PKB Dukung RUU PKS Disahkan Tahun Ini
Partai Kebangkitan Bangsa yakin RUU PKS dapat disahkan tahun ini, namun dukungan publik masih tetap dibutuhkan.
Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyatakan siap mendukung Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) agar bisa disahkan tahun ini.
Ketua Fraksi PKB, Cucun Ahmad Syamsurijal mengatakan, RUU PKS sudah ada di posisi aman karena telah masuk dalam prioritas program legislasi nasional (Prolegnas) 2021.
“Saya akan terus mendukung pembahasan RUU ini. Saya rasa juga tidak ada masalah untuk masuk dalam (sidang) paripurna. Harapannya di masa sidang nanti materi sudah siap, pembahasan sudah jalan, dan tidak menuju jalan berkelok-kelok lagi,” ujarnya dalam Focus Group Discussion “Tok RUU PKS” yang dilaksanakan secara daring dan luring di Ruang Fraksi PKB Gedung Nusantara I DPR RI, (9/2). Diskusi tersebut merupakan inisiatif PKB, bekerja sama dengan The Body Shop Indonesia untuk mendorong pengesahan RUU PKS.
Anggota Badan Legislatif (Baleg) DPR, Nur Nadlifah mengatakan, dukungan PKB didasarkan pada banyaknya kasus kekerasan yang tidak tertangani secara menyeluruh dan bersifat kompleks. Ia mengatakan bahwa ia berharap dukungan untuk RUU PKS terus berlangsung karena PKB sebagai fraksi yang aktif mengawal legislasi ini telah diberi cap negatif oleh publik dan menghadapi perundungan ketika aturan itu tidak disahkan tahun lalu.
“Dengan dukungan dari seluruh pegiat dan pejuang perempuan dan anak, semoga pembahasan yang akan datang dapat meluruskan kendala RUU KS yang harus segera disahkan,” ujarnya.
Aryo Widhiwardhono, CEO The Body Shop Indonesia, mengatakan The Body Shop mendukung RUU PKS karena memiliki komitmen untuk memberikan perubahan baik bagi lingkungan sosial.
“Ini adalah tugas kami sebagai masyarakat. Kami juga melakukan advokasi karena 86 persen karyawan kami adalah perempuan yang rentan menjadi korban kekerasan seksual,” ujarnya.
Baca juga: Kaukus Perempuan Parlemen Himpun Dukungan, Strategi untuk Sahkan RUU PKS
Upaya lain yang dilakukan The Body Shop ialah bekerja sama dengan Komisi Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) untuk mengumpulkan 589 sepatu penyintas kekerasan seksual atau kampanye “Shoes in Silence”. Selain itu, bersama Magdalene, Makassar International Writers Festival, dan Yayasan Pulih telah menggelar seri webinar tentang kekerasan seksual dengan beberapa universitas di Indonesia.
“Kami juga menginisiasi petisi untuk mendorong pengesahan RUU PKS yang sudah mengumpulkan lebih dari 200.000 tanda tangan. Semoga Maret nanti kami bisa mendapatkan lebih banyak,” ujarnya.
Sebelumnya, The Body Shop Indonesia telah mendukung Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) untuk memperjuangkan UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT). Perusahaan ini juga telah turut mendesak pemerintah meratifikasi UU Perdagangan Anak bersama ECPAT Indonesia, sebuah jaringan global yang menentang eksploitasi seksual anak.
RUU PKS Dibutuhkan Karena Berperspektif Penyintas
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, I Gusti Ayu Bintang Darmawati mengatakan, pihaknya telah mendapat amanat untuk menurunkan kasus kekerasan yang harus diselesaikan hingga 2024.
“Jika kekerasan seksual tidak segera diatasi, kita akan semakin jauh dari cita-cita pembangunan nasional khususnya agenda peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai agenda pembangunan untuk 2024 mendatang,” ujarnya, dalam rekaman video yang diputar dalam diskusi fraksi PKB.
Ia menambahkan, pengesahan RUU PKS tidak dapat ditunda karena dasar penyusunannya telah memenuhi syarat secara filosofis sesuai Pancasila dan UUD 1945; secara sosiologis karena sadar akan fakta banyaknya penyintas kekerasan seksual; dan secara yuridis karena mengisi kekosongan hukum dengan memberi pencegahan, penanganan, dan rehabilitasi yang berperspektif penyintas serta memberi efek jera pada pelaku.
