Health Lifestyle

Perempuan Mandul Masih Hadapi Stigma

Perempuan mandul masih sering disudutkan masyarakat dan mendapat stigma.

Avatar
  • November 5, 2020
  • 5 min read
  • 1810 Views
Perempuan Mandul Masih Hadapi Stigma

Isu infertilitas alias kemandulan menjadi salah satu momok bagi perempuan, apalagi bagi mereka yang sudah menikah dan tinggal dalam masyarakat yang menganggap banyak anak banyak rezeki. Hal ini juga menjadi mimpi buruk bila perempuan yang sudah menikah itu hidup dalam doktrin bahwa anak adalah generasi penerus impian orang tuanya.

Sebagai perempuan, perih rasanya harus hidup dalam stigma negatif masyarakat soal perempuan mandul. Setidaknya, itu yang masih saya rasakan selama menjalani sembilan tahun pernikahan meski perasaan perih itu saya kubur dalam-dalam.

 

 

Infertilitas adalah kondisi ketika perempuan tidak kunjung hamil walaupun telah melakukan hubungan seks dengan jadwal yang diperhitungkan secara saksama dan tanpa alat kontrasepsi selama satu tahun. Penyebab infertilitas sering kali kompleks, bisa tidak diketahui secara medis, namun tentunya tetap melibatkan kedua pihak, suami dan istri.

Di Indonesia, diperkirakan 20 persen pasangan suami-istri mengalami kondisi infertilitas. Angka kejadian infertilitas pada perempuan usia 30-34 tahun sebesar 15 persen, pada usia 35-39 tahun 30 persen, dan pada usia 40-44 tahun adalah 55 persen. Berdasarkan data dari Perhimpunan Fertilisasi In Vitro Indonesia (Perfitri) pada 2017, terdapat 1.712 pria dan 2.055 wanita yang mengalami infertilitas.

Nah, di sini perempuan mengalami persoalan internal yang kompleks juga dalam dirinya.

Terlalu banyak saran, pertanyaan, dan arahan yang dapat membuat perempuan secara psikologis merasa kewalahan dan lelah untuk mencoba menyembuhkan infertilitas. Kendati kemandulan itu bukan sepenuhnya penyakit, yang saya alami adalah saya yang harus jungkir balik mencari berjuta cara untuk hamil.

Baca juga: Hidup dengan Gangguan Reproduksi Perempuan dan Tuduhan Bukan ‘Perempuan Utuh’

Mau suami atau istri yang mandul, tetap perempuan lebih berat memikul gelar “ïnfertilitas” itu sendiri.

Kamu kerja, ya? Oh, kayaknya kamu kecapekan, deh!

OK, Bosque! Setelah setahun menikah, saya resign dan dua bulan saya sepenuhnya ada di rumah. Rasanya ya tetap capek. Capek menganggur, capek rutinitas itu-itu saja, capek ditanya orang tua, suami juga pasti capek ditelepon istri melulu karena istri bete di rumah.

Kerjanya jangan stres.

Saya mulai cari-cari definisi stres itu apa, sih. Ya, masa’ hidup enggak ada stresnya? Jadi istri sultan juga pasti dia stres—setidaknya stres kok duitnya enggak habis-habis.

Jadilah saya tetap bekerja karena suami saya juga paham saya tipikal istri yang biasa kerja kantoran dan menerima gaji sendiri tiap bulan. Tapi, selama ini seperti ada alarm yang mengingatkan saya untuk tidak jatuh stres lama-lama. Saya jadi takut untuk mengambil tantangan baru dalam pekerjaan, tidak mau ambisius, gampang menyerah waktu badan dan pikiran sudah letih, dan sering termenung lagi, lagi, dan lagi.

Kalau saya begini terus, karier saya akan datar saja, gaji tidak naik, pengalaman saya terbatas. Tapi, saya juga ragu untuk injak gas di pekerjaan demi “menjaga” kondisi tubuh dan pikiran supaya “tekanan berkurang”.

Perempuan mandul harus ke mana ketika dia berada di persimpangan jalan? Tetap jalan lurus ke depan. Saya, kamu, mereka, sudah sepatutnya memaafkan diri sendiri dan bersyukur atas yang semesta beri.

Tuh ‘kan, bergelut sama pikiran diri sendiri saja sulit. Mudah-mudahan mereka yang suka bertanya soal anak,sadar bahwa kami tidak sesantai itu menghadapi kemandulan.

Makan otak kelinci, minum air kelapa tapi suami yang panjat pohonnya sendiri, jangan kebanyakan makan tahu tempe, ikut aerobik, makan kurma muda, bla..bla..blaa

Kontemplasi tiada akhir selalu menjadi kebiasaan para perempuan yang mandul. Dari menempuh beragam langkah medis, pengobatan alternatif, sampai berhadapan dengan mitos aneh-aneh. Di sini, perempuan mandul diuji kedisiplinannya untuk mengikuti semua saran dan diasah ketetapan hatinya untuk selalu istikamah melakukan usaha program-program hamil. Tapi ya, kalau otak lagi korselet, rasanya kayak berdiri di lorong super panjang nan gelap, dan rasanya sudah berjalan jauh tetapi tidak menemukan ujung terangnya.

Punya pilihan sendiri

Perempuan ada kedaluarsanya. Mumpung belum menopause, jangan menolak kalau ‘diajak’ suami. Siapa tahu hamil….

Jumlah telur perempuan memang berkurang seiring bertambahnya usia. Kondisi ini juga menurunkan peluang untuk hamil. Menurut National Institute on Aging (NIA), AS, menopause terjadi 12 bulan setelah seorang perempuan mengalami menstruasi terakhir. Ketika tidak sedang menstruasi, sistem reproduksinya juga berhenti dan tidak bisa hamil secara alami setelah menopause. Setelah menopause terjadi, keseimbangan hormon juga akan berubah secara permanen. Umur perempuan mencapai menopause berbeda-beda. Namun, ini biasanya terjadi sekitar usia 40an hingga 55 tahun.

Baca juga: Krisis Polusi Udara di Jakarta Bisa Ancam Kesehatan Reproduksi Perempuan

Di luar pembahasan agama, saya dengan senang hati melayani kebutuhan biologis suami kapan pun dalam kondisi apa pun. Tapi, setiap perempuan memiliki kondisi berbeda-beda dalam hubungan seksual dengan suaminya. Bagaimana jika perempuan tersebut menolak ajakan suami karena satu dan lain hal? Bukankah sebenarnya perempuan itu berhak sepenuhnya atas tubuhnya sendiri?

Apakah tujuan dua manusia menikah hanya karena kepingin anak? HANYA sebatas itu?

Akhirnya, dengan segala kepusingan dengan percakapan internal di kepala sendiri, pertanyaan itu terlintas seiring dengan bertambahnya usia pernikahan.

Hidup mati di tangan Tuhan. Lantas, apa alasan Tuhan tidak memberikan anak pada pasangan-pasangan mandul tersebut? Tuhan menjadi sandaran untuk napas sejenak dan tempat memohon. Atau Tuhan menjadi alasan untuk disalahkan?

Perempuan mandul sebetulnya tetap memiliki pilihan atas dirinya sendiri. Terlepas dari suami mendukung atau tidak, saya pikir perempuan harus tahu apa yang harus dia lakukan untuk hidupnya sendiri. Saya pun sampai sekarang berkunjung ke dokter spesialis kandungan bukan karena “desperate” mau hamil. Tapi, saya tahu dan sadar saya harus menjaga kesehatan sistem reproduksi saya.

Meski di kepala saya tertanam bahwa kalau-hamil-itu-rezeki-kalau-enggak-ya-jalanin-aja, saya masih menghela napas panjang ketika tiap bulan menerima tamu menstruasi.

Lalu, si perempuan mandul harus ke mana ketika dia berada di persimpangan jalan? Tetap jalan lurus ke depan. Saya, kamu, mereka, sudah sepatutnya memaafkan diri sendiri dan bersyukur atas yang semesta beri.



#waveforequality


Avatar
About Author

Adelia Risyani

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *