Akademisi Melempem, Sejarawan Merem: Wabah Baru yang Jangkiti Kampus?
Beberapa waktu lalu, saya dipanggil Kepala Prodi Pendidikan Sejarah di Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Saat itu, saya bersama tim pers mahasiswa Didaktika baru saja menerbitkan berita penolakan mahasiswa terhadap Fadli Zon. Penolakan muncul karena Menteri Kebudayaan tersebut tiba-tiba diumumkan sebagai pembicara utama dalam seminar di UNJ.
Mahasiswa bereaksi. Mereka membuat surat terbuka yang menolak kehadiran Fadli dan rencana penulisan ulang sejarah. Surat itu sempat menyebar, hingga akhirnya pihak Kementerian Kebudayaan turun tangan. Mereka meminta agar unggahan dihapus. Prodi pun ikut menekan mahasiswa. Saya menulis tentang semua itu.
Sebagai jurnalis pers mahasiswa, saya sudah biasa dipanggil pejabat kampus. Sepanjang tidak ada kekerasan fisik atau ancaman nilai, saya anggap itu bagian dari dinamika. Namun kali ini berbeda. Saya bukan sekadar jengkel karena berita saya dipermasalahkan—terutama oleh orang-orang yang bahkan tidak membacanya secara utuh. Saya kecewa karena sikap para dosen dan pimpinan kampus yang memilih bungkam.
Baca juga: Pemerkosaan Massal 1998, ini Saatnya Dengarkan Suara Perempuan Tionghoa
Alih-alih mengapresiasi sikap kritis mahasiswa, mereka justru mempermasalahkan surat terbuka itu. Seolah-olah mahasiswa bersalah karena peduli. Padahal surat itu lahir dari semangat untuk menjaga integritas sejarah, dari rasa tanggung jawab pada ilmu yang sedang mereka pelajari.
Setelah hampir dua jam mendengar ceramah dari pihak prodi, saya mulai memahami mengapa mereka begitu risih. Berulang kali mereka menyebut pentingnya menjaga “kerja sama” kampus dengan Kementerian Kebudayaan. Ketimbang membela substansi protes mahasiswa, mereka lebih khawatir hubungan kelembagaan terganggu.
Mereka tahu kebijakan Fadli Zon soal sejarah bermasalah—dari keraguannya terhadap tragedi pemerkosaan 1998, sampai wacana menjadikan Soeharto sebagai pahlawan. Namun mereka memilih diam. Tidak karena tidak tahu, melainkan karena memilih untuk tidak peduli. Semua demi relasi kekuasaan.
Bagi mereka, kampus yang “terlalu kritis” bisa kehilangan kesempatan kerja sama. Bisa kehilangan akses pendanaan, proyek, atau sekadar undangan kehormatan. Semua hitung-hitungan. Semua soal untung rugi.
Mendengar semua itu, saya teringat kalimat Pramoedya Ananta Toer dalam Rumah Kaca (1988): “Kalau seorang ahli hukum tidak merasa tersinggung oleh ketidakadilan, lebih baik dia jadi tukang sapu jalanan.”
Kalimat itu terasa tepat pula untuk sejarawan hari ini. Jika mereka tidak gelisah saat sejarah dipelintir, untuk apa mereka mengajar sejarah?
Apa yang kami lawan hari ini bukan sekadar Fadli Zon atau satu kebijakan kementerian, tapi sistem akademik yang sudah terlalu akrab dengan kompromi. Kampus yang dulu identik dengan dialektika dan kebebasan berpikir, kini sibuk menjaga citra di depan kekuasaan.
Baca juga: Sejarah Perempuan yang Terlupakan: Seruan Feminisme Pancasila untuk Keadilan
Perjuangan Sunyi Intelektual Melawan Kekuasaan
Di tengah sunyinya kampus, saya bertemu sosok yang memilih tidak diam. Annisa Nurul Hidayah, atau Nisyu, adalah guru SMP sekaligus aktivis di Perempuan Mahardika dan Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G). Ketika banyak intelektual memilih tenang, Nisyu justru vokal menyuarakan keresahan.
“Dosen, guru dan banyak intelektual yang tidak kritis dan memilih diam, karena takut kehilangan keuntungan dan akses dari pemerintah. Menurutku, itu wujud dari aparatus ideologis kalau kata Althusser. Sekolah dan kampus dipakai negara untuk melanggengkan nilai dan narasi tertentu,” jelasnya (22/7).
Menjadi guru yang bersuara hari ini bukan perkara mudah. Nisyu mengaku kerap merasa sendiri dalam perjuangannya.
“Jujur, aku merasa sendiri. Di lingkungan sekolah, guru-guru sibuk banget dengan administrasi. Jarang ada yang aware atau punya waktu untuk membaca isu-isu seperti ini. Kalau aku tidak bergabung di gerakan perempuan atau P2G, mungkin aku juga akan merasa terasing dan sunyi,” tuturnya.
Ia menilai sistem pendidikan memang dirancang agar guru dan dosen tidak punya ruang untuk berpikir kritis. Waktu mereka habis untuk administrasi, penilaian, laporan. Padahal tanpa kesadaran, pendidikan bisa menjadi alat penjinakan, bukan pembebasan.
Untuk melawan itu, Nisyu menyelipkan sejarah alternatif dalam pembelajarannya. Ia mencoba memperkenalkan siswa pada sisi lain dari sejarah Indonesia—yang sering luput atau sengaja dihapuskan.
“Aku kadang menyelipkan cerita sejarah alternatif di luar jam pelajaran, misalnya tentang kekerasan 1965 atau pemerkosaan massal 1998… Mereka jadi ngerti, setidaknya emang ada kelompok rentan yang sering jadi korban, menumbuhkan rasa empati juga.”
Baca juga: Luka yang Dilahirkan dan Dikuburkan dalam Mei 1998
Menurutnya, tanpa pemahaman sejarah yang utuh, generasi mendatang bisa tumbuh tanpa kesadaran. Tidak tahu bahwa negara pernah melakukan kekerasan terhadap rakyatnya. Tidak tahu bahwa orang bisa ditangkap atau dibunuh hanya karena dianggap “bermasalah”.
“Generasi yang kehilangan kesadaran sejarah akan tumbuh tanpa kewaspadaan. Sejarah bisa terulang, dan banyak nyawa tak bersalah kembali melayang.”
Karena itu, Nisyu percaya guru punya peran penting untuk menjaga nalar kritis di kelas. Mereka harus sadar bahwa sejarah bukan satu narasi tunggal. Ada banyak sisi, dan suara korban harus diberi ruang.
“Kita tidak boleh menerima modul ajar mentah-mentah. Harus ada usaha menyisipkan perspektif lain, supaya siswa tahu sejarah tidak sesederhana apa yang ditulis pemerintah,” ucapnya.
Magdalene telah mencoba menghubungi beberapa akademisi dan dosen sejarah untuk menggali pandangan mereka. Namun sebagian besar memilih menolak atau tidak merespons. Tidak ada alasan jelas. Diam tetap menjadi pilihan.
Padahal, jika intelektual memilih diam saat kekuasaan mulai mengintervensi pengetahuan, lalu siapa yang akan menjaga integritasnya? Jika kampus kehilangan keberanian untuk bertanya, apa bedanya ia dengan kantor birokrasi?
Jika ruang akademik tak lagi jadi tempat berpikir bebas, mungkinkah kita justru sedang mencetak generasi yang patuh tanpa tahu apa yang sedang mereka patuhi?
















