Lifestyle

Satu Minggu Tanpa Handphone Sebelum Tidur, Ini yang Saya Alami

Cemas hingga menemukan hal baru tentang dirinya, ini yang penulis alami ketika memutuskan untuk puasa ponsel sebelum tidur.

Avatar
  • August 3, 2021
  • 8 min read
  • 842 Views
Satu Minggu Tanpa Handphone Sebelum Tidur, Ini yang Saya Alami

“Siapa di sini yang mau nyoba satu minggu tanpa main handphone sebelum tidur?” tanya salah satu editor saya, ketika kami sedang mengadakan rapat redaksi minggu lalu. 

Banyak yang ragu untuk mengambil tantangan itu termasuk saya, sebab bagi saya malam hari itu ya waktunya untuk menjelajah media sosial dan membaca manhwa Boys love. Kalau enggak boleh menggunakan handphone, terus saya ngapain? Karena pertanyaan itulah saya pun memberanikan diri untuk melakukan tantangan ini. Toh, cuma handphone, saya bisa tetap menonton yang lain lewat laptop.

 

 

“Dengerin musik lewat aplikasi streaming juga enggak boleh, dan buka laptop juga enggak boleh,” tambahnya. Hah? Gimana, gimana? Apa enggak mati gaya sebelum tidur tanpa hiburan dari kedua gawai tersebut? 

Saya jadi pesimis dengan nasib saya selama satu minggu ke depan. Sebelumnya, saya sudah membaca beberapa artikel eksperimen serupa. Yang membedakan, eksperimen mereka lebih ekstrem, bahkan sampai ada yang tidak menggunakan internet sama sekali selama satu tahun.

Namun hanya membaca saja tanpa mencoba pun tidak afdol rasanya. Saya juga sebetulnya kepo seberapa tahan saya melakukan puasa gawai. Walaupun cuma dua jam sebelum tidur, lepas dari gawai tetap jadi hal yang paling sulit saya lakukan. Saya sudah mencoba beberapa kali, namun selalu gatot alias gagal total. 

Untuk eksperimen kali ini, saya sudah siap mental bakal menyerah setelah hari pertama. Ternyata hal yang terjadi malah di luar ekspektasi saya. 

Baca juga: Bagaimana Kamu Bisa Mati Karena Kerja Berlebihan?

Senin, Malam Pertama: Waktu Melambat Bersama Kawan Lama

Setelah rapat mingguan itu, saya menunggu malam datang dengan perasaan cemas. 

Ketika jam tujuh malam tiba, saya menaruh handphone di meja kerja dan mulai melihat ke sekeliling kamar. Saya menyadari tumpukan buku baru yang saya beli semakin menggunung, namun belum sempat saya baca dengan alasan “nggak ada waktu”,  atau “sudah lelah membaca yang berat-berat”. Hampir 15 menit saya memutuskan buku mana yang akan menemani saya malam ini, dan pilihan pun jatuh ke buku The Seven Necessary Sins For Women and Girl karya penulis feminis asal Mesir, Mona Eltahawy. 

Buku ini saya beli pada pertengahan 2019, dan baru saya sentuh di tahun ini. Ya ampun, saya jadi merasa bersalah karena sering menimbun buku hingga sampai sebanyak ini. Oke, untuk menebus rasa bersalah ini, saya bertekad untuk membaca buku tersebut sampai jam tidur tiba. Saya pikir hal ini akan berjalan mulus karena dahulu buku adalah sahabat saya. Tetapi beberapa tahun terakhir memang hubungan saya dengan aktivitas membaca sudah renggang, karena saya sering kali merasa bosan saat membaca sebuah buku. 

Dua jam terasa telah berlalu ketika saya membaca buku Mona, tetapi ternyata ketika melihat jam, baru 15 menit berselang sejak saya memulai membaca. Ada sesuatu yang sepertinya hilang juga saat saya duduk di tempat tidur di kamar saya. Ah, ya, musik! Biasanya saya berselancar online sambil mendengarkan musik dari salah satu aplikasi streaming. Ternyata membaca tanpa soundtrack membuat saya mengantuk.Lalu saya teringat pemutar kaset bekas yang saya beli dari seorang teman dua tahun yang lalu. Setelah membongkar kotak penyimpanan barang, saya menemukan pemutar kaset portable tersebut. Di antara beberapa kaset yang saya miliki, salah satunya adalah album yang berisi musik klasik berjudul Mad about Mozart yang saya beli secara random saat ke toko musik bersama orang tua ketika masih SD. 

Alhamdulillah, baik pemutar kaset maupun kasetnya masih berfungsi dengan baik.

Surprisingly, malam pertama tanpa gawai tidak sesulit yang saya takutkan. Mungkin karena ini mendekatkan saya lagi dengan sahabat lama (buku) dan pemutar kaset jadul ini. Malam itu saya tertidur sekitar jam 9, dua jam lebih awal dari jam tidur saya biasanya. 

Baca juga: ‘Revenge Bedtime Procrastination’, Menyenangkan tapi Buruk untuk Kesehatan

Selasa, Malam Kedua: Pagi Segar, Malam Cemas

Bangun tidur biasanya waktu yang menyebalkan buat saya, karena jam berapa pun tidur, saya tetap tidak merasa puas dan segar paginya. Namun, pagi itu saya agak terkejut, kok subuh sudah terbangun dengan perasaan segar. Wah, ini pertanda bagus, pikir saya.

Setelah mematikan alarm, saya mengecek beberapa notifikasi di hp saya, ternyata tidak ada pesan yang penting yang masuk. Saya pun mengecek situs fanfic yang biasa saya kunjungi untuk membaca beberapa cerita yang telah saya tandai malam sebelumnya. Anehnya, saya tidak merasa keinginan yang kuat untuk membuka media sosial seperti di pagi biasanya. 

Ketika malam tiba, perasaan cemas timbul yang membuat saya sering melirik penuh rindu pada ponsel saya. Waktu terasa melambat, lebih lambat dari hari sebelumnya. 

Apakah yang saya rasakan ini kesepian? Apakah tidak ada yang mencari saya? Apakah teman saya peduli pada saya? Apakah saya akan sendirian sampai tua?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut berkecamuk di benak saya. Ada emosi yang muncul yang terasa asing. Saya berpikir, apakah perasaan ini selalu ada, namun selama ini saya bisa abaikan dengan mengalihkan perhatian seperti menonton serial atau bermain gawai? 

Baca juga: 6 Cara Lindungi Kesehatan Mental dari Bahaya Media Sosial

Perasaan ini terasa sangat kuat, dan hampir membuat saya menangis. Buru-buru saya mencari hal lain untuk mengalihkan perasaan itu. Beruntungnya ada film Map Against The World di saluran televisi Korea tvN yang bercerita tentang seorang kartografer legendaris yang menyatukan peta-peta daerah yang ia kunjungi hingga membentuk daerah yang kini disebut Korea Selatan. 

Memang selama ini saya sudah jarang menonton di TV, karena saya merasa lebih nyaman dan privat menonton serial dari ponsel atau laptop. Malam itu saya habiskan duduk di depan TV di ruang tamu dengan mata sembab menonton film yang mengharukan itu, didampingi ibu saya yang terus bermain hape sepanjang film tersebut. 

Rabu, Malam Ketiga: Diingatkan pada Privilese 

Tiga hari tanpa ponsel sebelum tidur membuat saya memiliki hiburan yang super terbatas. Saya cuma bisa membaca novel, mendengarkan musik dari kaset yang saya miliki, dan menonton televisi. Saya jadi terbayang, bagaimana jika hiburan saya hanya televisi dengan saluran TV nasional saja?

Masih banyak masyarakat yang hiburannya hanya berasal dari saluran televisi nasional. Acara  yang mereka dapatkan pun tidak bermutu, mulai dari sinetron azab yang seksis sampai reality show yang jualan privasi artis

Enggak heran kebanyakan orang yang memiliki ponsel pintar lebih memilih mencari hiburan di gawai mereka ketimbang menonton televisi. Saya termasuk orang yang beruntung, sebab ketika saya tak lagi bergantung pada ponsel di malam hari, saya masih bisa memilih hiburan lain.   

Hari ketiga, saya ditampar dengan realitas bahwa lepas dari ponsel dan masih bisa memilih hiburan lain itu adalah sebuah privilese. 

Baca juga: Tips Sehat untuk Generasi ‘Burnout’

Kamis, Malam Keempat: Menamatkan Buku yang Sudah Lama Ditimbun

Di malam keempat saya memecahkan rekor dengan menamatkan dua buku novel, yaitu Dua Belas Pasang Mata karya Sakae Tsuboi dan Polisi Kenangan dari Yoko Ogawa. 

Jumat, Malam Kelima: Teman Terbaik Adalah Diri Sendiri  

Dalam beberapa hari ini banyak sekali emosi yang saya rasakan di malam hari yang membuat saya begitu cemas. Kebetulan Jumat siang saya ada janji sesi dengan psikolog saya. Dalam sesi tersebut, saya menceritakan apa yang saya alami beberapa hari ini, dan psikolog saya, mbak Ajeng, mengatakan, 

“Itu karena kamu baru memulai memahami dan mengenal lebih jauh diri kamu sendiri Elam,” ujarnya. Ah, ternyata itu yang saya rasakan! 

Beberapa hari tidak menggunakan gawai di malam hari memberikan saya lebih banyak waktu untuk diri saya sendiri. Ketika melihat gawai, yang saya pikirkan tentunya kehidupan orang lain yang terlihat di media sosial. Karena terlalu terfokus dengan kehidupan orang lain, saya jadi mengabaikan diri saya. Makanya, saya merasa cemas akhir-akhir ini, sebab emosi-emosi ini baru saja saya pelajari, padahal hal itu bagian penting untuk memahami diri kita.  

Malam kelima saya jadi menyadari ketika merasa kesepian, teman terbaik adalah dirimu sendiri (yang terkadang kamu abaikan karena terlalu fokus dengan hidup orang di media sosial). 

Sabtu, Hari Keenam: Menamatkan buku ketiga di minggu ini

Saya berhasil menamatkan buku Mona Eltahawy yang dari hari Senin saya baca.  

Hari Terakhir, Minggu: Mantap Melanjutkan Kebiasaan Baru Ini 

Ini merupakan hari terakhir saya tidak menggunakan ponsel sebelum tidur, dan saya mantap untuk meneruskan rutinitas ini. Banyak sekali aspek dalam hidup saya yang berubah menjadi lebih baik, mulai dari jam tidur yang semakin rutin, perasaan segar ketika bangun tidur, dan kembali berteman baik dengan diri sendiri.

Saya sadar tidak semua orang bisa dengan mudah lepas dari gawai mereka, apalagi banyak pekerja yang masih dihubungi oleh kantor ketika malam hari. Mungkin kantor harus  menganjurkan karyawan mereka untuk lepas gawai sebelum tidur (dan tentunya tidak mengganggu mereka dengan pekerjaan di malam hari). Karena, berdasarkan pengalaman saya seminggu ini, puasa gawai sebelum tidur membuat saya jadi lebih produktif. 

Buat kamu yang merasa gak bisa lepas dari gawai kamu, mungkin kamu perlu mencoba puasa ini paling tidak satu atau dua kali dalam seminggu. Awalnya memang susah, tapi kalau kamu bisa, dampaknya sangat positif. Kamu mungkin bisa menemukan satu atau dua hal baru tentang diri kamu. 


Avatar
About Author

Elma Adisya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *