Sinetron ‘Buku Harian Seorang Istri’ Lestarikan Patriarki, Wajarkan Kekerasan
Sosok istri yang terus menghadapi kekerasan dari suaminya dalam sinetron ini menunjukkan usaha media untuk melanggengkan patriarki dan mewajarkan kekerasan.
Sinetron bertema pernikahan anak muda berjudul Buku Harian Seorang Istri (BHSI) kembali tayang di SCTV sejak 12 Januari.
BHSI mengisahkan bahtera rumah tangga antara Nana (Zoe Jackson) dan Dewa (Cinta Brian). Dewa terpaksa menikahi Nana atas permintaan Wawan (Umar Lubis), ayah Nana, karena Dewa tidak ingin dilaporkan ke polisi setelah telah menabrak Wawan.
Kehidupan Nana dan Dewa penuh tekanan dan siksaan akibat tidak ada rasa cinta dan perlakuan kasar Dewa terhadap Nana, terutama jika sedang tidak ada Farah (Dian Nitami), ibu Dewa, di antara mereka. Selain itu, Dewa juga berselingkuh dengan Alya (Hana Saraswati) yang telah bersuami.
Sinopsis seperti ini adalah pengulangan dari sinetron-sinetron yang pernah atau sedang tayang, termasuk dalam mayoritas FTV Suara Hati Istri yang tayang di Indosiar.
Media, termasuk sinetron, memiliki peran besar dalam membentuk ideologi masyarakat dan melanggengkannya. Sebuah ideologi masuk melalui sebuah pesan yang dilakukan secara berulang-ulang dan kemudian diterima sebagai norma oleh masyarakat.
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pada Februari 2020, sebanyak 60 persen penduduk Indonesia merupakan penonton setia sinetron. Artinya, sebuah ideologi akan lebih cepat diterima karena telah menyasar lebih dari setengah penduduk Indonesia.
Sinetron ‘Buku Harian Seorang Istri’ Melanggengkan Patriarki
Dalam jalan ceritanya, BHSI melanggengkan nilai-nilai patriarki yang dominan di masyarakat. Dewa menganggap dirinya memiliki kekuasaan secara status dan ekonomi. Meskipun telah berstatus suami Nana, pernikahan yang dilatarbelakangi oleh keterpaksaan membuatnya merasa berhak untuk berlaku kasar dan memanipulasi emosi Nana.
Dewa juga digambarkan lahir dari keluarga yang memiliki privilese secara ekonomi dan menganggap bahwa ia mampu membeli segalanya dengan uang, termasuk Nana. Nana yang ingin memberikan kenyamanan hidup bagi adiknya, Lula, hanya bisa manut mengikuti permainan Dewa.
Baca juga: Kenapa Karakter Perempuan di Sinetron Indonesia Masih Belum Beragam?
Ketika Nana tahu bahwa Dewa masih mencintai Alya bahkan setelah mereka menikah, bisa ditebak bahwa Nana berusaha mempertahankan rumah tangganya demi Wawan.
Ada pun praktik pelanggengan patriarki terlihat dari tidak adanya kesetaraan dalam pembagian peran rumah tangga antara Nana dan Dewa. Nana yang sudah memikul banyak tekanan juga diharuskan mengatur keperluan rumah tangga, termasuk belanja bulanan dan mengurus rumah.
Dalam salah satu adegan diperlihatkan Dewa melemparkan uang belanja ke wajah Nana. Nana menganggap hal tersebut adalah wajar karena sudah menjadi kewajiban seorang istri untuk patuh kepada suaminya dan menerima segala bentuk perlakuan Dewa.
Buku Harian Seorang Istri Merupakan Normalisasi Perilaku Abusive
Sinetron BHSI memang baru dua hari tayang, namun jalan cerita ke depannya bisa ditebak. Pertama, Nana akan selalu sabar dalam mempertahankan rumah tangganya sambil terus berharap perlahan Dewa akan sadar dan mengubah perilakunya yang penuh kekerasan (abusive).
Dalam konteks sinetron BHSI, wacana “cinta datang karena terbiasa” dibentuk. Dengan kelembutan dan kesabarannya, perempuan dianggap sebagai “agen” yang bisa mengubah perilaku abusive pasangannya setelah menikah.
Perilaku abusive, yang digambarkan dalam tokoh-tokoh sinetron Indonesia, sering kali merupakan produk dari masa kecil seseorang yang kurang bahagia atau punya luka masa lalu yang belum sembuh disebabkan oleh orang tuanya. Malangnya, saat perilaku abusive tokoh laki-laki muncul dalam rumah tangga karena luka masa lalunya tak kunjung disembuhkan, perempuanlah yang kerap disalahkan karena kegagalannya ‘memperbaiki’ pasangannya.
Para produser BHSI sepertinya luput memperhatikan bahwa normalisasi perilaku abusive, meskipun hanya berupa cerita sinetron, akan berpotensi mengarah kepada bentuk kekerasan yang tidak hanya berupa emosional dan psikis, tetapi juga fisik. Media memiliki peran yang besar dalam membentuk persepsi masyarakat, tidak sedikit masyarakat yang berpotensi akan mencontoh perilaku tersebut dan menganggapnya wajar.
Baca juga: 7 Hal yang Bisa Bikin Sinetron Istri Terobsesi K-pop Lebih Meyakinkan
Cerita Sinetron Versus Realitas
Jalan cerita kedua yang bisa ditebak adalah akan terjadi persaingan antara Nana dan Alya dalam memperebutkan Dewa. Dalam hal ini, Alya akan menjadi korban baru Dewa karena laki-laki itu juga memanipulasi pikiran Alya dengan mengatakan bahwa Alya adalah cinta sejatinya.
Alya akan dibuat merasa terancam dengan kehadiran Nana, dan akan melakukan apa saja untuk membuat rumah tangga Dewa dan Nana hancur. Wacana perempuan sebagai pelakor akan dibentuk sehingga masyarakat dibuat lupa bahwa Dewa adalah pelaku antagonis sesungguhnya dalam cerita ini.
Penonton menyukai konflik dan akhir cerita bahagia. Boleh jadi sinetron ini berakhir bahagia seperti keinginan penonton, boleh jadi kemungkinan kedua jalan cerita di atas sama sekali tidak terjadi. Namun, sinetron tetaplah sinetron dan bukan dunia nyata. Di dunia nyata, akhir yang bahagia seperti di sinetron itu peluangnya kecil sekali terwujud.
Yang ada, perempuan yang memilih bertahan dalam pernikahan yang menyengsarakan malah makin hari makin babak belur baik secara emosional ataupun fisik. Akan sangat disayangkan bila seorang perempuan dalam kondisi itu di dunia nyata terus berharap situasi berubah lebih baik hanya karena termakan narasi sinetron yang tidak realistis.
Baca juga: Tak Melulu Nestapa: 5 FTV dengan Cerita Perempuan Berdaya
Narasi Sinetron yang Lebih Setara Gender
Jika saya memiliki kekuatan dalam membentuk opini massa, saya akan menciptakan tokoh-tokoh yang memiliki kesadaran terhadap wacana kesetaraan gender, di mana baik tokoh perempuan dan laki-laki berjuang bersama untuk menciptakan sebuah relasi yang sehat.
Saya akan menciptakan tokoh perempuan yang mampu berdiri di atas kakinya sendiri dan mampu membuat keputusan hidup sesuai yang dia inginkan. Ia mungkin akan bersedih ketika berpisah dengan pasangannya, namun ia bisa bangkit dan fokus berbenah diri.
Saya juga akan menciptakan tokoh laki-laki yang nyaman dengan maskulinitasnya sehingga ia tidak akan merasa harga dirinya jatuh hanya karena mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Ia akan menghormati keputusan pasangannya dan tidak akan meninggalkan pasangannya. Tentu saja ia juga tidak akan selingkuh hanya karena pasangannya belum mampu memberinya keturunan. Dia pun tak akan digambarkan sebagai suami yang sibuk bekerja sementara istrinya hanya menunggu di rumah.