Lifestyle Madge PCR

‘Relationship Escalator’: Saat Jalani Hubungan Romantis Sesuai Tuntutan Publik

Masyarakat memandang pacaran, menikah, dan punya anak adalah fase kehidupan yang pasti dilalui. Padahal, konsep ‘relationship escalator’ itu patut dipertanyakan.

Avatar
  • March 1, 2023
  • 7 min read
  • 1147 Views
‘Relationship Escalator’: Saat Jalani Hubungan Romantis Sesuai Tuntutan Publik

“Apa yang kau cari? Lulus, kerja, menikah, beranak. Apa lagi?”

Itu penggalan lirik “Apa?” oleh Petra Sihombing. Lagu yang menyentak saya dari lamunan, ketika matahari sedang terik-teriknya. Kemudian saya berpikir, sepertinya manusia adalah robot yang hidupnya diseragamkan, ya?

 

 

Misalnya perihal fase kehidupan. Persis seperti yang dinyanyikan Petra dalam lagunya, menikah dan punya anak seperti keharusan bagi semua orang. Sementara saya mulai mempertanyakan, apakah pernikahan—yang adalah konstruksi sosial—sebegitu pentingnya untuk dilakukan?

Pertanyaan tersebut mengingatkan saya, dengan obrolan di arisan keluarga pada Januari lalu. Awalnya, om dan tante membicarakan rencana pernikahan adik sepupu, yang berlangsung November mendatang. Seketika perhatian mereka beralih ke saya.

“Mbak, habis ini nyusul ya,” ujar seorang om.

“Jangan karier terus. Nanti ketuaan kalau punya anak,” tambah salah satu tante.

Sentilan-sentilan yang saat ini disampaikan lewat guyonan, saya yakin akan jadi nasihat serius di pertemuan-pertemuan keluarga selanjutnya. Mereka senang memproyeksikan hal-hal yang umum dilakukan di masyarakat. Padahal, semestinya menikah dan punya anak menjadi opsi, bukan keharusan.

Baca Juga: Sudah Tidak Ada Cinta dalam Hubungan, Perlukah Dilanjutkan?

Baru-baru ini saya mengetahui, ekspektasi sosial terhadap relasi monogami, pernikahan, dan hidup bahagia bersama anak-anak disebut relationship escalator. Istilah itu digagaskan jurnalis Amy Gahran lewat tulisan di blognya. Kemudian menjadi pembahasan utama Gahran dalam bukunya, Stepping Off the Relationship Escalator (2017).

Menurut Gahran, masyarakat menilai keseriusan suatu relasi apabila hubungannya memenuhi relationship escalator. Contohnya dari tahapan hubungan kasual dan mengenal satu sama lain, mulai melekat secara emosional, dan tampil eksklusif di publik. Selanjutnya mendiskusikan masa depan hubungan sebagai pasangan monogami, menikah, dan punya anak.

Penjelasan Gahran tersebut menggambarkan masyarakat yang tidak berhenti “menuntut”, apabila relasi orang di sekitarnya belum sampai ke puncak hubungan—yakni memiliki anak. Di saat bersamaan, realitas ini menawarkan keamanan dan kestabilan bagi mereka yang memilih menjalankan relationship elevator.

Sementara jika di kalangan masyarakat ada yang memilih berlawanan dengan relationship escalator, berarti pilihan hidup atau perilakunya perlu dikoreksi—dan pantas menerima sanksi sosial.

Salah satunya keputusan Gita Savitri dan Paul Partohap, serta sederet pasangan lainnya yang memilih childfree. Sampai artikel ini ditulis, sebagian orang masih menutup mata bahwa memiliki anak adalah pilihan. Kemudian menganggap ada yang keliru, jika pasangan menginginkan pernikahan tanpa anak.

Hal serupa terjadi pada orang-orang, termasuk figur publik, yang tak kunjung melepas status lajangnya. Terlebih jika usianya dianggap tak muda lagi. Seperti Rocky Gerung—yang ditanya dan ditertawakan lantaran belum menikah, ketika menjadi bintang tamu episode teranyar Mata Najwa.

Kenyataannya, relationship escalator belum tentu berlaku bagi semua orang—baik secara menyeluruh, maupun sebagian. Lalu, bagaimana dengan orang-orang yang memilih keluar dari relationship escalator?

Keluar dari Relationship Escalator

Ada beberapa contoh hubungan yang tidak sejalan dengan relationship escalator. Misalnya berpacaran tapi tidak ingin menikah, mengesampingkan relasi romantis lantaran mengutamakan studi dan karier, dan orang-orang aseksual dan aromantis.

Ada juga yang menjalani hubungan jarak jauh sehingga tidak tersedia secara fisik, swingers—melakukan hubungan seks rekreasi di luar pasangan utama, open relationship, dan poliamori.

Saya mengobrol dengan “Arleta”—bukan nama sebenarnya, yang mengidentifikasi diri seorang poliamori. Ia memandang relationship escalator sebagai medium untuk lebih kritis, mengenal, dan memeluk diri sendiri. Dari situ akan terjawab, bentuk relasi apa yang bisa menawarkan relasi aman dan nyaman, serta bagaimana mengeksplorasinya.

“Menurutku relationship escalator bisa jadi bentuk alternatif, kita enggak harus mengikuti standar eskalator itu. (Standar) yang tahapannya normatif dan udah pasti,” ujar Arleta.

Baca Juga: Ramai-ramai ‘Waithood’, Tak Apa Menikah di Atas Usia 30

Selagi hidupnya, Arleta belum pernah terlibat dalam relasi yang sesuai dengan relationship escalator. Ia merasa pola hubungan itu tidak relevan. Hal itu tidak serta-merta mendiskreditkan pengalaman Arleta. Sebab, konstruksi sosial membentuk masyarakat masuk dalam struktur, bahwa setiap orang harus hidup berpasangan—yang diartikan dua orang. Sementara Arleta tidak nyaman dengan konsep relationship escalator itu.

Walaupun baru mengenal istilah poliamori selama tiga tahun belakangan, Arletta selalu memiliki spirit hubungan itu. Ia merasa poliamori adalah jenis hubungan yang paling tepat, lantaran sesuai dengan perspektif feminismenya. Lewat relasi poliamori, Arletta dapat mencapai kesetaraan dalam hubungan, tanpa relasi kuasa.

“(Hubungannya) mesti consensual atas kesepakatan dan kenyamanan bersama, ada batasan yang bisa disepakati bersama. Prinsip-prinsip itulah yang bikin aku makin nyaman,” ceritanya.

Kendati demikian, hubungan romantis Arleta tak luput dari perlakuan diskriminatif. Penyebabnya adalah stigma dan masyarakat yang masih mononormatif—memandang hubungan monogami dan monoseksual sebagai hal lumrah dan fundamental.

Hal tersebut disebabkan oleh adanya anggapan, intimasi hanya dapat dirasakan manusia dengan cara yang tunggal dan statis. Kemudian mengistimewakan relasi monogami sebagai sesuatu yang terberi, sedangkan relasi non-monogami konsensual lain adalah dosa atau perbuatan tercela—seperti dijelaskan Himas Nur Rahmawati dalam Menerjemahkan Masa Depan: Panseksualitas dan Intimasi Diri (2022).

Maka itu, Arleta menerima banyak stigma dan kesalahpahaman terkait relasi poliamori—termasuk dari teman-teman queer. Membuat dirinya semakin tertekan, dan merasa diliyankan, sekalipun dari komunitasnya. Berkaca dari pengalamannya, Arleta memandang identitas relasi juga memiliki spektrum, layaknya identitas seksual, gender, dan kepercayaan.

“Aku didiskriminasi sama teman-teman queer, yang merasa udah keluar dari kotak heteronormatif. Tapi, mereka yang mendiskriminasi orang poliamori, berarti belum keluar dari kotak mononormatif,” terang Arleta.

Menghadapi kondisi tersebut bukan perkara mudah baginya. Arleta menangis, menghibur diri dengan meme, kemudian berusaha mengelola diri. Ketika akan menanggapi langsung, Arleta mencoba mengelola tutur kata, agar apa yang dirasakan dan diyakininya dapat tersampaikan—sekaligus mengurangi kemungkinan melukai perasaan orang lain.

Di samping itu, ia berusaha menyalurkan perasaannya melalui karya. “Tiap ada yang ‘jahat’, aku menyuarakannya lewat tulisanku. Bisa puisi, cerita pendek, laporan penelitian, wawancara,” kata Arleta. “Soalnya untuk confront langsung butuh banyak energi ya, dan (aku) udah terpicu duluan sama orang-orangnya.”

Baca Juga: Saat Pasanganmu Skeptis Soal Isu Kesehatan Mental

Apa yang dialami Arleta mencerminkan realitas masyarakat, yang kerap menyeragamkan kehidupan individu. Rasanya ada yang perlu dikoreksi, apabila mendapati sesuatu yang tidak sesuai menurut standar sosial. Tanpa disadari, pemaksaan kehendak ini menyakiti orang-orang yang tidak sejalan dengan relationship escalator.

Lantas, bagaimana kita perlu menyikapi relationship escalator?

Perlunya Mempertanyakan Keinginan

Relationship escalator merupakan contoh lain dari pandangan masyarakat yang tak hanya mononormatif, tetapi juga heteronormatif. Pasalnya, konsep ini menekankan struktur hubungan dari pacaran, menikah, dan punya anak. Sebuah struktur yang tidak berlaku bagi orang-orang queer di Indonesia—bahkan, hak hidup sebagai masyarakat saja belum terjamin.

Di samping kacamata mononormatif dan heteronormatifnya, relationship escalator juga menilai keberhasilan hubungan apabila terdapat perkembangan signifikan. Yakni bergerak ke jenjang berikutnya. Sedangkan yang jalan di tempat atau hubungannya kandas, akan dicap gagal dan dipandang sebelah mata. Tanpa melihat relasi setelahnya, sebagai orang tua yang memutuskan coparenting atau masih berteman dan mendukung mantan pasangan.

Hal itu menunjukkan betapa kuatnya relationship escalator, yang diinternalisasi dalam kehidupan sehari-hari. Tak heran, jika sebagian orang mendefinisikan tujuan hidupnya lewat pernikahan atau hidup berkeluarga.

Membicarakan internalisasi relationship escalator, Elvira (24) pernah melakukannya. Semasa kuliah dan belum berpacaran dengan kekasihnya sekarang, jurnalis berdomisili di Jakarta itu kepingin bekerja selama tiga tahun untuk tabungan menikah. Dengan harapan bertemu laki-laki mapan agar bisa menikah di usia 26.

Ketika ditanya alasan di balik keinginannya menikah, Elvira menjawab, “Klise sih, gue takut hidup sendirian.”

Namun, keinginan Elvira untuk menikah sempat dipatahkan, begitu mantan pacarnya tidak mampu menepati janji-janjinya. Barulah setelah bertemu pacarnya saat ini, keinginan melanjutkan hubungan ke pernikahan muncul lagi, yang ditentukan berdasarkan pilihan—bukan sekadar mengikuti relationship escalator.

“Gue berdoa supaya dikasih (pasangan) seperti yang gue pengen. (Pacar gue ini) jawaban apa yang gue doakan, dari sikap dan perilaku, sesuai yang gue minta,” ungkap Elvira.

Karena itu, ia dan pasangannya menjalani hubungan selama 1,5 tahun dengan serius. Elvira mulai mempertimbangkan kesiapan batin dan finansial.

Dalam tulisan di blognya, Gahran pun menekankan tak ada yang salah dengan keinginan menikah atau menjalankan hidup sebagaimana relationship escalator. Permasalahannya, jika kamu menganggap relationship escalator adalah fase kehidupan lainnya yang harus dilalui secara alami. Tanpa mengkritisi, atau menanyakan pada diri sendiri: apakah relasi ini sesuai dengan keinginan dan kebutuhan saya?

Dengan kata lain, pastikan keterlibatanmu dalam relasi romantis berlandaskan pada keputusan. Bukan tuntutan sosial, keinginan divalidasi, atau tekanan dari pihak mana pun. Mungkin kamu dapat mengeksplorasi jenis relasi di luar hubungan non-monogami. Atau sesederhana mengetahui keberadaan relationship escalator.

Dengan demikian, kamu memahami dan menghargai pilihanmu—juga orang lain yang memutuskan keluar dari relationship escalator—adalah valid. Pun keberhasilan suatu hubungan ditentukan berdasarkan kualitasnya, bukan secara struktur.



#waveforequality


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *