Issues

Saya Ngobrol dengan Lima ‘Anak Kereta’ Garis Keras Soal Wacana Pembedaan Tarif KRL

Rencana pembedaan tarif KRL menuai polemik. Masyarakat mempertanyakan indikator perbedaan kelas dan khawatir itu bakal merugikan golongan tertentu.

Avatar
  • January 5, 2023
  • 7 min read
  • 645 Views
Saya Ngobrol dengan Lima ‘Anak Kereta’ Garis Keras Soal Wacana Pembedaan Tarif KRL

Akhir Desember lalu, Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi, mengumumkan rencana kenaikan tarif Kereta Rel Listrik (KRL) Commuter Line, bagi penumpang berpenghasilan tinggi. Mengutip BBC Indonesia, Budi mengatakan, “penumpang berdasi”–yang kemampuan finansialnya tinggi–seharusnya membayar dengan tarif lebih tinggi pula.

Budi menggunakan kata “dasi” sebagai indikator perbedaan kelas. Namun, belum ada tolok ukur pasti yang menggambarkan pengelompokan tersebut. Tentang siapa yang masuk dalam golongan berdasi, sungguh masih misteri ilahi.

 

 

Baca Juga: Pemisahan Gender pada Transportasi Umum, Perlukah?

Dalam wawancara bersama Kompas.com, Ketua Institut Studi Transportasi Darmaningtyas bilang, pengelompokan harus ditentukan berdasarkan batas pendapatan masyarakat. Namun, itu pun tidak mempermudah penerapan wacana pembedaan tarif KRL.

Rencana ini sendiri bertujuan supaya subsidi dari PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) tepat sasaran, yakni penumpang yang kelas ekonominya rendah. Sebab, selama ini KRL menerima subsidi dari pemerintah. Laporan KCI menunjukkan, subsidi pada 2021 senilai Rp1,99 triliun. Angka itu meningkat 28,3 persen dari 2020 sebesar Rp1,55 triliun.

Faktanya, sejak 2016 KRL tidak mengalami perubahan tarif, sedangkan biaya operasionalnya terus meningkat.

Sampai saat ini, tarif yang berlaku masih mengacu pada Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 17 Tahun 2018. Angkanya dipatok Rp3 ribu untuk 25 kilometer pertama, dengan tambahan Rp1 ribu setiap 10 kilometer selanjutnya. Sementara, tarif asli apabila tidak disubsidi senilai Rp10 ribu hingga Rp15 ribu sekali perjalanan. Namun, Budi memastikan selama 2023 tidak ada kenaikan tarif KRL.

Pertanyaannya, bagaimana sistem pembayaran akan dilakukan, apabila tarif dibedakan berdasarkan kelas sosial?

Budi menjelaskan, pembayaran dipisahkan berdasarkan kartu yang digunakan penumpang. Kendati demikian, belum ada penjelasan lebih lanjut mengenai rencana tersebut. Sebab, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) sedang mengaji pilihan kartu perjalanan yang disesuaikan dengan kemampuan membayar. Begitu pula dengan pihak dan sistem yang akan mengatur mekanisme verifikasi.

Wacana kenaikan tarif KRL sendiri sebenarnya telah dibicarakan sejak 2018. Saat itu, pembahasannya tentang menepatkan sasaran subsidi bagi pengguna. Pengamat Transportasi Djoko Setijowarno mengatakan pada Liputan6, saat itu pemerintah belum menanggapi wacananya dengan serius, boro-boro mensosialisasikan kepada publik.

Djoko mengungkapkan, pada 2018 Direktorat Jenderal Perkeretaapian juga telah mengaji penggunaan KRL Jabodetabek di akhir pekan. Hasilnya, lima persen pengguna menggunakan KRL untuk bekerja di Sabtu, dan tiga persen di Minggu. Sisanya untuk rekreasi, mengunjungi keluarga, dan menghadiri seminar.

Berdasarkan pola perjalanan di akhir pekan, Djoko melihat subsidi untuk tujuan wisata dapat dilepaskan untuk menghemat anggaran. Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan baru, yang mungkin masih dikaji pemerintah: Apakah hanya subsidi perjalanan tujuan wisata yang akan dihapus, atau subsidi bagi penumpang KRL yang berfinansial tinggi?

