December 5, 2025
Issues Politics & Society

Yang Perlu Kita Soroti dari Pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon

Meski sempat dikritik massal terkait pernyataannya yang menafikkan kasus pemerkosaan Mei 1998 di TV nasional, Menteri Kebudayaan Fadli Zon tampak masih belum mau mengubah pandangannya.

  • July 11, 2025
  • 6 min read
  • 1404 Views
Yang Perlu Kita Soroti dari Pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon

Dalam Rapat Sidang Komisi X DPR RI, Rabu (2/7), Menteri Kebudayaan Fadli Zon kembali menegaskan bahwa buku sejarah baru tidak akan membahas Peristiwa Mei 1998. Menurutnya, peristiwa itu hanya satu snapshot kecil, sementara buku sejarah membahas satu arkeologi sejak era reformasi yang selama ini belum tertulis, seperti pencapaian pemilu, dan sebagainya.

Selain itu, Fadli juga masih memperdebatkan diksi “massal” dalam kasus pemerkosaan Mei 1998. Menurutnya, diksi massal identik dengan terstruktur dan sistematis. Ia mencontohkan pembantaian warga sipil di Nanjing, Cina, yang dilakukan Tentara Jepang. Ia juga menyebut pembantaian oleh Serbia terhadap warga muslim Bosnia yang korbannya mencapai 50.000. Situasi itu yang menurutnya tidak terjadi di sini.

Dalam pernyataan itu, Fadli tidak hanya membandingkan tragedi. Ia juga terlihat seolah mengaburkan kenyataan serius dari kasus pemerkosaan 1998. Mengapa tragedi harus menunggu jumlah korban “ribuan” agar diakui sebagai “massal”? Apakah 52 korban pemerkosaan Mei 1998 belum cukup membangkitkan tanggung jawab kolektif?

Menurut Bivitri Susanti, Pakar Hukum Tata Negara sekaligus Dosen STH Indonesia Jentera, pernyataan itu adalah bentuk ketidakpahaman terhadap paradigma massal atau masif yang dalam hal ini tidak tergantung pada jumlah.

Baca juga: Dear Menteri Fadli Zon, Empati Bukan Opsional bagi Korban Kekerasan Seksual

“Kalau pun jumlahnya lebih sedikit dari yang dilaporkan, tapi yang disasar kelompok etnis tertentu (keturunan Tionghoa) yang tujuannya untuk meneror itu sudah masuk kategori massal. Banyak literatur yang membahas cara-cara teror pada etnis tertentu, pemerkosaan massal salah satunya. Jadi tidak perlu diperdebatkan,” terang Bivitri kepada Magdalene dalam wawancara via Zoom (8/7).

Dengan menambahkan keterangan “diskusi 20 tahun”, Fadli seolah mengimplikasikan bahwa pemerkosaan ini belum juga terbukti. Diskusi panjang dan lama masih tidak meyakinkannya atas upaya pembuktian yang ada.

Fadli juga menyandingkan “kita sangat menghormati” dan “di dalam buku sejarah itu soal pergerakan perempuan itu luar biasa” dengan “sudah diskusi ini 20 tahun lebih”. Pernyataan ini kontradiktif. Pengakuan terhadap peran perempuan dalam sejarah tidak sama dengan menutup mata terhadap kekerasan seksual yang terjadi di masa lalu,. Apalagi jika korbannya belum pernah mendapat keadilan.

Mengakui hebatnya pergerakan perempuan ≠ Mengakui adanya pemerkosaan massal dan sejarah kelam kekerasan seksual.

Dalam pernyataan di atas, alih-alih menempatkan pemerkosaan massal sebagai kejahatan HAM serius, Fadli masih menganggap tragedi ini sebagai “narasi” yang tidak memiliki fakta hukumnya. Padahal, penanganan kasus kekerasan seksual tidak bisa disamakan penyidikan kasus pidana lainnya–terutama setelah UU TPKS disahkan. UU itu adalah instrumen penting untuk paham bahwa penanganan KS yang baik berlandaskan pada narasi korban.

Bivitri juga menyebut, mempertanyakan ada tidaknya data adalah pemahaman yang salah kaprah. Menurutnya, dalam pencatatan “massal” harus memakai dua paradigma, yaitu kekerasan seksual dan hak asasi manusia. 

Paradigma kekerasan seksual adalah berpihak pada korban dan melindungi identitas korban. Lalu, harus dipahami pelanggaran HAM pada saat itu sifatnya masif sehingga pencatatan harus digabungkan dengan apa yang terjadi pada Mei 1998, seperti penembakan dan segala macam pelanggaran HAM lain. 

“Makanya pemeriksaan HAM dan penyelidikan kasus pelanggaran HAM itu metodenya beda, tidak bisa didekati dengan cara akademik,” tambahnya.

Cara pandang yang masih menuntut korban untuk membuktikan kebenaran adalah bentuk dari victim blaming itu sendiri. 

Pasal 67 ayat (1) dan (2), UU TPKS No. 12 Tahun 2022 sudah jelas menyebut pemenuhan hak korban yang meliputi hak atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan merupakan kewajiban negara. Namun, bagaimana hak-hak korban bisa terpenuhi jika negara justru masih mengadopsi pandangan victim blaming dan tidak berpihak pada korban?

The peak of negara enabler: bukannya menyoroti kegagalan negara dalam menindak pelaku dan menciptakan ruang aman bagi korban untuk bersuara, Fadli malah mempermasalahkan “kesulitan pembuktian”. 

Baca juga: 5 Fakta yang Jarang Dibicarakan dari Pemerkosaan Massal 1998

Padahal, sudah banyak laporan dan liputan yang mengkritik penegakan hukum di negara kita yang tak berpihak korban saat menangani kasus kekerasan seksual. Problem besar negara enabler dan penegakan hukum tak berpihak korban ini yang melahirkan UU TPKS

Di sisi lain, pembuktian soal pemerkosaan massal sebetulnya sudah banyak. Selepas, pernyataan kontroversial Fadli Zon yang meng-gaslight korban perkosaan dan warga negara, bukti-bukti itu disebar banyak pihak di media sosial. 

Dengan menyebut Tragedi Mei 98 sebagai “snapshot kecil”, Fadli ikut melanggengkan narasi dominan yang mencoba melupakan trauma kolektif bangsa. Padahal pembantaian massal, pemerkosaan, dan pembakaran selama kerusuhan adalah momen kritis dalam sejarah transisi demokrasi kita.

Dalam konteks pendidikan kebudayaan, penghapusan atau pengaburan peristiwa traumatis seperti ini adalah bentuk reviktimisasi korban. Seperti yang tercatat dalam berbagai studi tentang kekuasaan dan impunitas, negara sering kali menggunakan penyangkalan sejarah sebagai instrumen politik untuk mempertahankan otoritas dan menekan tuntutan keadilan yang datang dari rakyat sendiri.

Stanley Cohen dalam bukunya States of Denial: Knowing about Atrocities and Suffering membagi jenis penyangkalan menjadi tiga: literal denial (penyangkalan langsung atas suatu fakta), interpretative denial (pengaburan makna melalui penggunaan istilah atau eufemisme) dan implicatory denial (tidak menyangkal fakta yang terjadi tapi menyangkal dampak secara psikologis, politis, dan moral)

Pernyataan Fadli yang memutuskan tidak akan menulis Tragedi 1998 secara implisit dibaca sebagai bentuk literal denial karena menghapus penanda atau pengaburan peristiwa yang terjadi di masa lalu. Sementara perdebatan diksi “massal” yang dianggap tidak tepat, mengarah pada bentuk interpretative denial—upaya memperhalus peristiwa kekerasan seksual sistematik yang menimpa perempuan etnis Tionghoa.

Terakhir, meski Fadli tidak menyangkal kekerasan seksual yang terjadi, tetapi masih berpegang pada “fakta hukum” menggambarkan implicatory denial, yakni pengabaian dampak psikologis, politis, dan moral dari kejahatan peristiwa tersebut.

Dalam International Catalan Institute for Peace, Theo van Boven menegaskan pentingnya prinsip-prinsip PBB tentang penghapusan impunitas serta pemenuhan hak dan pemulihan bagi korban. Prinsip ini menekankan akuntabilitas dan pengakuan merupakan hak korban sekaligus kewajiban negara. Termasuk kewajiban menjaga ingatan kolektif atas peristiwa pelanggaran HAM. Namun, menurutnya, penyangkalan negara terhadap pelanggaran masa lalu justru jadi hambatan utama mewujudkan prinsip tersebut, karena penyangkalan akan menghalangi korban memperoleh hak-haknya. 

Hal ini memunculkan pertanyaan penting soal tanggung jawab negara dan pengakuan terhadap korban. Padahal, beberapa negara maju telah “mengakui kejahatan HAM mereka”, contohnya Belanda dan Kanada.

Dalam hukum Indonesia, banyak kasus kekerasan seksual berhenti di tengah jalan bukan karena tidak terjadi, tapi karena aparat penegak hukum (APH) tidak berpihak pada korban atau malah menjadi bagian dari sistem yang menyalahkan korban.

Bagaimana bisa Fadli masih terus menuntut “fakta hukum” dalam pemerkosaan Mei 1998, jika Komnas Perempuan dan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) kesulitan mendapatkan data karena APH tidak menyediakan perlindungan dan ruang aman bagi korban? 

Pernyataan Bersama Komnas Perempuan dan LPSK tentang 22 Tahun Peringatan Tragedi Mei 1998 menyebut, Komnas Perempuan mencatat selain aspek budaya dan pilihan personal, sikap membungkam korban sangat dipengaruhi dinamika politik yang tidak menunjukkan keberpihakan pada korban.

Baca juga: Dari Femisida ke Feminisida: Kegagalan Negara yang Bunuh Perempuan

Ancaman dan Teror Pengungkapan Kasus

Dalam laporan Magdalene berjudul 5 Fakta yang Jarang Dibicarakan dari Pemerkosaan Massal 1998, sejak TGPF dibentuk 23 Juli 1998, teror mulai menyasar korban, keluarga, tenaga medis, dokter, hingga warga etnis Tionghoa secara luas. 

TGPF mencatat teor ini dilakukan secara sistematis, dengan pola brutal khas militer Orde Baru. 

Kita tentu ingat kasus Ita Martadinata, aktivis HAM yang tergabung di Tim Relawan untuk Kekerasan Terhadap Perempuan (TRKP). Ita dibunuh secara tragis sebelum sempat memberi kesaksian di sidang PBB mengenai tragedi pemerkosaan massal Mei 1998. 

Sampai saat ini, pelaku pembunuhan Ita belum terungkap. Dalam Ita Martadinata: Remembering the victims of the May 1998 Tragedy, kematian Ita disebut sulit dibuktikan sebagai pembunuhan lantaran pernyataan ahli forensik Mu’nim Idris yang bilang Ita “terbiasa berhubungan seks”. Artikel ini juga menyoroti sulitnya mencapai keadilan bagi korban Tragedi Mei 1998.





About Author

Sonia Kharisma Putri

Sonia suka hal-hal yang cantik dan punya mimpi hidup berkecukupan tanpa harus merantau lagi. Sekarang lebih suka minum americano daripada kopi susu keluarga.