Saya Benci Laki-laki: Mengintip Catatan Harian si Mis(s)andri
Walaupun sering mengatakan saya membenci laki-laki, tidak ada niat untuk menyakiti dan berharap ada keadilan gender.
Saya suka membayangkan diri menjadi pendekar perempuan Amazon. Bahkan sering kali hal itu merasuk ke mimpi saya. Dalam mimpi itu, saya bersama pendekar lainnya bertarung melawan pasukan Yunani Kuno yang menyusup ke daerah kami. Lengkap dengan pakaian perang, pedang, dan panah, kami berkuda tanpa rasa takut melawan musuh. Saya merasa tidak terkalahkan karena ada saudara perempuan lain yang siap melindungi jika salah satu dari kami dalam bahaya.
Sayangnya, itu semua bukan kenyataan. Impian tinggal bersama kelompok yang dicap misandri—perempuan pembenci laki-laki, lesbian, dan berpayudara satu—itu hanya fantasi. Saya pun harus menghadapi realitas di dunia ini kita hidup dengan budaya patriarki yang membuat saya kerap merutuk: “Saya benci laki-laki,”
Jangan khawatir, sebenarnya saya tidak benar-benar membenci anak-anak keturunan Adam. Itu hanya ungkapan belaka. Namun, pengalaman hidup sendiri dan orang lain yang melibatkan mereka membuat saya antipati dengan laki-laki.
Pada hari kedua masuk taman kanak-kanak (TK), misalnya, seorang anak laki-laki memaksa saya untuk berdiri di depan gerbang sekolah di waktu istirahat. Dia lalu menyingkap rok seragam saya agar teman-temannya yang berdiri di belakang bisa melihat celana dalam yang saya kenakan. Begitu syoknya saya ketika itu sampai selama berbulan-bulan saya menolak untuk berbicara semasa TK. Bahkan guru saya menyangka saya bisu. Peristiwa itu sudah berlalu hampir 20 tahun, tapi tawa jahat anak-anak laki-laki itu masih terngiang sampai sekarang.
Baca juga: Magdalene Primer: Perbedaan Misogini dan Seksisme
Selain itu, tumbuh bersama kakak laki-laki yang merasa berhak atas segalanya dan seorang paman cabul yang gemar memegang tubuh dan memangku sampai saya risi membuat antipati itu semakin mengakar.
Semakin dewasa, pengalaman sendiri dan teman-teman, berita-berita di koran tentang kejahatan seksual oleh laki-laki (tolong jangan pakai argumen “Not All Men!” ya), dan hasil-hasil liputan sendiri semakin memupuk kebencian ini.
Teman saya, “Millie”, mengatakan, meskipun ayah, paman, dan kakeknya tidak melakukan kekerasan, ada male aggression yang mempengaruhi mood keluarga. Belum lagi perasaan berhak menghamburkan uang untuk sabung ayam karena budaya Bali menjamin mereka mendapatkan warisan. Sementara, ibu dan tantenya malah harus banting tulang mencari uang yang kemudian dibuang-buang begitu saja itu.
Pertanyaan pamungkas ”jadi bagaimana dengan kerabat laki-lakimu, apakah benci juga?” tidak mempan buat kami. Pasalnya, keluarga yang harus dicintai tanpa syarat itu yang memulai trauma.
“Membenci ini sebenarnya bukan hal baik dan yang patut dibanggakan, tapi bagaimana ya,” kata teman saya. Saya pun membalasnya, “Same, sister,”
Baca juga: Bagi Kelompok Anti-Feminisme, Ketertindasan Perempuan adalah Ilusi
Feminisme dan Misandri, Kebencian terhadap Laki-laki
Keinginan untuk menjauh dari laki-laki itu semakin kuat ketika saya belajar feminisme. Bahwa ada budaya bernama patriarki yang merugikan perempuan, misalnya dijadikan objek seksual. Pada saat bersamaan, budaya itu juga merugikan laki-laki, seperti merundung mereka yang tidak bisa mengikuti standar maskulinitas beracun. Permasalahan-permasalahan inilah yang ingin dientaskan oleh feminisme.
Tetapi, pengakuan ada rasa antipati kepada laki-laki membuat saya berada di ruang terjal. Pasalnya, kesempatan untuk menyalahartikan feminisme sebagai gerakan membenci laki-laki terbuka lebar. Apalagi mengingat kasus pemanah An San dari Korea Selatan, bagaimana kelompok anti-feminisme di sana mengartikan feminisme sebagai gerakan membenci laki-laki. Saya juga bisa kena cancel culture karena menganut nilai-nilai yang dianggap salah secara politis.
