerkosaan misalnya, Suraiya menyebutkan korban harus menyediakan bukti awal sebagai penguat, yang seharusnya disediakan penyidik.
Mereka bisa dicambuk ratusan kali, seolah, masa depan yang hancur belum cukup. Sementara pelaku belum tentu dihukum, pun mereka akan menerima biaya pengobatan apabila sakit akibat dicambuk. Sedangkan korban tidak menerimanya.
Demikian halnya dalam perkara zina. Perempuan dapat dicambuk 100 kali karena mengaku melakukannya, dan laki-laki 15 kali karena tidak mengaku. Perbuatan ini memosisikan perempuan sebagai standar moral.
“Ini terjadi karena pengambil kebijakan itu laki-laki yang punya perspektif pelaku, jadi lebih membela mereka,” kata Suraiya.
Perempuan 53 tahun itu mengatakan, mereka pernah mendorong pemerintah kota membuat draf qanun kota ramah gender, sebagai bentuk program kerja sama antara pemerintah Indonesia dan Australia. Sayangnya, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten/Kota tidak kunjung membahasnya, meskipun sempat masuk di Program Legislasi Aceh (Prolega).
Suraiya melanjutkan, Aceh dapat menjadi kota ramah gender berdampingan dengan qanun jinayat, apabila ada perubahan substansi qanun tersebut. Tanpa diskriminasi terhadap perempuan dan anak, terlebih korban kekerasan seksual.
“Selama belum direvisi, kriteria kota ramah gender tidak akan terpenuhi karena tidak ada keadilan,” jelasnya. “Ditambah sikap aparatur penegak hukum belum berperspektif gender, dan keberpihakan pada korban,” imbuhnya.
Proyek jurnalistik ini didukung oleh Meedan, organisasi non-profit di bidang teknologi yang punya visi memperkuat literasi digital dan jurnalisme global.