Lalu, bagaimana membedakan tarif berdasarkan kelas sosial dianggap solusi yang tepat?

Respons Publik terhadap Rencana Pembedaan Tarif

KRL masih menjadi moda transportasi pilihan sebagian masyarakat. Hal ini terlihat dari laporan PT KCI. Pada Januari-Agustus 2022, tercatat 538.537 orang setiap harinya menggunakan KRL untuk mobilisasi. Namun, laporan tersebut tidak membedakan penumpang berdasarkan kelas sosialnya.

Hal itu menjelaskan, mengapa tak sedikit warganet mengritik dan keberatan dengan rencana Kemenhub. Saya pun mengobrol dengan lima pengguna transportasi umum–KRL dan Transjakarta–terkait rencana ini. Mereka adalah Dicky (23), Nissi (23), “Ariani”–bukan nama sebenarnya–(26), Kitty (28), dan Christo (27).

Baca Juga: 2 Alasan Kenapa Orang Indonesia Malas Berjalan Kaki

KRL menjadi transportasi yang paling mudah diakses bagi Nissi. Setiap hari kerja, ia menggunakan moda transportasi tersebut dari Stasiun Cisauk menuju Stasiun Palmerah. Atau ke lokasi liputannya di bilangan Jakarta Pusat dan Jakarta Utara. Biaya yang dikeluarkan pun tak mahal, cukup Rp3 ribu hingga Rp7 ribu, Nissi sampai di tempat kerjanya.

Melihat rencana pembedaan tarif KRL, jurnalis video tersebut menyayangkan rencana pemerintah. Pasalnya, dengan menggunakan KRL, menurut Nissi masyarakat telah mendukung dan membantu pemerintah, dalam mengurangi polusi udara.

“Orang-orang berpenghasilan tinggi ya mungkin akan memilih naik mobil pribadi,” ujar Nissi.

Kemudian, ia melihat pembedaan tarif bisa jadi peluang kesalahan pendataan. “Yang harusnya dikenakan biaya tinggi, malah dikenakan biaya rendah. Begitu pula sebaliknya. Akibatnya merugikan salah satu golongan masyarakat,” tambah Nissi.

Serupa dengan Nissi, Christo sepakat dengan kerugian yang akan dialami suatu kelas. Menurutnya, yang akan terimbas adalah kelas menengah. “Ujung-ujungnya ya kelas menengah lagi yang jadi korban. Mungkin kelas atas akan gampang beli motor karena lebih efisien. Tapi yang (kelas) menengah ini beli motor enggakmampu, naik KRL juga harganya beda tipis,” tutur Christo.

Berbicara tentang kendaraan pribadi, akhir tahun lalu pemerintah juga menyatakan bakal menyubsidi motor listrik senilai Rp8 juta. Sementara, mobil listrik disubsidi sebesar Rp80 juta. Bukannya mengatasi, kedua rencana pemerintah tersebut malah berpotensi menambah kemacetan.

Kekhawatiran itu yang diungkapkan Dicky. Sebagai pengguna Transjakarta, ia meyakini warga Jabodetabek akan beralih ke kendaraan pribadi. Pasalnya, per 2021, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan ada 16,5 juta unit sepeda motor di DKI Jakarta. Disusul 4,1 juta unit mobil penumpang. Data itu memperkuat kemungkinan memburuknya arus lalu lintas di Jakarta.

Kemenhub sendiri pernah mengusulkan kenaikan tarif KRL sebesar dua ribu rupiah–menjadi lima ribu rupiah per 25 kilometer. Untuk 10 kilometer selanjutnya tetap seribu rupiah. Meskipun nominal kenaikannya tidak begitu besar, pengguna KRL tetap perlu menyesuaikan anggaran mereka untuk tarif tersebut.

Penyesuaian itu yang menurut Nissi akan berpengaruh cukup besar baginya. “Untuk menjangkau stasiun aja, saya ngeluarin biaya yang besar untuk ojek. Sekali jalan bisa Rp28 ribu, pulang pergi udah Rp50 ribuan,” katanya.

Apabila pemerintah mengesahkan wacana kenaikan tarif, Nissi akan tetap naik KRL. Pasalnya, ia tidak punya opsi transportasi umum lainnya untuk pergi ke kantor.

Kondisi serupa juga dialami Kitty. Perempuan berdomisili di Depok, Jawa Barat itu sesekali menggunakan ojek online sebagai last mile transportation, dari Stasiun Cawang ke kantornya di kawasan Gatot Subroto, Jakarta Selatan.

Dengan biaya Rp15 ribu, Kitty menggunakan transportasi itu sebagai pengganti Transjakarta ketika sedang terlambat. Sama halnya ketika Kitty sedang tidak membawa motor, dari rumah ke Stasiun Depok Baru. Namun, KRL tetap jadi pilihan utamanya, sekalipun kenaikan tarif diberlakukan. Pasalnya, ini paling efektif dibandingkan yang lainnya.

“Dari segi jarak stasiunnya lumayan dekat (dari rumah), tarifnya murah, dan cepat juga,” jelas Kitty.

Walaupun demikian, bukan berarti para narasumber menolak kenaikan tarif KRL. Mereka mempertimbangkannya dengan sejumlah kondisi. Yaitu peningkatan layanan, dan kenaikan tarif yang disamaratakan tanpa membedakan kelas.

Setuju Kenaikan Tarif, Asal Layanan Ditingkatkan

Menggunakan KRL sebanyak dua sampai tiga kali dalam seminggu, membuat Ariani cukup memerhatikan kondisi layanan dan fasilitasnya. Menurutnya, baik stasiun maupun KRL masih belum ramah disabilitas. Hal itu tampak dari situasi ketika penumpang harus berdesakkan, dan pintu gerbong yang cepat tertutup.

“Orang yang fisiknya sehat aja bisa kejepit. Apalagi difabel,” tegasnya. Ditambah sentralisasi Stasiun Manggarai, mempersulit pergerakan para lanjut usia (lansia), penyandang disabilitas, ibu hamil, ibu membawa anak, dan penumpang yang membawa barang berat. Sebab, sebagai stasiun sentral, ruang akses di Stasiun Manggarai masih terbatas.

Pada Mei lalu, KCI mencatat, pengguna KRL yang transit di Stasiun Manggarai berjumlah 120 ribu orang per hari, dalam kondisi Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Sementara, penumpang diharuskan transit dengan berpindah dari lantai satu ke tiga, maupun sebaliknya. Berkaca dari keadaan stasiun transit, tampaknya jalan alternatif dan tangga untuk berpindah peron perlu diperbanyak, untuk mengurangi kepadatan.

Baca Juga: Tips Hadapi Pelecehan Seksual di Transportasi Umum

Melihat realitas itu, Ariani berharap masyarakat bisa merasakan dampak positif dari kenaikan tarif KRL. Yaitu perbaikan fasilitas dan pelayanan. “Banyakin petugas yang jaga di dekat gerbong stasiun, biar siap siaga kalau ada lansia dan difabel,” ucapnya.

Keinginan yang sama turut diungkapkan Christo. Pria yang bekerja sebagai pegawai swasta itu berharap, ketersediaan kereta ditambah dan bisa datang tepat waktu, sebagaimana tertera pada informasi di peron dan aplikasi.

“Ini akan mempermudah penumpang, jadi tahu ketepatan datangnya. Apalagi di jam-jam sibuk, penumpangnya membludak sementara keretanya dateng tiap 20 menit sekali,” kata Christo.

Berdasarkan respons pengguna transportasi umum, semakin jelas pembedaan tarif KRL yang direncanakan pemerintah sangat menimbulkan polemik. Kenyataan itu dapat menjadi pertimbangan pemerintah, dalam mengaji kebijakan yang akan diluncurkan. Toh pada akhirnya, masyarakat yang akan terdampak dari kebijakan tersebut.



#waveforequality


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *