Rangkuman Debat Capres Terakhir: Solusi ‘Mukbang’ Prabowo hingga Disabilitas yang Jadi Token
Bahkan di debat terakhir, belum ada capres yang membuktikan mereka serius membenahi masalah perempuan hingga penyandang disabilitas.
Saya menghitung delapan kali frasa “makan gratis’ disebutkan Prabowo Subianto, calon presiden (capres) nomor urut 2 di debat pamungkas, (4/2) kemarin. Dalam salah satu segmen, rivalnya Anies Baswedan bertanya tentang pemberdayaan dan perlindungan perempuan. Mantan menantu Soeharto itu menjawab, perempuan berperan penting dalam kehidupan bangsa, dan makan gratis adalah salah satu solusinya.
“Dan karena itu fokus saya adalah tadi, ya membantu gizi makan untuk kaum ibu-ibu yang hamil.”
Grrr… Anies tak puas dengan jawaban Prabowo yang dianggap salah alamat. Padahal perlindungan yang dimaksud Anies mencakup isu-isu krusial, seperti kasus kekerasan seksual, kerja perawatan, hingga kesenjangan upah. Sementara itu, warganet perempuan ramai-ramai mengunggah cuitan bernada kritik karena Prabowo tampak tak memahami akar masalah perempuan. Dalam sekejap, meme tentang makan gratis ini pun membanjiri media sosial.
Baca juga: Sirkus dalam Debat Terakhir Cawapres 2024: Luber Gimik, Minim Misi dan Solusi Nyata
Prabowo, Mukbang, dan Janji Populis
Sebagai konteks, makan gratis ini memang jadi jualan pasangan Prabowo-Gibran yang terangkum dalam Strategi Transformasi Bangsa. Dalam pemaparan visinya di awal debat capres terakhir yang disiarkan sejumlah stasiun TV itu, Prabowo bilang, makan siang gratis untuk anak sekolah, dewasa, dan ibu hamil, bisa mengerek ekonomi Indonesia hingga 2 persen.
Selain itu, program makan gratis yang sedianya menyasar hingga 80 juta jiwa juga bakal menekan angka stunting dan kematian ibu saat melahirkan.
“Ini akan mengatasi angka kematian ibu waktu lahir. Ini akan mengatasi stunting, ini akan menghilangkan kemiskinan, ini akan menyerap semua hasil panen petani nelayan. Ini akan meningkatkan ekonomi kita minimal 1,5 sampai 2 persen,” ujarnya dalam debat di Jakarta Convention Center, Senayan.
Masalahnya, meski makan dan susu gratis jamak karena diterapkan di 125 negara menurut survei Global Child Nutrition Foundation (GCNF) pada 2021, tapi anggarannya tak main-main. Kepada CNN Indonesia, adik Prabowo sekaligus Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Hashim Djojohadikusumo mengaku, program Prabowo butuh budget setidaknya Rp400 T per tahun.
Sebuah solusi yang tak solutif, komentar sejumlah ekonom yang diwawancarai media tersebut. Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal khawatir program populis itu tak bisa berkelanjutan, tak tepat sasaran, dan pemborosan total jika dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Program makan gratis milik kubu Prabowo juga sangat tidak mendasar dan cenderung halusinasi. Biaya Rp400 triliun, pendidikan sudah Rp600 triliun, belum lagi biaya pegawai, transfer ke daerah, dana desa, dan subsidi energi, sudah abis itu APBN,” kata Pengamat Ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Nailul Huda kepada CNN Indonesia.
Kekhawatiran para ekonom ini ada benarnya. Hingga artikel ini diturunkan, negara kita sebenarnya sudah cukup tertekan dengan beban utang yang nyaris menembus Rp500 T, menurut data Kementerian Keuangan. Jika program ini dijalankan, maka ruang fiskal kita akan terus terkapar sampai di titik terendah. Pertanyaannya, jika tim ekonomi di belakang Prabowo paham tentang risiko ini, kenapa mereka tetap nge-gas mengusulkan program makan gratis?
Jawabannya karena politisi ingin memikat konstituen dan meraih simpati dengan janji-janji manis agar suara terarah ke mereka. Politik populis namanya. Penulis sekaligus akademisi Eliane Glaser dalam bukunya “Anti-Politics: On the Demonization of Ideology, Authority and the State”(2018) menjelaskan, populisme adalah pendekatan politik yang sengaja menggunakan “kepentingan rakyat” untuk dilawankan dengan kepentingan elit. Pada praktiknya, politisi populis bakal mencitrakan dirinya sebagai pejuang, messiah rakyat yang tertindas. Karena itulah program-programnya selalu diatasnamakan untuk kepentingan rakyat. Soal bisa ditepati atau tidak, itu urusan nanti.
Kita mengenal populisme lewat janji “Make America Great Again” Donald Trump di Amerika Serikat, populisme Eropa yang memicu Brexit sampai protes rompi kuning Prancis, juga janji-janji populis jangka pendek yang diobral saat Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta 2017. Catatan Abdillah Toha di Kompas menjelaskan, politik populis di ibu kota saat itu tercermin dari janji-janji manis Anies, seperti becak masuk kampung, janji tidak menggusur, rumah dengan uang muka (down payment/DP) nol persen, dan seterusnya.
Di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, selain janji makan gratis, politisi Cak Imin juga mengobral janji menurunkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Sementara Ganjar menjamin gaji guru yang sudah lama mengajar, naik sampai Rp30 juta per bulan dan Rp10 juta untuk gaji guru baru. Soal anggaran, pikir saja belakangan, yang penting suara masuk dulu.
Apakah kita akan menjadi pemilih yang terbuai dengan janji-janji populis kosong dari demagog, atau menjaga akal sehat kita dan lebih kritis?
Baca juga: Panduan Membaca Kritis Janji Capres-cawapres untuk Pemilih Pemula
Debat Soal Inklusi yang Tidak Inklusif
Ada pemandangan tak biasa memang saat Anies menggunakan bahasa isyarat di awal sesi debat capres. Isyarat itu sendiri bermakna: Waktunya perubahan. Sayang, meski langkah Anies bikin sedikit optimis bahwa debat malam itu betul-betul akan substansial membahas inklusivitas, tapi nyatanya saya harus gigit jari.
Di sepanjang debat yang mengangkat topik kebudayaan, pendidikan, kesejahteraan sosial teknologi informasi, ketenagakerjaan, sumber daya manusia, dan inklusi, saya melihat bab inklusivitas cuma jadi tempelan performatif. Indikasinya tercermin dari ketidakpahaman dan diamnya sejumlah capres saat menyinggung hak-hak kelompok marjinal.
Frasa “kaum wanita”, “kaum kalangan kelas bawah”, “kaum ibu-ibu” menyebut disabilitas agar bekerja mendekati “orang normal” yang diskriminatif juga bertebaran di acara debat tersebut.
“Sekarang ada teknologi-teknologi baru yang bisa membantu mereka (penyandang disabilitas) bisa hidup mandiri dan bisa bekerja hampir mendekati orang-orang normal,” kata Prabowo.
Meskipun Ganjar sudah lebih baik dengan menyebut frasa yang tepat, seperti penyandang disabilitas, perempuan, atau penduduk miskin, tapi ia memilih diam saat Prabowo memilih frasa ableis dan diskriminiatif di atas. Bukankah adil itu harus sejak dalam pikiran?
Selain terkait pemilihan frasa dan bahasa, yang patut dikritik di debat capres adalah penempatan topik inklusi yang sengaja dipisah dari topik-topik lain sebelumnya. Padahal sebenarnya inklusivitas harus jadi kacamata untuk membahas semua isu tanpa kecuali. Inklusi harus ditempatkan sebagai pendekatan untuk merumuskan kebijakan yang strategis. Enggak heran jika ketidakpahaman ini juga berimbas pada substansi capres saat bicara tentang inklusi. Sebagian capres di debat tersebut belum melihat inklusivitas sebagai pemenuhan hak melainkan tokenisme semata.
Meski begitu, saya harus mengapresiasi pernyataan Anies dan Ganjar soal penyandang disabilitas. Merujuk pada Pasal 5 UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang hak-hak Penyandang Disabilitas, Ganjar mengusulkan program KTP Sakti untuk merapikan pendataan. Hal ini disambut anggukan Anies yang menyebut, data komprehensif penyandang disabilitas sangat penting demi pemenuhan hak asasi manusia (HAM).
Ganjar menambahkan, pelibatan penyandang disabilitas dalam merumuskan kebijakan dan rencana pembangunan penting, supaya bisa lebih akomodatif. Saya kira ini kemajuan berpikir yang harus kita kawal agar tak cuma jadi lipstik politisi saja.
Baca juga: 5 Hal yang Perlu Dikritisi dari Rencana Prabowo Impor Sapi
Kesejahteraan Guru dan Dosen
Sebagai perempuan yang juga mencari nafkah sebagai dosen, sejujurnya saya paling menunggu bagian ini. Sebab, problem kesejahteraan tenaga pengajar seperti saya dan kawan-kawan lain hampir selalu jadi kaset lama yang diputar di siklus politik lima tahunan. Namun, jarang yang berbuah solusi konkret. Buktinya survei yang dilakukan Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Mataram April 2023 menyebutkan, 80 persen dosen dari total 1.196 responden tak puas dengan pendapatan mereka, dikutip dari The Conversation.
Menurut data Pendidikan Tinggi (Dikti), jumlah dosen di Indonesia ada 300 ribu dan tersebar di sekitar 4.600 universitas dengan beragam status kepegawaian dan ikatan kerja. Hal ini berimbas pada ketidakjelasan standar upah dosen. Ada dosen yang digaji melebihi standar upah minimum, tapi ada juga dosen honorer, yang gajinya cuma cukup untuk membayar biaya listrik rumah.
Realitas serupa juga menimpa guru-guru di Indonesia. Ganjar dalam salah satu lawatannya mengaku pernah mendapati guru yang punya istri dan anak, tapi digaji Rp300 ribu per bulan di Jawa Tengah. Bagaimana bisa bermimpi mencetak generasi berkualitas, jika guru dan dosen masih pusing dengan urusan besok makan pakai uang apa.
Sadar dengan realitas buruk ini, ketiga capres sepakat berjanji untuk memperbaiki kualitas kesejahteraan guru dan dosen. Anies berjanji melakukan percepatan pengangkatan guru honorer dan sertifikasi guru. Prabowo dan Ganjar mengamini peningkatan kesejahteraan dan kompetensi serta mengurangi beban administrasi dosen dan guru.
AMIIN. HALELUYA. Saya spontan berdiri dan berteriak kencang saking merasa terwakilkannya isi hati terdalam lewat janji-janji tiga capres kita. Sudah terbayang bagaimana pendidikan kita bakal lebih maju ketika tenaga pendidiknya lebih dimanusiakan. Ah, saya kira betul kata orang, kita begitu berbeda dalam semua, kecuali dalam cinta, eh urusan peningkatan upah tenaga pengajar maksudnya.
Namun, seperti lazimnya janji populis yang diobral di musim Pemilu, tugas kita adalah terus mengawal supaya tak dibohongi melulu.
Perlindungan Perempuan
Menurut data Komisi Pemilihan Umum (KPU), daftar pemilih tetap (DPT) untuk Pemilu 2024 sebanyak 204,81 juta jiwa. Jumlah itu terdiri dari 102,58 juta pemilih perempuan dan 102,21 juta pemilih laki-laki. Meski komposisi pemilih perempuan lebih besar ketimbang lelaki, tapi agenda-agenda perempuan tak dibahas lebih komprehensif dalam debat terakhir. Bahkan di debat-debat sebelumnya sekali pun.
Anies memang sempat mengetengahkan tentang perlindungan terhadap perempuan, termasuk di antaranya kasus kekerasan seksual, catcalling, apresiasi terhadap pekerja perawatan yang didominasi perempuan, dan kesenjangan upah berbasis gender. Sayang sekali, hal ini tidak dieksplorasi lebih lanjut. Padahal mustahil bicara inklusi tapi mengecualikan hak-hak perempuan.
Prabowo sendiri lebih banyak menjawab secara normatif dan tak menyentuh akar persoalan. Pakar Politik Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar Endang Sari kepada Tribun berujar, “Tadi kita lihat jawaban cari capres sangat normatif misalnya memaksimalkan infrastruktur, stakeholder, dan hal-hal yang formal lainnya,” tutur Endang.
Misalnya saat bicara hak perempuan pekerja migran. Mereka kerap bekerja tanpa standarisasi dan legalitas, jadi sasaran pelecehan, dan upah minim. Menurut Endang, perempuan yang umumnya berada pada situasi itu karena terpaksa, harus berjuang sendiri tanpa perlindungan yang memadai.
Belum lagi isu kerja perawatan–lagi-lagi mayoritas pelakunya adalah perempuan–yang sempat disinggung di debat capres. Saat Ganjar menanyai Prabowo tentang ini, jawabannya pun relatif tak memuaskan. Tak ada solusi berupa kebijakan strategis atau investasi kerja perawatan, termasuk penyediaan day care, cuti paternitas, rumah untuk lansia, dan sebagainya.
Padahal, liputan Magdalene sebelumnya membuktikan bahwa jika negara hadir lewat investasi kerja perawatan, maka ekonomi negara juga bisa meningkat. Sayang, capres-capres lebih sibuk bicara tentang intervensi di hilir ketimbang berangan-angan membenahi paradigma berbasis kesetaraan gender, disabilitas, dan inklusi sosial (GEDSI) di tingkat hulu. Mengsedih ya.
Ilustrasi oleh: Karina Tungari