Lifestyle

‘Salam dari Binjai’, Rusaknya Pohon Pisang, dan Latah Tiru Konten Viral

Rusaknya pohon pisang di sejumlah daerah akibat meniru konten “Salam dari Binjai” mengingatkan orang tua untuk mendampingi anak-anaknya di media sosial.

Avatar
  • November 4, 2021
  • 5 min read
  • 768 Views
‘Salam dari Binjai’, Rusaknya Pohon Pisang, dan Latah Tiru Konten Viral

Sejumlah pohon pisang milik warga di beberapa daerah, seperti di Lamongan, Salatiga, dan Deli Serdang, rusak dalam beberapa hari terakhir. Semua penyebabnya sama: Tingkah laku anak-anak yang meninju pohon tersebut hingga miring dan roboh.

Kepala Desa Surabayan, Lamongan, Sunarto, mengatakan kepada Kompas.com, tindakan tersebut mayoritas dilakukan oleh anak-anak yang duduk di bangku SMP, dan turut direkam untuk diviralkan. Ketika diminta keterangan atas perilakunya terhadap 50 pohon pisang, mereka menjawab sedang latihan silat.

 

 

Kejadian tersebut berawal dari viralnya konten TikTok milik Paris Pernandes, mantan atlet nasional tinju, yang memukul sebuah pohon pisang sampai tumbang dan mengucapkan kalimat, “Salam dari Binjai.”

Baca Juga: Dampak ‘Sharenting’ di Media Sosial Bagi Anak

Ternyata, hal ini tidak hanya merugikan warga yang pohon pisangnya ia rusak. Anak-anak pun kemudian meniru tindakannya tersebut. Seorang anak laki-laki menangis kesakitan usai meninju batang pohon pisang. Bahkan, ada yang telunjuknya patah saat sedang melakukannya.

Aksi viral yang dilakukan Paris bukan satu-satunya tindakan yang ditiru oleh anak, baik di Indonesia maupun luar negeri.

Pada April lalu, nyawa seorang anak berusia 15 tahun terenggut akibat terlindas truk yang melintas. Peristiwa yang terjadi di Bogor itu tak lepas dari upaya anak tersebut untuk mengikuti tren viral, yakni menghadang truk yang melaju kencang. Harapannya, ia berhasil menghentikan kendaraan tersebut dan ikut terkenal di media sosial, namun realitasnya malah berujung tragedi.

Selain itu, tantangan memanjat piramida yang dibuat dari peti susu juga sempat viral di TikTok pada Agustus silam. Berdasarkan sejumlah video yang beredar, banyak orang melukai dirinya sendiri lantaran terjatuh dan mendarat pada leher, tubuh bagian samping, dan dalam posisi telentang akibat meniru konten TikTok itu.

Beberapa kejadian tersebut awalnya dilihat sebagai hiburan. Namun, karena dianggap menyenangkan, hal ini menginspirasi anak untuk melakukannya, ditambah ketenaran yang ditawarkan media sosial yang terlanjur membutakan. Pun mereka belum tentu memahami jika perbuatannya berisiko.

Mengapa Anak Ikut Melakukan Aksi Viral?

Kenyataannya, setiap orang ingin punya sense of belonging terhadap sesuatu, termasuk pada anak. Misalnya dengan menjadi bagian dari komunitas maupun sesuatu yang sedang tren. Keberadaan media sosial lantas berkontribusi dalam membuat penggunanya lebih terkoneksi satu sama lain lewat gim, mengobrol, dan berjejaring.

Tidak hanya itu, sering kali seseorang membutuhkan validasi orang lain dan ingin menempatkan diri di sebuah lingkungan. Meniru konten viral adalah salah satu caranya, terlebih di masa pandemi ketika kontak langsung terbatas.

“Sering kali orang bersedia melakukan hal-hal berbahaya agar terkoneksi dan tidak memperhatikan risikonya,” jelas Brittany Morris, seorang pekerja sosial bersertifikat dari Thriveworks di Virginia, AS, dikutip dari Verywell Mind.

Namun, hal ini bukan semata-mata didorong oleh keinginan terkoneksi atau divalidasi. Tren yang terus bermunculan di media sosial membuat anak merasa takut tertinggal, atau fear of missing out (FoMO). Oleh karena itu, mereka ikut mengambil bagian dengan melakukan tren.

Baca Juga: Tak Semua Orang Tua Mulia

Menurut Hatice Y. Durak, akademisi di Dokuz Eylul University, Turki dalam “Investigation of nomophobia and smartphone addiction predictors among adolescents in Turkey: Demographic variables and academic performance” (2019), FoMO disebabkan oleh penggunaan media sosial yang berlebihan.

Hal itu didukung oleh penelitian berjudul “Apestaartjaren 2018: Media ownership, media use and online behavior, Belgium” (2018) oleh Mediaraven dan LINC, organisasi berbasis sukarela dengan fokus pembahasan pada media digital dan anak-anak, remaja, dan pekerja muda di Flanders, Belgia. Riset tersebut menunjukkan, lebih dari 70 persen remaja lekat dengan penggunaan smartphone. 

Selain dari media sosial, tekanan dari teman sebaya dan interaksi sosial juga membuat anak semakin rentan terhadap FoMO. Mereka ingin disukai, khawatir akan diejek, dan tidak diterima di kelompok pertemanan apabila tidak mengikuti perkembangan tren.

Penyebab FoMO pada anak dapat pula dipengaruhi oleh keadaan di lingkungan keluarganya. Menurut Maria Cruz Lopez de Ayala Lopez, dkk. dari Rey Juan Carlos University, Spanyol dalam “Problematic internet use among Spanish adolescents: The predictive role of internet preference and family relationships” (2015),  kuatnya hubungan antara orang tua dan anak yang dilandaskan komunikasi dan kepercayaan mampu melindungi anak dari FoMO. Oleh karena itu, apabila relasi keduanya tidak cukup baik, anak cenderung “melarikan diri” ke media sosial dan memfokuskan interaksi dengan teman-temannya.

Kemudian, Morris juga menyebutkan alasan lain seorang anak meniru konten viral di media sosial, yaitu rasa ingin tahu, serta dorongan impulsif untuk mencoba dan menjadi pusat perhatian. Menyadari adanya faktor-faktor ini, anak memerlukan pendampingan orang tua supaya mereka dapat lebih selektif dalam memilah dan meniru konten yang aman.

Pentingnya Pendampingan Orang Tua

Masifnya penggunaan media sosial pada anak tidak lepas dari pola asuh orang tuanya. Tidak dimungkiri, kehidupan anak memang lekat dengan perangkat digital. Namun, orang tua dapat membatasinya dengan digital parenting atau upaya untuk memahami, mendukung, dan membuat regulasi bagi anak dalam aktivitasnya di lingkup digital.

Pernyataan tersebut didukung oleh Loredana Benedetto dan Massimo Ingrassia, akademisi di University of Messina, Italia dalam “Digital Parenting: Raising and Protecting Children in Media World” (2020). Keduanya mengungkapkan, orang tua berperan memfasilitasi anak dalam menggunakan alat-alat digital secara aman dan konstruktif.

Baca Juga: Andai Jadi Ibu, Ini yang Takkan Saya Lakukan pada Anak

Mengingat adanya kebutuhan anak terhadap akses ke dunia digital, orang tua perlu memberikan batasan waktu penggunaan ponsel, bukan sepenuhnya menghalangi mereka. 

Di samping itu, anak perlu pula diajari tentang rentang waktu tertentu untuk menggunakan media digital dan fungsi pemakaiannya. Misalnya, media digital digunakan untuk menonton dan bermain games sebagai hiburan, serta membantu pembelajaran materi di sekolah. Sementara, pada jam makan dan waktu bersama keluarga lainnya, gawai harus diletakkan. 



#waveforequality


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *