Data Journalism Environment People We Love

#TanahAirKrisisAir: Sudarmi dan Hutan Jati yang Selamatkan Kami

Belasan tahun Sudarmi merawat Hutan Paliyan, sektor yang masih didominasi laki-laki. Tak cuma memberdayakan ekonomi warga, tapi juga ikut menjaga mata air.

Avatar
  • February 22, 2024
  • 7 min read
  • 9145 Views
#TanahAirKrisisAir: Sudarmi dan Hutan Jati yang Selamatkan Kami

Mencintai hutan jadi alasan Sudarmi, 59, untuk berkecimpung di bidang yang kerap dicap berparas lelaki. Terhitung sejak 2013, ia menjadi ketua Kelompok Tani Hutan Kemasyarakatan (HKm) Sedyo Rukun, di Desa Banyusoco, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Sebagai ketua, Sudarmi bertanggung jawab dalam pengelolaan kawasan Hutan Paliyan milik negara seluas 17 hektar. Bukan hanya urusan penebangan dan distribusi kayu jati, kelompok taninya sekaligus menjual kayu bersertifikasi FSC—sertifikat pengolahan hasil hutan setelah dibawa ke luar hutan, umumnya diperlukan oleh pabrik. Kemudian menyediakan jasa penggergajian, serta melayani pesanan log hingga furnitur.

 

 

Di samping memberdayakan perekonomian warga, Hutan Jati Paliyan bermanfaat untuk mengikat air seperti pohon pada umumnya—terutama dengan lokasi mata air di Sungai Oyo, yang berjarak 500 meter dengan hutan jati. Karena itu, pemanenan kayu dilakukan berkala.

“Hutan jati juga mendukung keberadaan sumber mata air,” tutur Sudarmi pada Magdalene.

Sudarmi dah hutan jati
Sumber: Magdalene/Tommy Triadhikara

Dengan jenis tanah berkapur, petani di Desa Banyusoco juga menanam palawija di sekitar tegakan pohon jati. Hasilnya bermanfaat untuk warga, dan dijual berupa produk minuman.

Selain itu, Sudarmi juga memimpin Koperasi Wana Manunggal Lestari (KWML), yang memproduksi kayu dari hasil hutan. Koperasi ini menyediakan wadah bagi petani HKm dan petani Tanaman Hutan Rakyat (THR), di sebagian daerah Gunungkidul.

Kerja kerasnya membuahkan hasil. Selama 11 tahun mengepalai pengelolaan hutan, Sudarmi meraih sejumlah penghargaan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Seperti peringkat tiga Lomba Wana Lestari dan dinobatkan sebagai kelompok Perhutanan Sosial.

Akhir Januari lalu, tim Magdalene berkesempatan mengobrol dengan Sudarmi di tempat penggilingan kayu milik KWLM, yang juga berlokasi di Gunungkidul. Kami membahas tentang motivasi Sudarmi terlibat di sektor kehutanan, manfaat hutan jati bagi masyarakat, dan tantangan yang dihadapi selama memimpin pengelolaan hutan jati. Berikut kutipannya.

Baca Juga: Profil Sri Hartini, Penjaga Hutan Adat Wonosadi

Sejak kapan Bu Sudarmi terjun ke sektor kehutanan?

Tahun 2000 itu saya ngikutin kegiatan di Kelompok Tani HKm Sedyo Rukun, tapi belum resmi sebagai anggota karena belum tertarik. Lalu baru aktif berkegiatan di hutan sejak 2012, dan tahun berikutnya diangkat sebagai ketua kelompok.

Apa yang memotivasi Ibu untuk terlibat dalam pelestarian hutan?

Saya cuma senang aja melakukan kegiatan yang berkaitan dengan kayu. Kebetulan suami, orang tua saya, dan mertua bekerja di Dinas Kehutanan. Tapi kesenangan saya (terhadap hutan) bukan karena mereka.

