Health Lifestyle

6 Cara Lindungi Kesehatan Mental dari Bahaya Media Sosial

Berikut ini hal-hal yang bisa kamu lakukan untuk menghindari dampak buruk penggunaan media sosial.

Avatar
  • March 9, 2021
  • 5 min read
  • 833 Views
6 Cara Lindungi Kesehatan Mental dari Bahaya Media Sosial

Pengaruh buruk media sosial terhadap kesehatan mental penggunanya telah dikemukakan dalam berbagai penelitian, salah satunya dalam hasil survei Asosiasi Psikiatri Amerika (American Psychiatric Association). Di sana disebutkan bahwa lebih dari sepertiga orang dewasa di AS memandang media sosial berbahaya bagi kesehatan mental mereka.

Hanya 5 persen responden yang memandang media sosial memiliki dampak positif bagi kesehatan mental, sementara 45 persen menyebutkan media sosial memiliki efek positif dan negatif.

 

 

Survei tersebut mengungkapkan, dua pertiga responden meyakini bahwa penggunaan media sosial terkait dengan isolasi sosial dan rasa kesepian. Selain itu, banyak penelitian yang mengaitkan penggunaan media sosial dengan depresi, rasa iri, penurunan kepercayaan diri, dan kecemasan sosial.

Sebagai psikolog yang mempelajari bahaya interaksi online dan mengamati efek penggunaan media sosial (yang salah) pada kehidupan klien saya, berikut enam saran untuk mengurangi bahaya media sosial terhadap kesehatan mental.

1. Batasi Waktu dan Tempat Menggunakan Media Sosial

Menggunakan media sosial dapat mempengaruhi komunikasi langsung dengan orang lain. Dengan mematikan notifikasi media sosial atau menyalakan mode pesawat pada waktu tertentu setiap harinya, kamu bisa berhubungan lebih baik dengan orang lain.

Misalnya, tidak mengecek media sosial saat makan bersama keluarga dan teman, saat bermain dengan anak, hingga saat berbicara dengan pasangan. Hindari media sosial agar tidak mengganggu pekerjaan atau mengalihkan percakapan dengan kolega. Saran khusus, jangan simpan ponsel atau komputer di kamar karena akan mengganggu tidurmu.

Baca juga: Bebas di Media Sosial Meski Dipantau Keluarga, Mungkinkah?

2. Jadwalkan Periode ‘Detoks’ atau Puasa Medsos

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa “detoksifikasi” atau “puasa” media sosial selama lima hari hingga seminggu dapat menurunkan level stres dan meningkatkan kepuasan hidup. Jadi, mulailah jadwalkan jeda dari media sosial selama beberapa hari.

Pengurangan durasi penggunaan media sosial tidak harus ekstrem sampai menyebabkan kamu menjadi tidak nyaman karena tidak bisa mengaksesnya. Misalnya, menggunakan Facebook, Instagram, dan Snapchat selama 10 menit sehari selama tiga minggu dapat menurunkan tingkat kesepian dan depresi.

Awalnya mungkin akan sulit dilakukan, namun kamu bisa meminta dukungan dari keluarga dan teman dengan mengatakan sedang “detoksifikasi” media sosial. Hal lain yang bisa dilakukan adalah menghapus aplikasi media sosial favorit kamu.

3. Perhatikan Apa yang Kamu Lakukan dan Bagaimana Perasaanmu

Coba gunakan platform online favorit kamu pada waktu dan durasi yang berbeda dalam sehari untuk melihat bagaimana perasaan kamu saat itu dan setelahnya. Kamu mungkin menemukan bahwa menggunakan media sosial dengan waktu yang singkat akan membantumu merasa lebih baik ketimbang menghabiskan waktu 45 menit untuk menelusuri seluruh feed situs secara mendalam.

Jika kamu merasa menghabiskan energi mengakses media sosial setiap tengah malam yang berujung kepada timbulnya rasa buruk tentang diri sendiri, sebaiknya tidak membuka laman tersebut setelah pukul 10 malam.

Baca juga: 5 Akun Instagram Bermanfaat Soal Kesehatan Mental

Perlu diketahui bahwa orang-orang yang pasif menggunakan media sosial, sekadar melihat unggahan milik orang lain, merasa lebih buruk daripada orang yang aktif menggunakan media sosial, mengunggah tentang diri sendiri, dan berinteraksi dengan orang lain di dunia maya. Lebih baik memfokuskan interaksi online dengan orang yang kamu kenal secara offline.

4. Gunakan Media Sosial dengan Penuh Kesadaran

Apabila membuka Twitter telah menjadi hal pertama yang dilakukan pada pagi hari, perlu kamu selidiki apakah itu karena ingin mengetahui berita terkini atau hanya kebiasaan sebagai pelarian dalam menghadapi hari baru? Apakah kamu justru memilih melihat unggahan di Instagram ketimbang mengerjakan tugas yang sulit di tempat kerja?

Jawablah pertanyaan ini secara jujur kepada diri sendiri. Ketika meraih ponsel (atau komputer) untuk memeriksa media sosial, jawablah pertanyaan ini: Mengapa saya melakukan ini sekarang? Putuskan apakah hal tersebut memang yang harus kamu lakukan saat itu.

5. Pangkas Akun yang Diikuti di Media Sosial

Seiring waktu, banyak orang atau organisasi yang Anda ikuti di media sosial. Beberapa konten menarik untuk dilihat, namun ada banyak yang akan membosankan, menjengkelkan, menyebalkan atau bisa lebih buruk lagi. Ini waktu yang tepat untuk berhenti mengikuti (unfollow), membisukan (mute), atau menyembunyikan kontak kamu (hide). Mereka tidak akan menyadari bahwa kamu melakukan “pemangkasan” media sosial. Hasilnya, hidup kamu akan menjadi lebih nyaman.

Baca juga: Tips Sehat untuk Generasi ‘Burnout’

Hal ini diungkapkan dalam penelitian terbaru tentang informasi kehidupan teman-teman Facebook yang bisa memengaruhi orang lebih negatif dibandingkan konten lainnya di Facebook. Sementara, konten yang dipenuhi dengan kisah-kisah inspiratif justru menimbulkan perasaan bersyukur, vitalitas, dan kekaguman. Memangkas beberapa “teman” dan menambah beberapa situs yang memotivasi atau lucu cenderung mengurangi efek negatif dari media sosial.

6. Ingat, Media Sosial Bukan Pengganti Kehidupan Nyata

Menggunakan Facebook untuk mengetahui kabar sepupu kamu yang baru saja melahirkan adalah hal yang baik, namun jangan menunda kunjungan setelah berbulan-bulan lamanya. Kicauan di Twitter dengan kolega bisa menarik dan menyenangkan, asalkan interaksi tersebut tidak menggantikan komunikasi langsung dengan mereka.

Saat digunakan dengan penuh kesadaran dan pertimbangan, media sosial merupakan alat tambahan yang berguna bagi kehidupan sosial kamu. Namun, hanya orang yang sedang duduk di hadapan Anda yang dapat memenuhi kebutuhan dasar manusia akan rasa keterhubungan dan keberadaan diri.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.


Avatar
About Author

Jelena Kecmanovic

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *