Belajar dari Kanjuruhan: 6 Cara Kelola Rivalitas Sepakbola
Sebab sepakbola mestinya jadi hiburan, bukan kuburan, berikut cara-cara mengatasi rivalitas antarklub.
Tiga tahun sebelum tragedi di Kanjuruhan, Malang yang menewaskan lebih dari 100 korban, pengamat sepakbola Tanah Air Akmal Mahali pernah bilang sesuatu yang menarik. Dalam wawancaranya untuk dokumenter berjudul “Inside the world’s most dangerous football league”, yang dirilis oleh ABC NEWS in Depth, dia mengingatkan, “Sepakbola seharusnya menjadi hiburan bukan kuburan.”
Kejadian di Kanjuruhan sendiri sebenarnya adalah akibat serangkaian dari kefanatikan yang berlebihan, keganasan aparat, ketidakbecusan asosiasi, kerakusan panitia, dan tidak standarnya fasilitas. Namun banyak media internasional yang fokus menyoroti cara aparat dalam mengendalikan situasi.
Memang benar, ada suporter yang memasuki lapangan, tapi pada setiap pengendalian situasi, pilihan untuk menentukan hasil akhir, ada di tangan aparat yang diberikan otoritas memegang senjata. Maka, aneh jika ada yang bilang, tindakan yang dilakukan oleh aparat sudah terukur dan humanis. Sementara, kita semua tahu, hasil akhirnya tempo hari adalah tragedi.
Tragedi jelas berbeda dengan marwah sepakbola yang mestinya jadi hiburan menyehatkan. Dalam hal ini, panasnya rivalitas antarklub, membuat pertandingan sepakbola tak selesai dalam 90 menit, tapi ada waktu tambahan untuk pertandingan ala gladiator, baik antarsuporter maupun suporter dengan aparat.
Baca juga: Tragedi Kanjuruhan: Antara Gas Air Mata dan Silat Lidah Aparat
Tentang Rivalitas
Pada (3/10), saya dan beberapa teman di Malaysia mengadakan diskusi kecil-kecilan di club house bersama tiga kawan dari Serbia. Ketiga sahabat saya itu, kebetulan adalah pendukung klub Red Star Belgrade yang selalu berkonflik dengan suporter Partizan Belgrad. Hubungan antara pedukung kedua tim yang sama-sama bermarkas di Beograd, ibu kota Serbia ini memang melampaui sekadar sepakbola.
Menariknya, salah satu dari mereka berkata rivalitas tidak bisa dihilangkan dari dunia sepakbola terutama di kalangan suporter. Bagi para suporter, ada kepuasaan ketika klubnya menang melawan rival, pun ada kemarahan ketika klubnya kalah. Masalahnya, menerima kekalahan tidak mudah ketika melibatkan rivalitas apalagi ditambah dengan citra pengaturan sepakbola yang seringkali identik dengan kecurangan. Di level tim nasional pun akan terjadi hal yang sama.
Faktor geografis memang menjadi penentu terjadinya rivalitas. Para suporter ingin timnya menjadi yang terbaik di kawasan itu. Provokasi yang berujung kekerasan dan dendam pun tak terelakkan karena kedua suporter saling memahami bahasa dan tanda satu sama lain. Rivalitas ini dipertajam oleh hal-hal di luar sepakbola, seperti perbedaan ideologi politik, agama, budaya, maupun sejarah konflik.
Rivalitas seringkali dijadikan medium untuk mengeluarkan rasa dendam yang melekat, baik secara verbal maupun fisik. Rivalitas antarsuporter Indonesia vs Malaysia misalnya, bukan semata-mata untuk membuktikan klub mana yang terbaik di antara bangsa serumpun. Namun, juga medium untuk mengeluarkan amarah dari serangkaian tragedi sosio-politik antara dua bangsa itu di masa lalu. Begitu pula rivalitas antara Arema vs Persebaya, yang seringkali dipertajam lewat isu-isu di luar sepakbola.
Baca juga: Heboh Tragedi Arema, Kenapa Polisi Suka Bertindak Represif?
Enam Tips
Karena menghilangkan rivalitas adalah suatu ketidakmungkinan, maka mengelola rivalitas jadi pilihan. Ada enam cara mengelola rivalitas dalam hemat saya.
Pertama, perlu ada forum bersama antara suporter di luar pertandingan untuk menguatkan dialog sekaligus interaksi positif. Seringkali keterikatan seseorang dengan kelompok menjadikan dirinya tidak bisa rasional ketika bertemu dengan kelompok berbeda. Kelompok juga sering bertanggung jawab dalam mengisolasi para anggotanya, agar tak berinteraksi dengan mereka yang berseberangan.
Kedua, aparat keamanan hendaknya bertindak persuasif kepada para supprter ,alih-alih terus menerus menggunakan kekerasan. Jauh hari sebelum pertandingan, baik selepas maupun sebelum liga pra-muslim, aparat keamanan perlu merangkul barisan suporter dalam satu agenda untuk mencari titik-titik permasalahan yang selama ini memicu perselisihan.
Ketiga, pihak klub perlu menggunakan pengaruhnya untuk terus menerus menyebarkan pesan-pesan damai. Dalam hal ini, pemain yang bermain untuk klub dengan rivalitas yang tinggi perlu menjadi agen perdamaian. Sebab, kekuataan pengaruh yang mereka miliki terhadap para suporternya, dapat memutus rantai kekerasan yang kerap terjadi.
Baca juga: Tragedi Kanjuruhan: Catatan Penting tentang Manajemen Keselamatan Kerja
Keempat, institusi pendidikan juga perlu terlibat memberikan edukasi bagi para remaja yang terlibat dalam barisan suporter. Dasar-dasar psikologi massa dan protokol keamanan dalam olahraga contohnya, perlu diajarkan sejak dini agar individu tersebut berpikir dua kali untuk ikut-ikutan dalam kerumunan.
Kelima, perlu pengelolaan pertandingan yang berstandar internasional, baik dari segi tiket yang tidak berlebihan, akses keselamatan yang baik, cara pengamanan yang manusiawi, waktu pertandingan yang tepat, dan ruang aman bagi perempuan dan dan anak-anak.
Keenam, menjadikan tragedi Kanjuruhan ini sebagai peringatan dan refleksi dari komponen sepakbola, baik asosiasi, klub, maupun suporter. Jangan sampai kita dibuat amnesia terhadap tragedi tersebut. Memang sulit bagi manusia untuk belajar dari sejarah, namun tetap ada kemungkinan untuk mengecilkan peluang sejarah berulang, melalui ingatan yang terus-menerus kita hidupkan.
Arena sepakbola selain harus bebas dari segala bentuk ancaman kekerasan seksual dan perundungan, juga harus terbebas dari sikap-sikap barbar. Jadi siap kelola rivalitas?
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.