Sejak ikut resmi sebagai anggota (Kelompok Tani HKm Sedyo Rukun) dan diangkat sebagai ketua, rasanya senang mengelola kawasan, memelihara kayu. Jadi ngerti ternyata kayu manfaatnya banyak.

Bahkan, saya merasa iba ketika ada illegal logging. Merasa sayang ada (orang) menyalahgunakan, tega ngambil kayu. Padahal itu keperluan orang banyak, dan banyak manfaatnya bagi pemilik lahan. Kenapa merusak?

Sumber: Magdalene/Tommy Triadhikara

Barusan Ibu cerita, hutan ini banyak manfaatnya. Apa saja manfaat yang sudah dirasakan masyarakat?

Secara garis besar jadi sumber pendapatan bagi masyarakat yang tinggal di kawasan ini. Enggak hanya dari tebangan, waktu kayu berumur lima tahun pun udah bisa dimanfaatkan. Salah satunya kalau daun jatuh di tanah jadi serasah, itu laku dijual.

Ada juga orang yang nyari kepompong, dari ulat yang nempel di daun kayu jati. Kalau dijual, satu kilogram harganya Rp100 ribu. Belum lagi kalau rantingnya sudah besar, bisa untuk kayu bakar atau bahan kaki meja dan kursi. Ya kira-kira itu diameternya lima sentimeter.

Kalau kayunya sendiri harganya macam-macam, tergantung diameter. Kalau diameter 10 sentimeter, bisa dijual seharga Rp1,1 juta sampai Rp1,2 juta per meter kubik. Itu berupa log ya, di hutan.

Sedangkan aspek budaya, kami mengadakan nguri-uri kabudayan. Ini kegiatan selamatan saat akan memanen kayu. Tujuannya biar semuanya selamat saat melakukan penebangan, hutan yang ditebang memberikan manfaat, dan yang mengerjakan diberikan kemudahan.

Lalu kayunya didistribusikan ke mana saja, Bu?

Ke orang-orang yang punya SIPUHH (Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan). Tahun 2019, KWML mengadakan revitalisasi di dalam kepengurusan—kebetulan saat itu, saya juga mengepalai koperasi ini.

Kemudian, kami mengadakan kegiatan penebangan, khususnya di DIY. Itu termasuk penebangan kayu HKm pertama kali di Indonesia. Tapi, KWML belum punya fasilitas cukup untuk mengakses produk dari kawasan HKm.

Sebagai kelompok, kami menjual kayu kepada offtaker yang punya SIPUHH. Sederhananya, mereka adalah pembeli yang terdaftar ke sistem, jatuhnya sebagai mitra. Kalau KWML, baru bisa membeli kayu produk HKm per 2021, setelah bermitra dengan perusahaan yang memfasilitasi koperasi.

Baca Juga: Krisis Air Bersih Marak, Orang Kota Serasa Minum Air Sungai

Dari panen kayu jati ini seberapa membantu perekonomian masyarakat?

Kami melakukan panen kayu sebanyak tiga kali. Terakhir tahun 2019-2021. Kalau kalkulasi kotor, mencapai Rp400 juta per 300 meter kubik. Itu belum diambil untuk biaya operasional ya, sekitar 50 persen—memang nggak sedikit biaya penebangan kayu. Sisanya baru dibagikan ke anggota (Kelompok Tani HKm Sedyo Rukun).

potret bu sudarmi
Sumber: Madgalene/Tommy Triadhikara

Selain bernilai ekonomi, ada manfaat lingkungan yang paling dirasakan?

Adanya sumber mata air karena ini kawasan lindung ya, banyak pepohonan. Selain ngambil untuk kehidupan masyarakat, kami juga memanfaatkan untuk kawasan hutan. Belum lama kok, sekitar 2019. Letaknya masih di area (pemukiman) masyarakat.

Dulu sempat susah mencari sumber mata air yang berada di area warga. Paling cuma Sungai Oyo.

Selain pohon jati, ada tanaman lain yang ditanam HKm Sedyo Rukun?

Memang kami enggak hanya fokus di kayu. Ada tanaman rumput untuk pakan ternak, juga palawija seperti jagung dan pohon secang—digunakan untuk komposisi wedang uwuh.

Tahun lalu, warga Gunungkidul mengalami kekeringan akibat kemarau panjang. Di sini kondisinya sama nggak, Bu?

Kering, tapi sumber mata airnya enggak. Jadi bisa memenuhi kebutuhan warga.

Sumber: Magdalene/Tommy Triadhikara

Tadi pas ngobrol-ngobrol, Ibu cerita sempat kekeringan tahun 2015. Keadaannya seperti apa?

Waktu itu, sumber mata airnya masih ngambil dari kebun lain. Warga mengambil secara manual pakai pipa air. Tapi pas kemarau panjang, otomatis sumber mata airnya kan berkurang, sedangkan yang memanfaatkan banyak. Jadi sampai beberapa hari, air enggak mengalir.

Pas enggak ngalir, kami mencari cara untuk minum. Kalau cuma jagain air dari pipa manual itu enggak akan cukup. Akhirnya kami naik motor dan bawa jerigen, untuk ambil air di Sungai Oyo yang sumber mata air itu. Kalau warga yang mampu beli di tangki, per tangki harganya sampai Rp200 ribu. Alhamdulillah setelah itu sudah terbantu.

Kenapa waktu itu kesulitan mendapatkan air?

Kami belum menemukan sumber mata air. Lalu dibantu mahasiswa teknik sipil UGM (Universitas Gadjah Mada) pas kegiatan di sini. Mereka nanya, bisa melakukan apa untuk warga? Akhirnya warga bilang, pengen difasilitasi untuk mendapatkan titik sumber air.

Kemudian, mahasiswa UGM melakukan geoteknik, sampai dibuatkan peta titik sumber air dan tampungan airnya berupa dua buah toren air. Dilanjut bantuan dari partai bersama pak Bupati, yang mengeborkan sumur dan kelengkapan sarana.

Sektor kehutanan masih didominasi laki-laki. Kalau di Kelompok Tani HKm Sedyo Rukun, banyak perempuan yang terlibat enggak?

Banyak keterlibatan bapak-bapak untuk kegiatan di dalam hutan—misalnya saat proses penebangan, tapi di luar itu juga banyak perempuan. Saya lebih suka kerja bareng ibu-ibu, karena mereka mudah dibina dan diajak memahami. Kalau bapak-bapak suka bilang (saya) terlalu banyak teori—lebih banyak menentangnya. Padahal ya teori dan praktik dilakukan bersamaan.

Baca Juga: Profil Fitri Nasichudin Kebun Kali Code Atasi Krisis Air

Apakah itu jadi kendala bagi Ibu, sebagai pemimpin perempuan di sini?

Kalau melihat kodrat, perempuan sering dikatakan punya kodratnya sendiri (menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui). Tapi, buat saya sepanjang kegiatannya positif, kenapa enggak? Keluarga juga tetap memberikan semangat pada saya, mempersilakan selama itu positif dan bermanfaat.

Paling tantangannya menghadapi bapak-bapak. Mereka suka enggak cocok dibimbing perempuan, ada yang mengungkapkan dengan sabar, ada yang emosional. Cuma buat saya itu hal wajar, setiap orang pasti punya pendapat. Dan saya biasa aja menghadapinya.

Kalau hasilnya kurang memuaskan, silakan (mengkritik). Kalau sebaliknya, gimana?

Artikel ini merupakan bagian dari series liputan Krisis Air di Daerah Istimewa Yogyakarta, didukung oleh International Media Support (IMS). Magdalene berkolaborasi dengan dua media, dari Filipina GMA News dan Timor Leste Neon Metin.



#waveforequality


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *