Health Lifestyle

Kisah Penyintas COVID-19: Dunia yang Tak Aman Bagi Perempuan

Penyintas COVID-19 berbagi cerita soal stigma dan diskriminasi yang mereka hadapi, terutama terhadap penyintas perempuan.

Avatar
  • February 9, 2021
  • 5 min read
  • 466 Views
Kisah Penyintas COVID-19: Dunia yang Tak Aman Bagi Perempuan

Menjelang pergantian tahun 2020 ke 2021, saya sempat mengeluhkan kondisi pandemi yang tidak kunjung usai. Sebagai seorang pengajar, lelah rasanya harus kembali bertemu secara virtual dengan para peserta didik tanpa bisa berinteraksi secara langsung dengan mereka. Namun, pergantian tahun yang menyimbolkan harapan baru turut membuat saya berintrospeksi diri dan bersyukur. Saya beruntung diberikan tubuh yang sehat dan pekerjaan yang tidak ada habisnya. Saya juga turut senang dengan hadirnya vaksin yang mudah-mudahan mampu menghentikan penyebaran COVID-19.

Kemudian saya jadi bertanya-tanya, apakah mereka yang menjadi penyintas COVID-19 juga berharap banyak tahun ini? Untuk itu, bulan lalu saya memutuskan untuk menghubungi para penyintas yang ada di tiga lingkaran sosial yang saya miliki—keluarga, teman, dan pekerjaan. Pada pertemuan virtual kami, saya bertanya apa saja stigma yang mereka alami dan harapan mereka setelah pergantian tahun terjadi.

 

 

Stigma dan Diskriminasi Karena Positif COVID-19

Penyintas pertama yang saya hubungi adalah salah satu rekan kerja saya, Asti. Ia diperkirakan mendapat paparan virus dari kluster keluarga. Asti berbagi pengalamannya yang menarik ketika menjalani proses penyembuhan di Wisma Atlet Kemayoran. Selain penanganan dan fasilitas yang baik, ia juga mendapatkan sejumlah teman baru. Berbagai kegiatan seperti lari pagi, bermain voli, dan senam turut mewarnai hari-hari Asti di sana. Selain itu, dukungan positif dari keluarga dan teman-teman juga sangat berarti baginya. Terlebih lagi Asti masih diizinkan untuk berpartisipasi dalam pekerjaannya secara daring agar dia tetap aktif dan tidak kalah oleh COVID-19.

Baca juga: Vaksin Bukan Satu-satunya: Puskesmas Garda Terdepan Penanganan COVID-19

Namun, Asti dan keluarganya menghadapi stigma akibat virus yang sempat menyerangnya. Selama dirawat, ayah Asti mendapat tekanan dari warga sekitar rumah mereka. Sulit bagi ayahnya untuk sekadar berolahraga di sekitar tempat tinggalnya tanpa menimbulkan perdebatan mengenai boleh atau tidaknya dia keluar rumah walaupun berstatus negatif COVID-19.

Asti pun mendapatkan gilirannya setelah berstatus negatif dan diperbolehkan pulang ke rumah. Tetangga-tetangganya terlihat segera menggunakan masker ketika melihat Asti. Padahal, baik berada di antara penyintas COVID-19 atau tidak, protokol kesehatan yang benar mengharuskan semua orang untuk mengenakan masker sebagai salah satu cara mengurangi penularan virus selama pandemi. Menurut Asti, tindakan keluarganya melapor sesuai prosedur kepada RT setempat justru mendatangkan diskriminasi. Ironisnya, hal ini tidak dialami tetangga Asti yang menutup-nutupi adanya penderita COVID-19 di keluarga mereka.

Baca juga: Untung Rugi Perempuan di Tengah Pandemi COVID-19

Stigma yang serupa dialami oleh teman saya, Syefri Luwis, sejarawan dengan peminatan wabah. Selain menerbitkan buku berjudul Epidemi Penyakit PES di Malang 1911-1916, kepakarannya juga digunakan untuk berbagi informasi dengan berbagai komunitas di media sosial serta menjadi narasumber untuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 pada bulan Juli 2020. 

Virus corona hinggap di tubuh Syefri setelah berhari-hari mengurus ibunya yang menjadi pasien COVID-19 di rumah sakit. Seperti Asti, Syefri dan keluarganya mengikuti prosedur kesehatan dan melapor sebagai warga yang baik. Namun, perilaku para tetangga tidaklah menyenangkan. Pagar rumah Syefri sempat diikat jaring sehingga tidak bisa dibuka. Mereka juga terburu-buru mengenakan masker ketika melihat Syefri dan anggota keluarganya. Padahal Syefri tahu persis bahwa tidak semua tetangganya sehat dan terhindar dari COVID-19.

Penyintas terakhir adalah sepupu saya, Sita Tyasutami. Sita, ibunya Maria Darmaningsih, dan kakaknya Ratri Anindyajati, dikenal sebagai Pasien 1, 2, dan 3 COVID-19 di Indonesia. The Jakarta Post menulis bahwa Sita berhak mendapatkan ucapan terima kasih dari masyarakat Indonesia. Berkat inisiatifnya untuk memeriksakan diri, Sita membantu Indonesia untuk lebih waspada di awal pandemi.

https://w.soundcloud.com/player/?url=https%3A//api.soundcloud.com/tracks/803608441&color=%23ff5500&auto_play=false&hide_related=false&show_comments=true&show_user=true&show_reposts=false&show_teaser=true&visual=true

Magdalene’s Mind · Episode 34- Di Garda Depan Pandemi- Dr. Debryna Dewi Lumanauw

Namun, alih-alih ucapan syukur dan dukungan, privasi Sita malah diganggu warganet. Foto-foto Sita disebar, dan ia difitnah serta dijadikan bulan-bulanan. Yang paling menyebalkan adalah citra Sita sebagai penari tradisional tidak ditampilkan. Fotonya ketika menari burlesque justru menjadi pilihan para perundung untuk melecehkan dan menuduh Sita sebagai pembawa COVID-19 ke Indonesia.

Tidak hanya Sita, sang ibu juga terkena imbasnya. Salah satu maestro tari Indonesia ini turut dicap murahan oleh warganet, padahal Maria bahkan sudah mendapatkan penghargaan Chevalier dans l’Ordre des Arts et Lettres dari pemerintah Perancis. Yang membuat saya lebih gemas lagi adalah ketika para perundung menuduh Sita, Maria, dan Ratri sebagai alat propaganda pemerintahan Joko Widodo.

Harapan Para Penyintas COVID-19 di Tahun 2021

Meski vaksin sudah hadir, Asti menyatakan bahwa penerapan 3M (memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak) harus dijaga dengan baik. Ia mengimbau agar kita semua mendukung pemerintah dengan tetap menjaga protokol kesehatan.

Berbeda dengan Asti, Syefri cenderung menuntut ketegasan pemerintah yang dapat dimulai dengan sosialisasi yang lebih baik. Menurutnya, penyebaran informasi menggunakan bahasa Inggris bukanlah metode pendekatan budaya yang tepat untuk merangkul masyarakat Indonesia selama pandemi. Selain itu, Syefri menyayangkan hadirnya pihak-pihak yang hanya mencari panggung tanpa menghiraukan kondisi darurat yang terjadi. Sehingga, walaupun sudah memiliki akses yang tepat, sulit bagi Syefri untuk bersuara dan membantu memperbaiki keadaan.

Baca juga: Bias Kelas dalam Diskursus Pemerintah soal COVID-19

Sita, sebagai korban perundungan di dunia maya, mengajak saya berpikir apakah kekejaman yang sama akan terjadi apabila Sita, Maria, dan Ratri laki-laki?

“Kita hidup di dunia yang tidak aman untuk perempuan. Kami tahu itu. Tapi dengan kasus ini, saya tambah sadar betapa tidak amannya dunia bagi kita,” ujarnya.

Ia merasa para perundung seolah-olah memiliki hak untuk “menguliti” tubuhnya dengan hinaan hingga ancaman kematian yang sudah mengganggu kesehatan mentalnya. Mungkin sulit untuk merealisasikannya, tetapi berpikir kritis dan sikap empati adalah harapan Sita dari masyarakat Indonesia baik selama dan sesudah pandemi.

Memasuki bulan kedua di 2021, pandemi belum juga pergi. Namun, melihat perjuangan ketiga penyintas membuat saya mau bangkit kembali. Mempertahankan protokol kesehatan demi diri sendiri serta orang lain sangat penting. Selain itu, dengan sudut pandang dari Asti, Syefri, dan Sita, semoga wawasan serta perhatian kita tidak merugikan penderita dan penyintas COVID-19, sembari terus mengawal perkembangan yang akan membawa kita semua menuju Indonesia yang lebih sehat.

Ilustrasi oleh Karina Tungari.



#waveforequality


Avatar
About Author

Retno Daru Dewi G. S. Putri