Issues

Belajar dari Bencana di Aceh, Yogyakarta: Perempuan Bantu Pulihkan Korban Lain

Belajar dari Aceh dan Yogyakarta, peran perempuan dalam program pemulihan bencana alam penting, karena meski jadi korban, mereka sebenarnya berdaya.

Avatar
  • May 10, 2021
  • 5 min read
  • 576 Views
Belajar dari Bencana di Aceh, Yogyakarta: Perempuan Bantu Pulihkan Korban Lain

Hingga pertengahan April 2021, sudah terjadi 1.125 bencana alam di Indonesia. Korban meninggal mencapai 475 jiwa, 60 lainnya dinyatakan hilang, sementara lebih dari 12 ribu orang mengalami luka-luka dan 4,9 juta orang mengungsi.

Dalam berbagai bencana, korban cenderung lebih banyak perempuan karena posisi sosial mereka yang terpinggirkan atau keterbatasan akses terhadap sumber daya.

 

 

Meski mereka lebih banyak menjadi korban bencana, perempuan sebetulnya juga memiliki keberdayaan dan memiliki peran penting dalam proses kesiapsiagaan bencana dan penanggulangan bencana.

Baca juga: Perempuan Paling Rentan Bencana, Tapi Luput dari Kebijakan

Penelitian yang saya lakukan pada bencana tsunami di Aceh, gempa di Bantul, Yogyakarta, dan gunung meletus di Yogyakarta menunjukkan hal ini. Jika perempuan berdaya, memiliki kesetaraan dan kesempatan berkembang di ruang publik, maka komunitas mereka akan lebih mampu bertahan dan pulih dari bencana. 

Saya melakukan penelitian menggunakan data-data primer dan sekunder yang dikumpulkan sejak tahun 2006 sampai dengan 2019.

Pengalaman Perempuan dari Bencana di Aceh dan Yogyakarta

Tiga bencana besar yang terjadi di Indonesia, yaitu tsunami di Aceh pada 2004; gempa bumi di Yogyakarta dan Jawa tengah, khususnya di Bantul pada 2006; dan letusan besar Gunung Merapi pada 2010 menunjukkan bagaimana hubungan gender bertautan dengan masalah kerentanan, ketahanan, dan pemulihan dari bencana.

Di Aceh, tsunami menerpa masyarakat yang saat itu sedang terlibat dalam salah satu konflik terpanjang di Asia Tenggara. Kondisi konflik dan tsunami mempengaruhi relasi gender dan posisi perempuan.

Konflik yang berkepanjangan menimbulkan banyak korban dan mengubah kondisi sosial masyarakat Aceh. Jejaring sosial, kepercayaan terhadap orang luar, dan solidaritas sosial menipis, mobilitas perempuan dalam ruang publik juga menjadi terbatas.

Perempuan yang terpinggirkan karena konflik di Aceh semakin tersudutkan setelah terjadi bencana. Penerapan hukum syariat juga ikut mempertajam diskriminasi dan marginalisasi terhadap perempuan.

Baca juga: Perempuan Lebih Rentan Jadi Korban Bencana Alam, Ini Solusinya

Walaupun perempuan tidak tinggal diam dan ada berbagai organisasi kemasyarakatan yang berusaha memberdayakan perempuan, proses ini cukup pelik dan menghadapi banyak tantangan.

Tsunami di Aceh memberikan pelajaran bahwa ketika bencana terjadi pada masyarakat yang dilanda konflik, dan perempuan menghadapi keterbatasan sosial baik di ruang privat maupun publik, maka peran perempuan dalam proses pemulihan bencana juga terbatas.

Dibandingkan dengan tsunami, gempa bumi di Bantul berskala lebih kecil dalam jumlah korban dan luas wilayah yang terkena dampak. Selain itu, ada perbedaan yang cukup besar pada kondisi masyarakat sebelum bencana.

Modal sosial dan budaya di Bantul lebih kuat karena tidak ada konflik terbuka dan berkepanjangan seperti yang terjadi di Aceh. Di sana, perempuan sejak lama telah berpartisipasi aktif dan menjadi penggerak kelompok-kelompok lokal.

Berbagai kelompok masyarakat cukup aktif, termasuk kelompok-kelompok sosial dan keagamaan yang dipimpin oleh perempuan dan beranggotakan perempuan. Kelompok-kelompok masyarakat, seperti arisan, pengajian, kegiatan gotong-royong merupakan contoh kelompok masyarakat yang menciptakan modal sosial yang cukup kuat.

Perempuan di Bantul juga sangat aktif dalam kegiatan ekonomi, seperti berjualan di pasar, membatik, berjualan makanan kecil dan memiliki warung. Kegiatan-kegiatan ini bukan hanya mengembangkan modal ekonomi, akan tetapi juga modal sosial dan kultural.

Berbagai macam modal dan pengetahuan yang mereka miliki sangat berguna ketika bencana terjadi dan dalam proses pemulihan. Sebagai contoh, segera setelah gempa di Bantul, perempuan yang tergabung dalam berbagai kelompok PKK dan pengajian mendirikan dapur umum, mengumpulkan sumbangan bersama, dan saling memberikan pertolongan di tenda-tenda darurat.

Bencana letusan Merapi pada 2010 menunjukkan situasi yang juga berbeda dari bencana di Aceh dan di Bantul. Letusan Merapi melibatkan ratusan ribu penduduk harus dievakuasi di penampungan-penampungan selama beberapa bulan, bahkan beberapa tahun, sebelum akhirnya sebagian dari mereka harus direlokasi secara permanen. Relokasi atau pemindahan massal memiliki potensi terjadinya perpecahan sosial.

Adaptasi sosial dan budaya membutuhkan waktu dan bisa menimbulkan berbagai konflik atau gesekan sosial, yang juga berimbas pada hubungan gender.

Perubahan mata pencaharian mempengaruhi hubungan sosial antara perempuan dan laki-laki. Banyak laki-laki yang kemudian bekerja di tambang pasir, sedangkan perempuan bekerja di sektor wisata, perdagangan, maupun pabrik atau perusahaan di sekitar tempat tinggal mereka.

Kelompok-kelompok sosial yang ada sebelumnya harus beradaptasi dengan perubahan yang ada. Tidak semua penduduk yang berasal dari satu kampung, semua pindah pada lokasi yang sama. Kelompok-kelompok sosial baru tumbuh dan posisi-posisi sosial dalam kelompok ini juga bergeser.

Walaupun kelompok-kelompok perempuan seperti arisan dan pengajian tumbuh kembali, sebagian harus membentuk kelompok-kelompok baru. Modal sosial dan modal budaya baru tumbuh dan berkembang, namun gesekan dan konflik juga memiliki potensi yang menghambat proses pemulihan.

Peran Perempuan dalam Program Pemulihan Bencana

Proses pemulihan dari bencana yang didasarkan pada prinsip pemberdayaan masyarakat merupakan pendekatan, yang lebih memungkinkan bagi perempuan berperan aktif, dibanding pendekatan top-down atau sentralistik dari pemerintah. Program-program ini juga lebih efektif ketika masyarakatnya tidak terlibat dalam konflik dan kekerasan.

Proses yang berdasarkan musyawarah dan memperhatikan pengetahuan lokal serta pelibatan lembaga-lembaga sosial yang telah ada, menjadikan masyarakat yang terlibat mempunyai “rasa memiliki.” Pelibatan kelompok-kelompok perempuan dan penguatan kelompok-kelompok ini dalam proses pemulihan dan tanggap bencana merupakan faktor penting.

Apabila masyarakat memiliki kesetaraan – termasuk kesetaraan gender, perempuan memiliki keberdayaan yang kuat untuk berpartisipasi dalam ranah publik, dan memiliki kesempatan untuk mengembangkan modal sosial, budaya, dan ekonominya, masyarakat tersebut juga akan lebih memiliki kesiapan dan ketahanan terhadap bencana.

Analisis terhadap struktur masyarakat dan hubungan-hubungan kekuasaan, termasuk hubungan kekuasaan berdasarkan gender menjadi penting agar program-program dan kebijakan yang ada tidak melanggengkan ketidakadilan dan ketidakberdayaan. Lebih dari itu, program pemulihan terhadap bencana bisa menjadi langkah awal bagi terciptanya perubahan sosial yang berkeadilan.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.



#waveforequality


Avatar
About Author

Siti Kusujiarti

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *