Sabuk di Kamar 1032
Aku sedang melilitkan kain pada mulut seorang pria ketika ponselku berdering, menampilkan pesan singkat dari keponakanku, “Aunty, boleh titip beliin rokok?”
Tentu saja pertanyaan itu kuabaikan dan beralih mengecup bibir yang nafasnya beraroma obat kumur. Sebelum kusekap, kukira mulut itu beraroma tembakau. Inilah bagian menyenangkan dari menyetubuhi orang asing, ketika kutemukan kejutan-kejutan kecil.
Kecupanku berubah menjadi gigitan, membuat sesuatu di antara selangkangannya menegang saat kuraba. Ia mengerang, teredam kain.“Marlboro menthol, ya, Aunty. Warna biru. Jangan pulang malam-malam, Oma enggak mau tiup lilin kalau Aunty belum datang.” Rentetan pesan dari keponakan ku menyusul belakangan.
Aku tidak tahu kalau sekarang keponakan ku merokok. Waktu masih sebesar boneka, aku pernah memandikannya dan kuingat buah zakarnya menjuntai panjang sebelah. Tadi sore, dalam rangka hari jadi ibuku, dia berkunjung dengan kakakku dan bilang akhir bulan ini masuk kuliah.
Baca Juga: Lelaki yang Datang di Jam Makan Siang
Mengerikan rasanya menyadari waktu begitu lihai mengelabui. Psikologi, yang dipilihnya sebagai program studi di perguruan tinggi juga sempat mengejutkanku.
“Biar sama kayak Aunty. Jadi psikolog.” Ia menukas ketika kusinggung. Beruntung diriku dapat menahan diri supaya tidak sampai tergelak. Apa yang dipikirnya menyenangkan dari pekerjaan yang diyakini masyarakat sebagai tabib bagi orang-orang gila?
Tangan kukuh pria yang kutindih berusaha menggeser pahaku dari pinggangnya, tetapi berhasil kutepis. Kemudian pipinya kutampar. Ia meringis. Pipinya pasti panas. “Hands off!” bentakku sembari mengikat sepasang pergelangan tangannya dengan tali sneakers yang kulepas paksa dari sepatunya. Setelah tertawan, kuletakkan sepasang tangannya di atas kepala. Posisi ini sama sekali tidak memberinya peluang melawan.
Posisi ini yang setengah mati ia dambakan.
Selama belasan detik, kami bertukar pandang. Mata birunya menatapku sebagaimana laut. Menginterogasi dengan bisu. Kubayangkan ke dalam mata biru itu diriku melompat dan tenggelam. Meninggalkan kamar suite 1032, meninggalkan deretan kendaraan yang meraung, meninggalkan tubuh kami yang separuh telanjang, meninggalkan ibuku yang menatapku nanar tiap kali mendengar kegagalan hubunganku dengan laki-laki (termasuk pernikahanku yang dipercayanya mustahil kandas), meninggalkan pertanyaan keponakanku soal manfaat retinol yang ditemukannya di meja riasku.
“Jauh di dalam dirimu, kamu tahu akar masalahmu,” celoteh psikiaterku beberapa hari lalu sambil menatapku melalui kacamata yang ia pelorotkan sampai hidung.
Akar masalahku adalah rasa takut yang semula muncul bagai benih. Kubiarkan ia tumbuh dan merambat hingga melilit jiwa. Ketakutanku begitu akut sampai diriku bahkan enggan merasa. Hal itu berhasil dideteksi psikiaterku. “Hanya karena ketakutan merasakan sesuatu, bukan berarti diriku boleh merasa berhak meninggalkan organ sembarangan.” Begitu kurang lebih amanatnya.
Di matanya, diriku hadir bagai manusia tak berjantung: bergerak ke sana kemari tanpa perhitungan. Begitu caraku lolos dari tragedi. Sekilas, diriku seolah bebas. Seperti satu ansel yang memerdekakan diri dan meniduri banyak laki-laki tanpa melibatkan hati.Kemudian sebagai partikel mungil, susah payah kutanggapi pasien-pasienku dengan bijaksana, kulontarkan lelucon basi pada staf-stafku di klinik yang gemar menjilati bokongku, kuhadiri banyak konferensi dengan beragam topeng yang menampilkan keriangan. Padahal, tidak sekali pun diriku berada di sana. Aku tidak pernah benar-benar berada di mana pun. Bagaimana kita bisa berinteraksi tanpa sesuatu yang berdegup?
“Sambut perasaan yang mampir. Rengkuh. Jangan dihindari,” lanjut psikiaterku lagi.
“Aku rutin melatih metode mindfulness, kalau betul itu arah sindiranmu.”
Baca Juga: Tuhan Kecil Bernama Ra.
“Tidak, selama ini kamu bersembunyi dalam sebuah kubikel yang kamu bangun dengan rentan, lalu kamu mati-matian bertahan di sana. Kamu tidak bisa melewati sebuah peristiwa tanpa sekaligus menyambut setiap perasaan yang singgah.”
Orasi panjangnya hanya kumaki dan kukatakan bahwa ia tidak kompeten. Sambil meninggalkan ruangannya, dengan tangan gemetar, kuhubungi pria asing yang kujumpai beberapa hari lalu di sebuah konferensi mental health awareness se-Asia Tenggara. Lalu dipesannya kamar suite di sebuah resor di pusat kota. Semua terjadi begitu cepat sampai tahu-tahu, kini, di atas ranjang deru napasnya memburu. “Kudengar seseorang telah membangkang,” lincah, jemariku menelusuri perutnya yang liat dan persegi. “I’m afraid I gotta punish you.” Dari dada, penelusuran kuberalih menyergap leher lalu sigap mencekiknya. Cekikan itu memberikan kejut pada tubuhnya, pertanda dirinya gagal memprediksi gerakanku.
Di tengah permainan kami saat ini, kuingat potongan percakapan yang kujalin bersamanya pada pertemuan pertama. “Aku senang masturbasi sambil membungkus kepala dengan kantung plastik,” kubisikkan kalimat itu di sela konferensi “Ketika kamu memangkas jalur udara ke dalam otak, sesaat, dirimu akan diliputi euforia hebat. Tetapi, risikonya bisa menyebabkan kematian.”
“Peningkatan jumlah kematian akibat kardiovaskular di Asia menjadi hal yang tidak mengejutkan kalau semua penduduknya memiliki pandangan yang sama denganmu. Imajinasimu mengerikan.”
“Benarkah? Koreksi kalau aku justru menangkap sinyal ketertarikan.”
Skakmat.
“Seseorang di dunia ini berhasrat pada jasad dan binatang, kupikir seks memang tidak pernah menjadi urusan akal,” kusesap sampanye murahan yang dibagikan gratis oleh panitia. “Kadang, tak ada ruang di dalam nalarmu yang mampu memahami keganjilannya.”
“Gimme your number, so we can—”
“That’s too easy. Lazy ass. Find it out.” Lalu diriku melenggang.
Keesokan harinya, ia sudah terdaftar dalam jadwal harian pasienku. Menyebutkan namanya Jan, yang setelah kudeteksi menggunakan Get Contact, tentu saja terungkap itu bukan nama sesungguhnya. Ia direktur perusahaan yang mensponsori konferensi yang sampanyenya membuat perut kembung. What a prick.
“Kita bisa mulai dari mana … Jan?”
“Saya tidak butuh bantuanmu. I would like to spend a night with you.”
“Rasa percaya dirimu mengagumkan.”
“Saya tahu kamu menginginkannya.”
Aku … membutuhkannya. Setelah mantan suamiku mengeluhkan tubuhku yang memelar serta selulit yang menjalarinya, mengetahui ada seorang pria luar biasa tampan menginginkanku sungguh ampuh meroketkan ego. Terlebih setelah suamiku melayangkan selembar surat cerai ke wajahku ketika kusuruh dia mengencani bintang film porno—itu juga kalau ada yang sudi—gara-gara dia terus mengoceh soal vagina berwarna pink atau jingga impiannya, yang tentu saja keduanya bukan merupakan vaginaku. Jan yang bukan Jan hadir dalam hidupku seumpama pelepas dahaga di tengah sahara. Ya, ya, ya, ayo, Jan. Aku ingin kamu meng-isi ku. Aku memerlukanmu untuk melakukan-nya.
Tetapi, mohon digarisbawahi, meski kubiarkan pria asing menjamah tubuhku, bukan berarti salah satu dari mereka boleh memenuhi meja kerjaku dengan mawar merah untuk menarik perhatian. Ketika itu terjadi, kulaporkan semuanya pada psikiaterku, seolah sedang melakukan pengaduan keadaan darurat pada 911. “Serem banget.”
Baca Juga: Asa Mama Asu
“Pria yang mana?” Psikiaterku bertanya. “Yang dokter, ya?” Lalu kuiyakan. “Kesalahannya, selain membombardirmu dengan mawar, dia hanya mengirimimu makan siang dengan indeks glikemik rendah.”
“Itu bukan hanya. Aku enggak pernah cerita sama dia soal penyakit diabetesku. Itu artinya dia melacak informasi tentangku diam-diam. Itu jelas-jelasan red flag.”
“Dia seorang dokter, mungkin dia membaca pola—”
“Atau psikopat.”
Psikiaterku membuang napas. “Yang kulihat di sini adalah kecenderunganmu menghindari intimasi. Hubungan kasual memberimu rasa aman karena dengan begitu para pria yang kamu tiduri tidak berpeluang melukaimu. Tapi si dokter ini—”
“Si psikopat.”
“Ya, sejauh ini aku melihat pola yang sehat darinya. Kamu melarikan diri darinya karena kamu tahu dirimu mulai jatuh cinta kepadanya.”
Cinta tahi kucing.
Pagi itu, aku menyesali keputusan untuk menelepon psikiaterku, kemudian meminta office boy membersihkan semuanya.
Kemudian kesadaranku kembali ke dalam kamar resor nomor 1032.
“Sekarang berbaliklah.” Dengan posisi menelungkup, kucambuk punggung pucatnya menggunakan sabuk yang sebelum ini melingkari jinsnya. Cambukan itu membuat Jan memekik. Kejar-kejaran dengan bunyi pecutan selanjutnya. Apakah rasa sakit yang kuberikan mengingatkannya pada ayah atau ibunya yang dulu terbiasa memecutnya? Atau penghormatan yang diterimanya selama ini di tempat kerja malah membuatnya mendambakan derita?
Lepas dari cambukan, gesit kupasang strap on dildo yang kupesan secara daring dan melumurinya dengan pelumas. Setelah terikat di pinggang, kutelusuri bagian pundaknya dengan bibir hingga ia bergidik lalu kucengkeram rahangnya. Ia mengerang saat dildo perlahan menerobos bokongnya dan memulai sesi penetrasi. Erangannya berubah menjadi racau. Apa ini mengingatkannya pada selingkuhan ibunya yang pernah meminta dia berdiri menghadap dinding sambil melakukan sodomi? Beri tahu aku, wahai Jan yang bukan Jan, apa ceritamu? Melalui reaksi yang ditunjukkan Jan, kuingat lagi teori mengenai trauma yang kadang bisa membuat manusia keliru menganggap luka sebagai kesenangan.
Di sela penetrasi, Jan melenguh panjang lalu tubuhnya mengejang. Aku tidak menduga dirinya mampu mencapai klimaks tanpa rangsangan pada penis. Setelah itu kami terkulai, kulepaskan seluruh ikatan dan scarf yang membungkamnya. Ia kemudian meraupku ke dalam pelukan dan meletakkan kepalaku di dadanya. Kudongakkan kepala dan kuamati wajah Jan yang rupawan, membuatku menyesal tidak sempat merekam permainan kami tadi dalam bentuk film biru.
“It’s your turn,” bisiknya lemah.
Pendengaranku kembali disesaki gema. Mulai dari nasihat psikiaterku, teriakan suamiku, uraian penuh pengertian dari Pak Dokter yang sedang kasmaran padaku, ibuku yang memintaku memperbaiki diri (seolah semua kegagalan selalu murni salahku), sampai keponakanku yang ototnya mengingatkanku pada pahaku yang mulai menggelambir, yang kini sedang menantikan sekotak Marlboro biru.
Tubuhku membeku. Entah bagaimana kemalangan yang mungkin menimpa Jan di masa lalu membuatku bersimpati. Kemalangan itu membuatku sadar bahwa setidaknya kami menemukan kesamaan.
Kujawab Jan yang bukan Jan, “Not tonight.”
Berusaha merenggut sensasi hangat yang menguar alami dari liat tubuhnya yang berkeringat, aku lagi-lagi menunda segala hal dan membiarkan semua orang menunggu. Di bawah, kudengar klakson mobil samar-samar masih saling bersahutan.