Menurut Mia Siscawati, dosen Kajian Gender Universitas Indonesia, feminisme adalah rangkaian pemikiran dan aksi yang dimaksudkan untuk kesetaraan gender. Feminisme tidak menginginkan dominasi atas satu sama lain.
“Yang dimusuhi feminisme bukan laki-laki, tapi patriarki, sistem sosio-budaya yang mengunggulkan laki-laki. Namun, sistem itu tidak hanya merugikan perempuan, laki-laki juga,” ujarnya kepada Magdalene (11/1).
Misandri dan feminism adalah hal yang sungguh berbeda, karena misandri bukanlah gerakan, melainkan istilah yang diciptakan untuk menggambarkan perempuan pembenci laki-laki, kata Mia.
Akademisi gender dari Universitas Airlangga, Diah Ariani Arimbi mengatakan, feminisme tidak berdasarkan pada konsep kekerasan an eye for an eye, tapi adil untuk semua.
“Feminisme menginginkan power sharing, membagi kue kekuasaan. Karenanya, tidak ada yang mendominasi, superior, dan inferior,” kata Diah pada Magdalene (12/1).
Baca juga: Tips Ampuh Anti Misoginis-misoginis Klub
Misandri vs Misogini dan Feminis Gagal
Mendengar penjelasan kedua ahli tersebut, muncul pertanyaan dalam benak saya: Apakah saya menjadi feminis gagal ketika muncul rasa enggan berasosiasi dengan laki-laki, sementara tujuan akhir feminisme adalah keadilan gender?
Walaupun memang tidak ingin dekat dengan laki-laki, saya ingin suatu saat nanti tidak ada yang mendominasi dan didominasi. Saya tidak ingin ada yang dilemahkan secara struktural, sesuatu yang terjadi pada perempuan sampai saat ini.
Diah menjelaskan, beberapa feminis mengatakan misandri dibentuk untuk mendiskreditkan gerakan perempuan. Kesalahpahaman itu juga dilanggengkan oleh misogini (kebencian terhadap perempuan) agar patriarki tetap berkuasa dan feminisme semakin dibenci.
Selain itu, lanjutnya, misogini bersifat sistemik, sementara misandri bisa saja berada dalam level individu atau kelompok. Karenanya, kebencian pada laki-laki juga memerlukan penelusuran lebih jauh, apakah memang benar terjadi atau ada sesuatu yang dibentuk untuk menjatuhkan.
“Apakah ini real atau hanya bentukan yang ingin memunculkan amarah. Ini juga masih kontroversial dan bisa diperdebatkan. Ada yang mengatakan ini bentukan patriarki untuk melawan feminisme. Ada baiknya melihat isu ini dengan bijak, jangan-jangan hanya dalam tataran wacana bukan realita,” kata Diah
Dampak yang diberikan misogini dan misandri juga berbeda dalam kasus kriminal. Misalnya saat pemerintah Inggris mewacanakan misogini dan misandri dikategorikan sebagai kejahatan kebencian pada 2018. Feminis berargumen misogini yang mengakar berbentuk pemerkosaan, pelecehan, sampai femisida. Sementara pelaku pelecehan seksual bisa berbalik melemparkan tuduhan pada korban atas dasar misandri.
Mungkin itu juga poin kritis yang bisa dipertimbangkan ketika melihat si kembar misogini dan misandri. Terlepas dari itu, merefleksikan “kebencian” saya pada laki-laki, saya harus mengakui beberapa di antara laki-laki tidak buruk-buruk amat. Saya juga menggemari beberapa idola K-pop yang tampak baik hati.
Namun, pesan seorang teman yang berbunyi, “Sebenarnya tidak ada laki-laki yang decent, yang ada hanya bare minimum,” membuat saya kembali berpikir keras.
Curahan hati ini bukan untuk menjelekkan laki-laki bahkan mengglorifikasi rasa kebencian. Senada dengan feminis perancis Pauline Harmange, penulis buku I Hate Men, mengucapkan “aduh, dasar laki-laki” adalah semacam cara paling mudah menyampaikan perasaan lelah akibat sistem yang merugikan perempuan. Meski demikian, tidak pernah ada rasa benar-benar ingin menghancurkan laki-laki. Walaupun sesekali, saya berharap dapat meminum air mata laki-laki.
Ilustrasi: Karina Tungari