Perkara Hijab hingga Anti Kekerasan: Cara Voice of Baceprot Berdaya
‘Band’ metal trio perempuan berhijab, Voice of Baceprot sekali lagu membuktikan bahwa mereka perempuan berdaya. Hijab salah satunya.
Secara stereotipikal band metal identik dengan maskulinitas, kultur urakan, dan simbol setan. Namun, Voice of Baceprot (VoB), band metal perempuan asal Garut, menjadi sebuah anomali. Trio Firdda Marsya, vokalis sekaligus gitaris, pemain bas Widi Rahmawati, dan penabuh drum Euis Siti Aisyah mengenakan hijab dan merepresentasikan keragaman perempuan Muslim.
Belum lama ini, band yang dibentuk 2014 silam itu mengepakkan sayapnya lebih lebar dengan tur Fight, Dream Believe yang digelar di empat negara Eropa, Belanda, Belgia Perancis, dan Swiss sejak akhir November. Konser tersebut tidak hanya mewujudkan mimpi VoB berkancah di ranah internasional, terlebih lagi masa pandemi yang menunda keinginan mereka tampil di panggung internasional. Tetapi, menunjukkan kalau perempuan Muslim berhijab dari Indonesia handal bermusik.
Mengutip dari BBC, Widi mengatakan, “Ini, tuh konser yang saya tunggu-tunggu lho selama beberapa tahun. Karena Corona, jadi enggak ada panggung yang ada penontonnya langsung. Jadi pas tadi lihat penonton senang banget.”
Awal mula dibentuknya VoB juga tidak kalah mengagumkan dan berkaitan dengan kritik sosial. Saat masih duduk di bangku SMK, Firdda menulis esai yang memprotes mengapa siswa harus dihukum saat terlambat datang ke sekolah, sementara guru tidak menerima sanksi sama sekali. Sayangnya esai protes tersebut “dibredel” oleh pihak sekolah karena terlalu kritis. Namun, di momen itu juga Firdda, Widi, dan Euis jatuh cinta dengan musik metal.
Dengan bantuan Abah Esra, ketiganya mulai belajar memainkan musik metal dengan instrumen yang dimodifikasi sendiri dan berkancah di ranah musik cadas. Kritik atas lingkup pendidikan Indonesia juga mereka sampaikan lewat lagu “School Revolution” yang alih-alih mengajak anak untuk berkembang, malah mematikan mimpinya.
Baca juga: ‘We Are Lady Parts’: Perempuan Muslim ‘Ngepunk’, Kenapa Tidak
Sepanjang bermusik pun VoB tidak melupakan identitasnya, Baceprot yang artinya berisik dari Bahasa Sunda serta perempuan yang mengadvokasikan pemberdayaan untuk sesama perempuan. Namun, aspek yang membuat VoB menarik perhatian dan diapresiasi tidak hanya karena itu saja, tetapi beberapa hal lain yang mereka representasikan lewat musik hingga jati dirinya, seperti berikut:
1. Hijab Bukan Tanda Opresi
Bak air yang tidak bisa bercampur dengan minyak, hijab dan musik metal dipandang sebagai sesuatu yang berlawanan dan mustahil untuk bersatu. Kehadiran VoB tentunya mematahkan pendapat itu. Meski demikian, hijab dan metal yang dicap sebagai ‘aliran setan’ dijadikan masalah saat VoB bermusik.
Dalam wawancaranya bersama KBRI Belgia, Firdda menyatakan sebagai perempuan berhijab, memainkan musik metal selalu menjadi permasalahan. Namun, dia yakin identitasnya sebagai Muslim bisa jalan saling bergandengan dengan memainkan musik yang keras.
Selain itu, dalam videonya yang viral beberapa waktu lalu ia juga mengatakan, saat tampil di Eropa ajakan wawancara tidak lepas dari pertanyaan tentang hijab yang dikenakan ketiga perempuan itu. Firdda pun menegaskan di hadapan penonton yang siap menyaksikan aksi panggung VoB kalau karya musik mereka yang sepatutnya disorot bukan tentang mengenakan hijab,
“Ini membuat saya merasa kami datang untuk acara fesyen karena mereka fokus pada penampilan kami saja.”
Jika ada yang berkomentar tentang hijab dan pilihan mereka untuk bermusik, VoB akan membalasnya dengan karya. Bagi mereka hijab pun bukan sesuatu yang mengekang, tetapi memberi kenyamanan.
“Jadi saya bilang sekarang, (tur konser) tidak hanya untuk membuat mimpi kami kenyataan, tapi juga menunjukkan hijab adalah bukti dari kedamaian, cinta, dan tentu saja kecantikan,” ujarnya sebelum VoB mulai memainkan lagunya.
Baca juga: The Linda Lindas: Band Anak Perempuan Punk Lawan Rasialisme, Seksisme
2. Perempuan Bisa Main Musik Cadas
Sebagai perempuan VoB tentunya tidak mau dibatasi. Ini sekaligus menunjukkan kalau perempuan Muslim juga bisa bermain musik cadas dengan handal. Firdda, Euis, dan Widi hadir untuk melawan stigma tentang perempuan Muslim dan menampilkan keragaman. Selain itu, dalam lagu-lagunya sering disampaikan pesan tentang pergerakan perempuan yang diangkat dari pengalaman mereka sehari-hari.
“Karena yang kita rasakan seperti main musik dan hijab masih diributin. Makanya lewat lagu menyuarakan tentang toleransi, pergerakan perempuan dan bebas memilih yang dia mau,” kata Firdda.
Jika melihat daftar musiknya, lagu “Please God Allow Me to Play Music” berasal dari perasaan risi VoB yang pilihannya untuk bermusik selalu dipermasalahkan, apalagi karena trio itu mengenakan hijab. Alih-alih terjebak dalam debat kusir, VoB menuangkan keresahan itu dalam musik cadasnya.
Tidak hanya itu, VoB juga menciptakan “Perempuan Merdeka Seutuhnya” yang merupakan bentuk kritik budaya patriarkal yang mengekang perempuan, dianggap lemah yang kemudian diobjektifikasi.
Perempuan yang muak dengan segala norma atau nilai yang melemahkan pemberdayaan itu juga menunggu dunia tentram dan aman yang disampaikan dalam liriknya: Menampikkan neraka syahwatmu/ Dunia hangat menjelma/ Terbentang surga damai hidup/ Seakan mimpi jadi nyata/ Ku tak perlu segala sabda fasis mulutmu/ Yang ku mau, dunia damai penuh warna.
“Saya pikir apa yang ingin kami sampaikan untuk perempuan muda di Indonesia untuk tidak takut menjadi beda. Jangan takut menjadi independen,” kata Firdda dalam artikel Three Hijabe 16 Year Olds Now an Unlikely Heavy Metal Rock Stars oleh Magdalene.
Baca juga: Mengenal Amina Wadud, Bintang Rock Feminisme Islam
3. Anti-Kekerasan Seksual
Dalam perjuangan bermusiknya merepresentasikan dan mengajak pemberdayaan perempuan dan keragaman perempuan muslim berhijab, VoB juga anti dengan kekerasan seksual. Menyorot kasus pemerkosaan santri di Bandung dan pemaksaan aborsi NWR, VoB dalam tur konser Eropa menyampaikan keresahan mereka atas kasus kekerasan seksual.
“Saya merasakan kesakitan itu dan saya tahu betapa sulitnya mencari ruang aman untuk perempuan di dunia ini. Karenanya, kami di sini tidak hanya bermain musik. Tapi juga bertarung untuk mencari ruang aman bagi perempuan di mana pun mereka berada,” ujar Firda.
Keinginan untuk menciptakan ruang aman bagi perempuan itu pun sejalan dengan skena musik cadas yang tidak aman bagi musisi maupun penggemar perempuan. Ruang aman untuk perempuan tersebut pun menjadi advokasi yang diperjuangkan tidak hanya sekali, tetapi terus berlanjut.
“Untuk saudara perempuan kami di luar sana, please be strong dan kamu tidak sendirian,”