Kumpulan ‘Orang Sakti’ Jabodetabek, Mereka Bisa Tidur Sambil Berdiri
Aku mencoba naik KRL dan Transjakarta di jam-jam sibuk. Hasilnya, aku makin hormat pada para pejuang rupiah yang tinggal di Jakarta coret.
Ketika memutuskan untuk bekerja di Jakarta, aku sudah menyiapkan beberapa wishlist. Wisata kuliner, nonton bioskop, melihat bundaran HI dari dekat (ternyata tidak sebesar yang aku lihat di TV), dan terpenting, pergi keliling Jakarta menggunakan transportasi umum. Mulai dari Transjakarta, Kereta Listrik (KRL), hingga Mass Rapid Transportation (MRT).
Untuk keinginan terakhir itu memang sudah aku niatkan sungguh-sungguh. Terlebih, tinggal di pulau kecil–yang dari ujung ke ujung kota bisa dijangkau dengan motor–membuat keinginan itu semakin menantang. Meskipun di lubuk hati, ada kecemasan takut tersesat atau bingung sendiri di jalan. Namun, bayangan menikmati ibu kota dari jendela kereta, menghemat waktu perjalanan tanpa kena macet, mengobrol hal random dengan orang asing, dan hal menyenangkan lainnya, terus muncul di kepalaku.
Kartu pembayaran elektronik sudah di tangan, aku lalu mencoba tiga moda transportasi umum selama sepekan terakhir. Rasanya? Gado-gado, tapi ternyata lebih banyak menangisnya.
Baca juga: Tips Tetap Tampil Kece Walau Naik Transportasi Umum
Naik Transjakarta Mengingatkanku akan Masa-masa Kuliah
Sabtu lalu, aku bersama dengan teman kantor memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar apartemen untuk menikmati senja. Ada Transjakarta yang melintas dengan rute melewati Kota Kasablanka Mal. Aku yang memang belum pernah naik Transjakarta, spontan mengajak teman untuk naik moda transportasi tersebut.
“Ini pertama kalinya aku naik Transjakarta,” ujarku disambut mimik kaget dari teman. Aku bilang padanya, di tempat tinggalku tidak ada transportasi umum. Semua penduduk di sana menggunakan kendaraan pribadi. Ada beberapa transportasi umum seperti bus, tapi hanya melayani penumpang yang ingin pergi ke luar kota saja. Itu pun terbatas jumlahnya.
Sebenarnya saat kuliah di Bandung, aku pernah naik transportasi umum, tapi Transjakarta ini benar-benar pengalaman berbeda. Dulu aku naik kendaraan semacam bus Damri rute sekitar Jatinangor. Pendingin ruangan (AC) mati nyala, jam layanan minim, fisik busnya relatif enggak layak, sehingga kami lebih senang menyebutnya “bus kaleng”.
Sementara, Transjakarta itu ibarat bus fancy dari versi yang pernah aku naiki di Bandung. AC menyala penuh. Kursi ada banyak, bahkan ada petugas resmi yang berjaga di dalamnya. Meski lebih nyaman dinaiki, tapi di jam-jam sibuk, seperti berangkat dan pulang kantor, tetap saja situasinya berbeda.
Aku mendengar pengalaman temanku yang harus berdesak-desakan saat naik Transjakarta. Jika ia tak bergerak cepat saat keluar dan masuk Transjakarta, orang di belakangnya akan siap sedia mendorong dari belakang. Antrean yang ambyar ini selalu diwarnai dengan aksi teriakan, keluhan, “Aduh, duh, jangan dorong-dorong, sabar.” Ada kesan terburu-buru di setiap naik kendaraan ini.
Pikiranku melayang ke kota asalku. Ah, betapa waktu berjalan begitu lamban. Tak ada orang sibuk bergegas, kerja secukupnya, istirahat secukupnya.
Baca juga: Saya Ngobrol dengan Lima ‘Anak Kereta’ Garis Keras Soal Pembedaan Tarif KRL
Pengalaman Naik MRT Membuatku Makin ‘Norak’
Aku sering melihat MRT ketika menonton drama Korea Selatan dan beberapa film luar negeri. Rata-rata negara maju seperti Amerika Serikat, Singapura, Jepang, dan Korea Selatan memang telah memiliki MRT untuk memudahkan transportasi bagi masyarakatnya.
Karena cuma bisa melihat lewat layar kaca, pengalaman naik MRT jadi bikin aku enggak bisa berhenti berdecak kagum. Satu kata yang pertama muncul di mulutku adalah: Canggih.
Aku naik MRT dari Stasiun Bendungan Hilir ke FX Sudirman. Saat berada di Stasiun Bendungan Hilir, aku merasa seperti berada di negara lain. Stasiunnya bersih, ada petugas yang siap siaga membantu penumpang kebingungan sepertiku. MRT-nya pun cukup terawat.