Baca juga: INFID: Lebih 70 Persen Responden Setuju RUU PKS Disahkan
“Sangat dibutuhkan UU yang berperspektif penyintas kekerasan seksual karena mereka kerap mengalami stigmatisasi sosial, dianggap aib bahkan orang terdekat menutup-nutupi kasus kekerasan yang dialami. Ada diskriminasi ganda dan diskriminasi berlapis,” ujar Bintang.
Ia mengatakan bahwa ia berharap diskusi ini mampu menjadi solusi dalam menyamakan persepsi dan mencegah misinterpretasi lebih lanjut tentang RUU PKS.
Penolakan terhadap RUU PKS
FGD yang diadakan oleh Fraksi PKB juga menghadirkan perwakilan kelompok yang selama ini kontra dengan RUU PKS. Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Bidang Ketahanan dan Pemberdayaan Keluarga, Euis Sunarti mengatakan, pihak yang melakukan kritik terhadap RUU PKS bukan berarti tidak peduli dengan korban kekerasan seksual. Namun, kritik merupakan masukan aspirasi masyarakat agar tidak ada aturan yang menabrak nilai agama, moral, dan mendatangkan hasil yang tak diinginkan atau bahaya.
“Komponen masyarakat yang mengkritik tidak bisa disimplifikasi seperti itu. Kita semua setuju untuk menolak eksploitasi, perbudakan seksual. Tidak ada orang normal yang setuju dengan kekerasan seksual. Persoalannya, bagaimana kekerasan didefinisikan (dalam RUU PKS) itu yang menjadi penting,” ujarnya.
Ia menjelaskan frasa “perbuatan lainnya” yang terdapat dalam definisi kekerasan seksual pada Pasal 1 bersifat multitafsir, terlalu luas, dan pemahamannya bisa diisi oleh siapa saja. Frasa lain dalam pasal sama yang perlu definisi lebih rinci, menurutnya, adalah “hasrat seksual” dan “fungsi reproduksi”. Euis juga mengatakan diperlukan indikator terukur untuk pembuktian potensi dampak dalam frasa “dapat berakibat”.
Secara utuh pasal tersebut berbunyi: “Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.”
Baca juga: Kenali Hubungan Toksik, Dampaknya Bisa Ciutkan Kepercayaan Diri
Hal lain yang juga menjadi kritiknya adalah persetujuan atau consent yang menurutnya tidak boleh keluar dari hubungan halal. Konsep consent ini, kata Euis, menoleransi orientasi seksual, identitas gender, dan ekspresi gender yang keluar dari norma, dan ikut mengatur hubungan pernikahan.
Marwan Dasopang, Wakil Ketua Komisi VIII DPR yang membidangi isu agama, sosial, dan kebencanaan, mengatakan bahwa frasa RUU PKS tidak bisa dimaknai terlalu jauh.
“Misalnya hasrat seksual, ketika istri tidak mau, maka jangan dipaksa. Hasrat seksualnya tidak berkehendak saat itu. Sama halnya dengan frasa ‘fungsi reproduksi’ yang harusnya dimaknai adanya sentuhan atau pegangan yang tidak diinginkan,” kata Marwan.
“Judul ‘Penghapusan Kekerasan Seksual’ juga diperdebatkan, tapi kita mengurus kekerasan yang terjadi, bukan hubungan seks. Urusan seks sudah ada dalam UU Perkawinan,” tambahnya.
Andy Yentriyani, Ketua Komnas Perempuan mengatakan dalam kasus kekerasan seksual harus melihat krisis akibat konstruksi gender yang memberi kerentanan pada laki-laki dan perempuan serta relasi kuasa.
“Maka dari itu, dalam definisi kekerasan harus memasukkan konsep persetujuan atau consent,” ujarnya.
Marwan juga menggarisbawahi yang harus dilihat ketika membicarakan RUU PKS adalah banyaknya kasus kekerasan seksual yang tidak tertangani hingga korban, keluarga, dan pendampingnya juga mengalami intimidasi dari pelaku kekerasan.
Dukung kampanye “Semua Peduli, Semua Terlindungi #TBSFightForSisterhood” untuk mendesak pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), dengan menandatangani petisi di sini.