Review Album ‘Im Nayeon’, Bawa Kembali Napas Pop dalam K-Pop
Album solo ‘IM NAYEON’ dari anggota grup idola Twice, membawa kembali genre bubblegum pop dalam K-pop yang dibanjiri musik EDM.
Musik ceria yang bercerita tentang cinta dan citra perempuan imut-imut memang sering disematkan pada grup idola K-pop, Twice. Mulai dari koreografi yang lucu hingga irama lagu yang bahagia dan ‘centil’ dituangkan dalam lagu mereka. Sebut saja deretan lagu seperti ‘Likey’, ‘Heart Shaker’, dan ‘Cheer Up’. Bisa dibilang, genre musik bubblegum pop menjadi ciri khas Twice sejak debut tujuh tahun lalu.
Namun, seiring usia grup dan kesembilan anggotanya bertambah, Twice menunjukkan kemampuan mereka mengeksplorasi genre musik yang beragam. Setahun lalu Twice merilis single ‘Alcohol Free’ yang menawarkan musik bossa nova. Sementara lagu ‘Say Something’ dalam album Eyes Wide Open, rilis dua tahun lalu, menjamah telinga penggemarnya, Once, dengan hentakan ritme ala lagu city pop.
Twice yang ‘sudah dewasa’ membawa impresi perempuan elegan dengan lagu-lagunya. Meski demikian, musik bubblegum pop dengan estetik video musik yang ceria dan lucu belum sepenuhnya ditinggalkan. Nayeon, penyanyi utama grup besutan agensi JYP Entertainment itu, menunjukkannya lewat album solo pertamanya, IM NAYEON yang rilis akhir Juni lalu.
Single utama ‘POP!’, misalnya, sesuai dengan tajuknya, menyodorkan musik yang sangat ‘nge-pop’ dengan ketukan drum dan terompet. Ini memberi imajinasi balon akan meletus sebentar lagi. Warna-warna cerah, seperti biru, merah serta pink diiringi suaranya Nayeon yang manis, riang, dan energik semakin menambah estetik pop dalam video musiknya.
Senandung riang tentang cinta yang tertuang dalam musik dan lirik ‘POP!’ juga senada dengan keenam lagu lain dalam album tersebut, seperti ‘No Problem’, ‘Love Countdown’, dan ‘Candyfloss’. Bisa dibilang warna lagu-lagu yang ringan itu menggambarkan citranya Nayeon yang ceria. Judul album IM NAYEON, diambil dari nama lengkap sang penyanyi, semacam mengusung permainan kata yang unik–I’m Nayeon atau aku Nayeon–untuk memperkenalkan anggota paling tuanya Twice sebagai solois.
Nayeon yang mengambil jalur solo hampir satu dekade kariernya, tak mengherankan. Sebab, hal ini sudah dilakukan idola senior, khususnya perempuan untuk terus bertahan di industri K-pop. Karena itu, ada kemungkinan Nayeon akan merilis album solo keduanya. Tetapi, selama menunggu album selanjutnya, ‘POP!’ menjadi lagu musim panas yang paling ‘menyegarkan’ tahun ini.
Baca juga: Reuni 2NE1 di Coachella, Ratu ‘Girl Crush’ K-Pop Kembali
Musik Pop di Lautan ‘Electronic Dance’
Nayeon yang membawa kembali musik bubblegum pop bagaikan udara segar di antara musik EDM dan trap yang digandrungi idola K-pop saat ini. Walaupun genre bubblegum pop yang merajai genre musik K-pop lebih dari satu dekade lalu sudah kalah tanding dengan musik EDM, bukan berarti genre itu sepenuhnya hilang.
Tak bisa dimungkiri idola perempuan generasi keempat cenderung memilih lagu dengan hentakan drum dengan beat yang kencang. Grup idola Aespa yang terkenal dengan gaya cyber punk dan musik dubstep dan hip-hop merilis lagu pop ‘Life Too Short’ dengan estetik warna merah jambu yang lembut beberapa waktu lalu.
‘Baliknya’ bubblegum pop di K-pop mengingatkan lagi atas pendapat beberapa penggemar K-pop generasi pertama dan kedua yang mendefinisikan genre itu sebagai kekhasan K-pop. Tetapi, Roald Maliangkay, dosen Korean Studies di Australian National University dalam artikelnya Same Look Through Different Eyes: Korea’s History of Uniform Pop Music Acts menyatakan, genre yang dinyanyikan idola K-pop sangat beragam.
Beberapa di antaranya berupa teen-pop, rock, electro house, dan RnB–yang paling populer. Akan tetapi, musik K-pop kontemporer kerap dikritik terlalu homogen dan tak ada kekhasan yang membedakan satu grup idola dengan lainnya. Namun, muncul juga argumen yang menyebut homogenitas dari idola K-pop disebabkan oleh kiblat musik barat yang juga semakin homogen.
“Industri K-pop tak memedulikan kritik tersebut sebab genre semacam bubblegum pop yang formulaik mudah diproduksi. Selain itu, grup idola yang senada mulai dari penampilan, gaya, dan gerak-geriknya terbukti sebagai resep ampuh karena terus populer bagi penggemar K-pop,” tulisnya.
Sementara, Michael Fuhr akademisi Ethnomusicology dari University of Hildesheim, Jerman menyatakan, berbeda dengan J-pop yang menjadi genre musik di akhir 1980-an di Jepang, K-pop digunakan untuk mengkategorikan lagu-lagu pop dari Korea atau kayo. Hal itu ia tuliskan dalam bukunya Globalization and Popular Music in South Korea: Sounding Out K-pop.
Karenanya, Fuhr berargumen, K-pop tak bisa semata-mata dianggap sebagai genre musik yang ditentukan oleh parameter musikal tertentu. Ada pilar musikal, visual, dan industri yang melibatkan banyak sektor, seperti agensi, produser musik, instruktur tari, stylist, dan idola yang harus mengikuti masa latihan untuk membentuk K-pop.
Baca juga: Jisoo BLACKPINK dan Diskriminasi Atas Kemampuan Bahasa Inggris Idola K-pop
Selain itu, ada aspek kesejarahan, seperti masa kolonial Jepang, Perang Korea, dan masa kediktatoran yang memiliki sistem sensor ketat dalam musik soal lagu apa saja yang disetujui pemerintah. Gabungan semua aspek itu–termasuk pengaruh musik dari AS dan sistem idola dari Jepang–yang menjadikan K-pop sebagai genre, tulisnya.
“Dengan demikian, K-pop tak bisa ditentukan dari musik saja atau asal geografis dan nasional. Namun, harus dipahami sebagai dinamika sosial ekonomi yang lebih luas. Khususnya sebagai produk globalisasi perusahaan musik Korsel yang meluaskan target pasar secara transnasional pertengahan 1990-an,” jelas Fuhr.
Dari penjelasan Maliangkay dan Fuhr, K-pop dimaknai sebagai sebuah industri yang jatuh dalam payung besar hallyu wave. Dalam proses produksi musiknya, komposer dan produser K-pop juga berasal dari luar Korea Selatan. ‘Candyfloss’ dari Nayeon, misalnya, ditulis oleh Jade Thirlwall anggota girl band asal Inggris, Little Mix. Begitu pula dengan semakin banyaknya idola K-pop yang berasal dari luar Korsel, seperti Lisa BLACKPINK.
Karena itu, K-pop sebagai industri musik akan terus berkembang mengikuti masa dan musik jenis apa yang digemari saat itu, sama halnya dengan bubblegum pop di 1990-an dan EDM di era sekarang.
Baca juga: MAMAMOO: Percaya Diri Sumber Kekuatan Perempuan
Idola Perempuan Tak Melulu ‘Girl Crush’
Album solonya Nayeon tak hanya mengembalikan nafas pop-nya K-pop, tetapi memunculkan kembali estetik perempuan imut dan lembut di antara grup idola perempuan yang cenderung memilih konsep girl crush. Tak bisa dimungkiri banyak kritik yang dilemparkan pada konsep imut-imut sebab industri K-pop mengobjektifikasi perempuan untuk memuaskan fantasi laki-laki.
Twice yang terkenal dengan konsep perempuan ceria juga tak lepas dari kritikan kalau grup itu diciptakan untuk memuaskan penggemar laki-laki. Jika menyoal tentang seksualisasi idola perempuan yang dicitrakan submisif oleh industri, Maliangkay dalam artikel yang sama melacak objektifikasi musisi perempuan sejak tahun 1930 sampai 1960-an.
Kelompok penyanyi perempuan, biasanya saling bersaudara, sengaja ditargetkan untuk audiens laki-laki, apalagi di zaman perang Korea. Karenanya, mereka harus selalu tampil modis dan menarik mengikuti gaya tren saat itu.
“Bagi tentara AS, kelompok musisi perempuan tak hanya untuk menonjolkan budaya pop AS. Tetapi, untuk memuaskan hasrat mereka akan erotisme dan mengingatkan mereka akan kampung halaman,” tulisnya.
Meski demikian, mengikuti pergulatan politik di tahun 1970-an membuat masyarakat memilih musisi bawah tanah yang melakukan kritik sosial politik. Kelompok penyanyi tersebut pun tak bisa mengikuti arus perubahan dan perlahan-lahan menghilang. Namun, pamor kelompok perempuan kembali naik tahun 1990-an saat idola K-pop mulai muncul.
Alih-alih mengemban citra ‘nakal dan menggoda’ layaknya penyanyi di tahun 1930-an, tulis Maliangkay, grup idola seperti S.E.S, Fin K.L, dan Baby V.O.X membawa image periang yang lembut dengan lagu tentang persahabatan maupun cinta.
“Dalam rentang beberapa tahun, representasi grup penyanyi perempuan kembali dibentuk untuk erotisme bak pendahulu mereka,” tuturnya.
Industri K-pop yang masih mengobjektifikasi musisi perempuan untuk menggaet ‘penggemar’ memang perlu terus dikritik. Tetapi, dalam satu dekade terakhir muncul kesukaan tertentu pada konsep perempuan percaya diri atau girl crush sebab, penggemar K-pop saat ini cenderung menyukai perempuan yang berdaya. Twice sendiri sempat mengemban konsep itu untuk lagu debut mereka ‘Like OOH-AHH’, tetapi tentunya dibalut dengan kelucuan ala Twice.
Akan tetapi, ketika idola K-pop mengemban citra perempuan percaya diri perlu dilihat bagaimana musiknya diproduksi, apakah melibatkan perempuan dan apa pesan yang disampaikan dalam lagunya. Girls On Top, misalnya, grup perempuan lintas generasi dari SM Entertainment yang berpenampilan badass. Lagu mereka ‘Step Back’ menerima kritik sebab lirik lagunya menjatuhkan perempuan lain untuk seorang laki-laki.
Hal itu menjadi semacam antitesis untuk girl crush yang dimaknai untuk memberdayakan penggemar perempuan. Salah satu yang berhasil mencerminkan itu, grup idola Refund Sisters yang keempat anggotanya dikenal badass dan menantang konformitas.
Walaupun Nayeon tak tampil badass, ia mengambil andil dalam penulisan lagu dan menunjukkan kebebasan berkarya di industri yang masih meremehkan perempuan. Lagipula tak ada salahnya merangkul dan mendukung idola perempuan yang menyanyikan lagu ceria tentang cinta.