Kendati sama-sama transportasi umum, tapi MRT ini punya penumpang yang tak sebanyak penumpang Transjakarta. Jadi, di mataku, pengalaman naik MRT tetap relatif nyaman. Setidaknya, pendingin ruangannya berfungsi baik dan aku tak harus mendengar suara orang mengaduh atau memaki penumpang lain yang tak sabaran untuk naik dan turun kendaraan.
Pulang Pergi dengan KRL Mengubah Pandanganku
Eksperimenku tidak berhenti sampai di MRT. Di rapat editorial, aku disarankan editor untuk naik KRL di jam sibuk, dengan tujuan Bekasi, Depok, atau Bogor. Awalnya memang agak degdegan karena aku sering mendengar cerita tak menyenangkan dari para pengguna KRL di akun-akun Instagram.
Karena masih work from home (WFH) dan tempat tinggal dekat dengan kantor, aku memilih untuk menginap di rumah teman di Bekasi, dan naik KRL esok paginya.
Kami bertemu di Stasiun Sudirman pukul 17.00. Saat turun dari ojek online, aku terkejut sekali melihat orang-orang berlarian tergesa-gesa di antero stasiun. Baju mereka kusut, wajah kelelahan. Aku tahu mereka cuma ingin cepat pulang dan merebahkan badan. Sayangnya, aku juga tahu, jarak stasiun ke rumah masing-masing bahkan bisa ditempuh sejam sampai tiga jam-an.
Dalam hati, aku heran, bagaimana mungkin semua orang ini naik KRL yang sama denganku? Apakah KRL bisa muat dengan orang sebanyak ini? Pikiran-pikiran itu muncul di benakku.
Ketika temanku datang, kami langsung menuju ke peron untuk menaiki KRL tujuan Bekasi. Sebagai seorang introvert, kepalaku tiba-tiba merasa pusing karena melihat orang sebanyak ini berjejalan dalam KRL. Temanku ikut menyemangati, dan aku membalasnya dengan senyum kecut.
Di dalam kereta, aku berdesak-desakan dengan penumpang lain. Tak dapat tempat duduk, aku berdiri sangat rapat. Bahu kami terantuk satu sama lain. Aku pikir jika melepas pegangan sekali pun, aku takkan jatuh karena kondisi yang amat padat.
Pandanganku menyapu sekeliling. Ada yang tertidur sambil berdiri. Ada yang memeluk tasnya rapat dan menundukkan kepala. Ada yang bengong melihat langit-langit kereta. Ada yang terkantuk-kantuk. Ada yang “berbakat” main ponsel meski kondisi kereta sepadat ini. Rasanya, mustahil sekali bisa bergerak, tapi beberapa penumpang tampak santai menatap layar ponsel mereka, tak menghiraukan keadaan sekitar. Aku benar-benar takjub melihat pemandangan ini.
Baca juga: Saya Nonton Film Horor Kelas B: Ada Feminisme dalam Karya Amer Bersaudara
Keadaan semakin tak terkendali saat KRL transit di Stasiun Manggarai. Jika ada analogi ramainya KRL mirip ikan pepes yang berjajar, aku pikir mereka belum melihat kondisi dalam KRL. Ini melampaui ikan pepes, sebab mana ada ikan pepes yang bertumpuk-tumpuk tanpa jarak, alih-alih berbaris rapi dengan sedikit spasi. Satu bangku bermuatan tujuh orang bisa ditempati 8-9 manusia. Satu pegangan KRL bisa dijadikan tumpuan dua orang sekaligus. Mereka yang berdiri sibuk mengatur napas agar enggak sesak-sesak amat. Ada yang sempoyongan berpegangan bagian atas pintu yang sewaktu-waktu bisa membuka, dan berpotensi membahayakan penumpang. Ah, rasanya seperti neraka.
Aku yang baru sekali ini naik KRL, tidak bisa membayangkan betapa para pekerja itu mesti melewati rutinitas serupa setiap hari. Risiko sakit kepala, kelelahan, nyeri badan, meriang, kehujanan, polusi, sesak napas, menjadi bayangan yang terus membuntuti para pekerja dari kota satelit Jakarta.
Sayangnya tak banyak pilihan tersisa untuk para pejuang rupiah ini. Karena itulah tanpa bermaksud mengglorifikasi, salam hormat saya untuk kamu para pekerja Jakarta yang masih bertahan sejauh ini. Berdesak-desakan naik KRL, Transjakarta. Sementara, pengalaman sehari saya naik transportasi umum saja sudah bisa bikin diri merasa paling menderita sedunia.