Lifestyle

Kita Harus Berhenti ‘Flexing’ Soal Kekayaan

Sebut orang-orang iri, tapi ‘flexing’ alias pamer soal kekayaan di di tengah kesusahan seperti sekarang ini adalah salah satu ide terburuk yang pernah ada.

Avatar
  • February 18, 2021
  • 5 min read
  • 725 Views
Kita Harus Berhenti ‘Flexing’ Soal Kekayaan

Tidak ada media sosial yang lebih tepat untuk cari ribut selain Twitter. Media sosial ini sangat publik, semua orang bisa berpartisipasi, dan di akhir keributan publik bisa tahu siapa yang menang, siapa yang kalah, siapa yang akhirnya menjadi legenda dan berakhir menjadi meme.

Ribut di Twitter seru karena semua pengguna memiliki rentang perhatian lebih pendek daripada bocah umur 2 tahun. Kecuali ribut-ribut tersebut sangat viral atau melibatkan tokoh-tokoh terkenal, publik dan media-media terkenal (baca: akun-akun gosip Instagram) tidak akan peduli. Kalau pun ributnya menghebohkan satu jagat Twitter, jangan khawatir. Orang akan lupa dengan keributan itu begitu ada keributan yang baru. Semuanya mempunyai tanggal kadaluwarsa di media sosial. Orang mudah untuk move on ke kehebohan berikutnya.

 

 

Keributan yang paling baru di Twitter adalah ketika akun @catwomanizer menjawab sebuah survei soal kriteria pasangan, dengan mengatakan bahwa calon pasangan dia harus punya gaji minimal Rp250 juta sebulan. Semua orang sontak berlomba-lomba untuk meledek, menyalin twit Rp250 juta tadi untuk menjadi bahan candaan, dan begitu kehebohan itu sampai puncaknya, beberapa akun komersial (termasuk akun badan pajak) menggunakan keramaian ini untuk mendorong kampanye mereka.

Jujur, ketika saya baca twit tersebut, saya ikutan emosi. Enggak tahu kenapa tiba-tiba saya jadi terpancing dan ikut-ikutan monolog sendiri tentang calon pasangan bergaji minimal Rp250 juta per bulan ini. Tapi, kenapa sih twit itu begitu memicu emosi? Kenapa cuitan tersebut langsung membangkitkan gairah warga Twitter untuk marah-marah atau ikutan meledek? Padahal sebenarnya twit tersebut tidak ada bedanya dengan konten sosial media lain yang intinya flexing (pamer) kekayaan pribadi.

Baca juga: ‘Room Tour’ Rumah Nan Mewah di Tengah Pandemi: Tak Sensitif dan Tanpa Empati

Benci Orang Pamer Kekayaan di Media Sosial Tanda Iri?

Kemudian di tengah malam ketika saya sedang membuat Indomie, saya menemukan jawabannya. Pada dasarnya, semua orang yang meledek kriteria calon pasangan bergaji minimal Rp250 juta (termasuk saya), adalah manusia-manusia iri.

Pertama, saya iri kepada mbak @catwomnizer karena dia sangat percaya diri, tanpa tedeng aling-aling, tanpa basa-basi langsung membalas dengan santai bahwa dia hanya menerima calon suami berpenghasilan minimal 250 juta per bulan. Baca sekali lagi: per bulan. Sementara banyak warga Twitter sering mengolok-olok Yogyakarta dengan Upah Minimum Regional (UMR) yang sangat rendah (bahkan kadang suka menyindir banyaknya start-up yang bermunculan di kota itu adalah karena ini), si mbaknya santai menyebut nominal bombastis itu. Tidak heran satu jagat Twitter langsung panas dibuatnya.

Harga diri memang sangat penting dan kita harus tahu berapa sepantasnya yang kita dapat. Tapi saya sendiri enggak pernah berani, apalagi di depan publik, mengumbar nominal seperti itu. Itu sebabnya saya sangat iri kepada @catwomanizer. Dia berani dengan lantang memberikan jawaban tersebut dengan sangat kasual, “minimal 250 juta per bulan”, segampang mengatakan, “agama dia harus sama dengan saya”.

