Memangnya Kenapa Kalau Aku Tak Perawan Lagi?
Aku memilih berhenti anggap diriku ‘kotor’ dan ‘berdosa’. Merangkul seksualitas ternyata bukan hal yang tabu.
Aku lahir dari keluarga Katolik konservatif. Orang tuaku aktif di gereja, rajin ikut perkumpulan doa, dan percaya seutuhnya dengan ajaran agama. Karena penghayatan mereka terhadap nilai-nilai agama inilah, keluargaku cenderung mengutamakan nilai-nilai tradisional.
Nilai-nilai tradisional ini mewujud dalam pola pengasuhan mereka terhadapku, anak perempuannya. Sejak kecil aku hanya mengikuti kemauan mereka. Rajin ke gereja, berdoa tiap hari, dan meyakini bahwa patuh pada Tuhan adalah keharusan. Apalagi menjaga keperawanan, hal yang tak lagi bisa ditawar-tawar. Tak ada pilihan saat itu selain mengikuti ekspektasi masyarakat menjadi “anak perempuan baik-baik”.
Awalnya aku manut, karena biar bagaimanapun aku enggan mengecewakan orang tua. Meski demikian, ada bara dalam diri yang aku pendam. Aku selalu mendidih tiap kali orang-orang di sekitarku bilang, “Perempuan jangan suka kangkang di depan pacar, keperawanan itu hadiah terindah buat suami masa depan.”
Doktrin “menjaga keperawanan” juga telah ditanamkan pada diriku dari keluarga. Mama selalu mewanti-wanti untuk pacaran sekadarnya selama merantau kuliah di Jakarta. “Jangan pacaran sampai kebablasan,” itu pesan dia.
Baca juga: Pembatasan Level Testosteron pada Atlet Perempuan Munculkan Diskriminasi
Karena doktrin itulah, aku harus menjauhi segala sesuatu yang berbau seksual. Aku tak diberi kesempatan untuk mengeksplorasi seksualitasku karena dikepung banyak aturan. Ajaran gereja melarang apapun yang berbau seksual sebelum janji pernikahan. Masturbasi dianggap tabu, seks yang berbasis consent dilarang, bahkan untuk memikirkannya saja, aku dibatasi.
Diam-diam aku memberontak. Pertanyaan seputar, kenapa perempuan dibatasi, kenapa hanya perempuan yang harus perawan, kenapa tak boleh mempelajari seksualitas diri, terus berputar-putar di kepalaku.
Untungnya, saat merantau dan bertemu dengan kawan-kawan di kampus, pikiranku jadi lebih terbuka. Aku makin yakin, tak ada salahnya perempuan mengeksplorasi seksualitas diri. Aku berbicara dengan satu dua teman perempuan tentang pengalaman seksualitas masing-masing. Dari situ aku belajar menerima diri–yang selama ini aku anggap “kotor”, cuma karena punya rasa ketertarikan pada isu seksualitas.
Sepintas, apa yang aku alami ini mirip seperti pengalaman Alice (Natalia Dyer) di film Yes, God, Yes (2019). Perempuan yang penasaran dengan seksualitas dirinya itu terkungkung oleh pembatasan ajaran gereja. Alhasil, ia jadi selalu memandang ada yang salah dengan dirinya.
Baca juga: Feminis Radikal dan Gagasan-gagasan tentang Seksualitas Perempuan
Belajar Menerima Diri
Penerimaan seksualitas diriku jadi proses yang terus berlangsung hingga hari ini. Ini termasuk pandanganku soal nilai diri perempuan yang tak cuma diukur dari keperawanan semata–hal yang jadi doktrin hidupku hingga usia Sekolah Menengah Atas (SMA).
Dalam The Purity Myth (2009), Jessica Valenti menyebutkan, pengengkangan seksualitas adalah produk warisan dari budaya patriarki. Menurut Valenti, konsep keperawanan adalah mitos yang sengaja dibikin untuk merendahkan perempuan. Perempuan yang masih perawan dianggap baik, yang sudah aktif berhubungan seks dianggap barang rusak.
“There is no working medical definition for virginity,” kata dia.
Dalam bukunya, ada keinginan mengakhiri gagasan usang soal pentingnya menjaga keperawanan. Kata dia, hubungan seksual yang intim perlu dihormati tanpa mengorbankan kesejahteraan perempuan.
Tak cuma soal keperawanan, dalam memandang seksualitas secara umum pun demikian. Sistem dan masyarakat memandang seksualitas perempuan sebagai komoditas, bukan pilihan perempuan. Perempuan lebih baik tidak tahu mengenai seksualitasnya karena lebih baik tunduk kepada laki-laki di ranjang. Karena tujuan perempuan hanya untuk menikah dan memiliki anak. Seks hanya untuk prokreasi bukan untuk memuaskan hasrat perempuan.
Padahal memahami seksualitas bisa menjadi bentuk perjuangan hak perempuan. Aku mempelajari ini dari sosok Betty Dodson. Pada 1970-an ia mensosialisasikan gerakan seks positif di Amerika Serikat.
Baca juga: Bukan Punya Ayah atau Suami, Tubuh Muslimah Miliknya Sendiri
Dia memperkenalkan vibrator sebagai simbol otonomi seksual perempuan. Dalam hematnya, masturbasi adalah bentuk pembebasan dari tuntutan untuk mengesampingkan kebutuhan seksual mereka. Dodson membuka workshop bagi perempuan yang kesulitan mencapai orgasme untuk membantu membebaskan diri dari bergantung pada laki-laki.
Perjalanan pembebasan diriku bisa dikatakan cukup ekstrem. Aku memilih melepaskan identitas sebagai Katolik. Dengan inilah, aku bisa lepas dari perasaan “berdosa” yang selama ini membelengguku. Perasaan berdosa karena berpikir tentang seks.
Jika ditanya apakah ingin melepaskan diri dari rasa berdosa itu yang menjadi alasan aku tidak menjadi Katolik, tidak sepenuhnya benar. Alasannya karena aku tidak bisa memaksakan diri meyakini kepercayaan orang tuaku.
Aku tahu agama tidak pernah mengajarkan hal yang buruk. Aku percaya meyakini sebuah agama adalah sebuah pilihan manusia, sehingga tidak bisa dipaksakan. Sama seperti seksualitas perempuan yang tidak bisa dipaksa dan di kengkang.
“Masturbasi adalah bentuk aktivitas seksual pertama dan natural pertama buat kita (manusia), dan jika itu dilarang atau terganggu, kita bisa menderita seumur hidup.”
Aku memilih untuk tidak menderita lagi.