Merengkuh Usia Tua dengan Gembira
Menjadi tua adalah suatu keniscayaan yang tidak bisa dihindari; mari merengkuhnya dengan gembira.
Beberapa hari yang lalu, usia saya tepat memasuki angka tiga puluh. Sebuah fase yang menegaskan bahwa diri ini tidak lagi muda, atau setidaknya semakin meninggalkan fase usia muda.
Sebelum pindah ke Australia beberapa waktu lalu, saya pernah mempunyai kekhawatiran perihal memasuki usia 30 tahun. Ketika itu saya menganggap bahwa usia kepala tiga adalah pertanda bahwa kita tidak lagi menarik, baik di pekerjaan maupun asmara. Terkhusus perempuan, jika belum menikah ataupun belum mempunyai anak di usia ini, maka akan mulai muncul nasihat akan semakin susah mendapatkan jodoh dan mempunyai momongan—dua hal yang sepertinya masih menjadi sumber kecemasan yang sebetulnya tidak perlu bagi perempuan.
Saya juga tidak luput dari kecemasan tersebut. Tiga tahun lalu, seseorang menasihati saya agar segera mungkin menikah. Alasannya sederhana, karena sebentar lagi saya berusia 30 tahun! Ditambah sebelumnya ada pula yang memberi tahu bahwa laki-laki cenderung untuk menyukai perempuan berusia di bawah 25 tahun.
Usia 30 tahun juga dipandang sebagai ambang batas kebebasan manusia untuk belajar hal-hal baru. Umur ini dinilai sudah terlambat dalam mencoba berbagai kegiatan yang memperkaya pikiran, jiwa, dan fisik. Usia 30 tahun juga dianggap sudah terlampau sulit untuk dibina agar menjadi lebih baik. Secara tidak langsung semua ini tercermin dalam berbagai lowongan pekerjaan, serta beberapa peluang beasiswa dan kuliah di negeri ini yang mensyaratkan batasan maksimal umur. Seolah-olah umur yang semakin tua tidak layak untuk ikut andil dalam produktivitas kerja dan belajar.
Baca juga: Tips Menulis ‘Personal Statement’ untuk Kuliah di Luar Negeri
Pernah saya iseng mengamati batas maksimal umur untuk pelbagai lowongan pekerjaan. Hasilnya beragam, namun rata-rata perusahaan atau instansi menginginkan pegawai baru berusia maksimal antara 35 hingga 40 tahun. Posisi guru rata-rata disyaratkan berusia maksimal 40 tahun saat melamar. Lalu posisi sebagai customer service, sales, dan marketing berusia maksimal 35 tahun. Posisi dosen berusia maksimal 35 tahun untuk lulusan S2 dan 40 tahun untuk lulusan S3. Hal paling ekstrem yang saya temukan adalah usia maksimal 28 tahun untuk pekerjaan sebagai sekretaris.
Pun tidak ubahnya dengan peluang beasiswa. Syarat maksimal umur yang dikenakan rata-rata juga berusia 40 tahun. Kalau boleh saya simpulkan, usia di atas empat puluh tahun nyaris tidak berpeluang untuk mencoba karier ataupun memulai kepakaran baru di Indonesia.
Usia hanya angka
Perspektif saya soal usia kepala tiga, dan usia tua, mulai berubah tatkala tinggal di Australia. Selama di sini, saya kerap menyaksikan berbagai orang-orang berusia jauh di atas 30 tahun, baik laki-laki maupun perempuan, bersemangat untuk melakukan berbagai aktivitas. Mulai dari menjadi sopir bis, pegawai di kafe dan restoran, berkemah, mendaki gunung, menulis buku, nge-gym, melancong, dan sebagainya.
Memasukkan batasan umur dalam berbagai peluang beasiswa, kuliah, dan pekerjaan jangan-jangan mengeliminasi bibit-bibit unggul yang baru muncul di usia yang tidak muda.
Secara mengejutkan, saya baru menyadari bahwa lowongan pekerjaan, kuliah, dan beasiswa di sini sama sekali tidak mensyaratkan batasan umur. Setua apa pun, semua orang berhak untuk mendaftar dan ikut berkompetisi. Saya bahkan beberapa kali menemui orang-orang di atas 30 tahun tidak segan-segan untuk mengambil kuliah S1 demi memperkaya wawasannya, dan tidak sedikit di antaranya sukses menjadi pakar di bidang yang baru mereka mulai ketika sudah tidak lagi muda.
Pernah juga suatu ketika, saya sedang mengambil kursus Bahasa Inggris di salah satu kampus di Brisbane, di mana program yang saya ikuti menyertakan para pengajar yang ternyata merupakan mahasiswa program studi pendidikan bahasa Inggris. Salah satu mahasiswa tersebut adalah seorang perempuan yang bahkan sudah nyaris memasuki masa lansia dan berpuluh tahun bekerja sebagai konselor di sebuah sekolah.
Ada juga seorang pria yang juga bertahun-tahun menapaki karier sebagai akademisi di sebuah universitas dan memutuskan untuk mencoba karier baru sebagai guru bahasa Inggris, yang itu berarti ia mesti belajar dari awal. Hal yang menakjubkan adalah tiada sedikit pun penyesalan di kedua sosok ini saat ditanya mengapa memilih banting setir di umur yang jauh dari muda, dengan pekerjaan sebelumnya bisa dikatakan telah mapan. Jawaban mereka seragam: Ingin belajar hal baru dalam hidupnya.
Baca juga: Sialnya Lulus Kuliah Saat Pandemi, Nantikan Pekerjaan yang Tak Pasti
Suami pernah bercerita bahwa saat ia masih menempuh program S2 di Inggris, ada salah satu temannya yang baru berkuliah S1 di usia empat puluhan dan beberapa tahun kemudian menjadi dosen di kampus tempat ia kuliah. Tidak hanya temannya tersebut, memulai kuliah di usia yang tidak muda merupakan peristiwa biasa di beberapa negara Barat. Saya dan suami berpikir bahwa memasukkan batasan umur dalam berbagai peluang beasiswa, kuliah, dan pekerjaan malah jangan-jangan mengeliminasi bibit-bibit unggul yang baru muncul di usia yang tidak muda.
Saya pernah membahas ini dengan beberapa orang dan kesimpulan yang mereka ambil semuanya senada. Kesimpulan itu adalah, orang-orang di Australia tidak pernah khawatir untuk menjadi tua. Menjadi tua adalah suatu keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Alih-alih meratapi diri lantaran sudah tidak lagi muda, orang-orang ini justru memilih untuk merengkuhnya dengan gembira.
Tidak ada masalah dengan menjadi tua karena sebenarnya hal tersebut tidak menjadi penghalang untuk mencoba pelbagai tantangan baru. Selama nyawa masih berada dalam tubuh, tidak ada kata sudah terlambat untuk belajar dan memulai karier yang berbeda. Satu lagi, menjadi tua tetaplah menarik.
Kini, kecemasan terkait usia yang selama ini menghinggap sudah jauh berkurang. Saya mulai belajar untuk menggandeng usia kepala tiga dan selanjutnya dengan penuh semangat. Saya memang sudah tidak remaja lagi dan saya bersyukur dengan hal tersebut.