Buat saya, membicarakan soal gaji atau bayaran adalah sesuatu yang sangat tabu. Saya enggak pernah membicarakan gaji dengan sahabat, teman, rekan kerja, atau keluarga saya. Yang tahu gaji saya hanya atasan dan bagian administrasi kantor, serta saya sendiri.

Saking enggak nyamannya membahas topik bayaran, setiap kali ada tawaran pekerjaan datang ke saya, entah itu menulis, syuting, atau yang lainnya, saya selalu menolak untuk membicarakan soal honor lewat panggilan telepon atau video karena perut saya akan langsung melilit. Membahas honor lewat pesan teks jauh lebih nyaman karena saya bisa terus-terusan bergumul dengan pikiran saya sendiri. “Kalau segini kemahalan nggak ya?” “Kalau segini kemurahan nggak ya?” Begitu saja terus sampai akhirnya saya capek sendiri dan bilang “fuck it” sebelum mengetik nominal yang saya mau.

Baca juga: Stop Bilang Saya Boros: Ketika Saya Bosan Jadi Miskin

Saya sendiri juga enggak tahu kenapa gaji menjadi hal yang lebih tabu daripada pengakuan jumlah teman tidur. Tapi topik ini selalu saya hindari. Itulah sebabnya kenapa jantung saya selalu copot setiap kali membaca info lowongan kerja di Twitter atau setiap kali akun @hrdbacot membahas tentang gaji. Tidak heran saya ikutan stres membaca calon-pasangan-gue-harus-bergaji-minimal-250-juta-per-bulan. Sebagai freelancer, transferan datang tepat waktu saja sudah merupakan anugerah.

Pamer Kekayaan di Tengah Pandemi

Kedua, saya iri karena sepertinya secara finansial, @catwomanizer juga beruntung. Logis kalau dia ingin so-called pasangan setara. Siapa yang tidak mau punya pasangan yang secara finansial stabil? Semua orang mendambakan ini. Tapi ini dia yang membuat satu Twitter bergetar: dia menampilkan nominal.

Biasanya ketika orang ditanya soal calon pasangan, dia hanya akan menjawab, “yang penting mapan”. Mapan punya banyak arti tapi kita semua bisa membayangkannya—pekerjaan tetap, gaji stabil, punya rumah, dan lain sebagainya. Tergantung gaya hidup juga. Mapannya anak yang lahir dan besar di Jakarta Selatan enggak akan sama dengan yang lahir dan besar di Mojokerto, misalnya. Tapi secara garis besar kita tahu.

Baca juga: Kriteria Gaji Pasangan Rp250 Juta Tanda Hubungan Transaksional

Tapi dengan detail lengkap “minimal gaji 250 juta per bulan”, dia pasti punya banyak kenalan atau bertemu banyak orang yang gajinya sesuai dengan nominal yang dia tulis atau bahkan lebih. Tapi bayangkan warga Twitter yang mendengar temannya bergaji Rp15 juta per bulan saja iri, apalagi Rp250 juta per bulan? Atau warga Twitter yang tinggal di sebuah kota yang UMR-nya hanya Rp2,5 juta per bulan. Tidak heran kalau semuanya langsung buru-buru meledek.

Terakhir, sumber iri hati ketiga adalah fakta bahwa twit itu muncul di tengah pandemi yang belum kunjung berakhir ini, ketika:

  • Banyak orang menganggur dan memegang handphone 24/7
  • Banyak orang yang kehilangan pekerjaan
  • Banyak orang terpaksa harus berjualan apa pun yang bisa dijual untuk tetap bertahan hidup
  • Setiap hari di lini masa selalu ada twit vital “Twitter please do your magic” karena ada warga yang butuh sekali dana karena sudah lama di-PHK, misalnya.
  • Setiap hari di lini masa selalu ada berita duka

Singkatnya, flexing tentang gaya hidup yang wowza di tengah kesusahan seperti sekarang ini adalah salah satu ide terburuk yang pernah ada.


Avatar
About Author

Candra Aditya

Candra Aditya adalah penulis, pembuat film, dan bapaknya Rico. Novelnya ‘When Everything Feels Like Romcoms’ dapat dibeli di toko-toko buku.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *